Menuju konten utama

Di Balik Kritik Anies Baswedan ke BPPT soal Hujan Buatan

Hujan buatan adalah salah satu opsi meminimalisir polusi udara. Tapi itu tidak signifikan karena 70 persen pencemaran berasal dari asap kendaraan bermotor.

Di Balik Kritik Anies Baswedan ke BPPT soal Hujan Buatan
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Kualitas udara DKI Jakarta yang buruk, bahkan pernah menempati posisi pertama kota paling polusif di dunia, direspons beberapa pihak dengan tawaran-tawaran solusi. Pemprov DKI, misalnya, berencana mengetatkan aturan soal uji emisi.

Yang terkini adalah usul dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Mereka menawarkan solusi bernama Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Dalam bahasa awam, ini biasa disebut hujan buatan.

Kepala BPPT Hammam Riza lewat laman resmi lembaganya Kamis (04/07/2019) lalu mengatakan untuk merealisasikan ini mereka terus berkoordinasi dengan Pemprov DKI, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), TNI AU, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

"TMC dilakukan oleh BPPT melalui Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC)," katanya.

Hujan buatan, kata Hammam, tidak dapat diartikan secara harfiah sebagai pekerjaan membuat hujan. Teknologi ini berupaya mempercepat jatuhnya hujan, yaitu dengan cara melakukan penyemaian awan (cloud seeding) menggunakan bahan-bahan yang bersifat higroskopik (menyerap air).

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lantas merespons tawaran tersebut. Alih-alih respons positif yang keluar karena dibantu instansi lain, Anies malah mengatakan BPPT offside--atau "kebablasan"--karena kadung mengumumkan wacana tersebut saat persiapannya belum matang.

"Soal hujan [buatan], nanti sesudah matang baru diumumkan. Menurut saya BPPT offside tuh, jadi sebelum matang, sebelum semuanya siap [sudah diumumkan]. Kalau tidak, hanya menjadi perdebatan saja. Jadi kita ingin agar langkah-langkah untuk membereskan masalah kualitas udara Jakarta ini bukan langkah-langkah jangka pendek saja. Tapi juga jangka panjang. Nah, ini jangka pendek sedang kita bicarakan," kata Anies saat ditemui di Balai Agung, Balaikota, Jumat (5/7/2019) pagi.

Ia mengaku sudah mendengar tawaran dari BPPT, namun ia berharap semuanya perlu dibahas terlebih dulu hingga matang, bahkan sekadar keputusan apakah akan menggunakan teknologi itu atau tidak.

"Dimatangkan dulu, terus nanti diumumkan. Saya mendengar BPPT sudah menyampaikan keluar. Perlu saya sampaikan bahwa itu tidak seharusnya dibicarakan dulu sebelum matang," katanya.

Pernyataan Anies ini menegaskan cara dia mengelola informasi yang beredar di Balaikota sejak berkuasa pada 2017 lalu. Sejak jadi gubernur, Anies memang dianggap lebih tertutup dibanding pendahulunya. Pun dengan dinas-dinas di bawah Anies yang jadi lebih irit bicara.

Soal ini, Sandiaga Uno saat masih berstatus wakil gubernur menegaskan bahwa mereka memang meminta pembantunya irit bicara rencana-rencana yang memang masih dalam tahap pembahasan/belum matang.

"Saya instruksikan kepala dinas untuk kebijakan yang lagi dikaji, lagi digodok, jangan diumumkan dulu karena nanti malah jadi distorsi dan masyarakat nanti menginterpretasikannya lain," ujar Sandiaga November 2017.

Perkaranya status BPPT bukan dinas di bawah Pemprov DKI. Mereka adalah lembaga pemerintah non-departemen yang ada di bawah koordinasi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Dengan demikian mereka memang tak terkait 'aturan main' Anies.

Kepala BPPT Hammam Riza sendiri, sebagaimana dikutip dari Detik, membela diri dengan bilang: "peneliti dan perekayasa inginnya selalu menyampaikan ke publik berbagai informasi sebagai bagian dari keterbukaan."

Tak Efektif

Direktur Eksekutif WALHI DKI Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi, tak tertarik menanggapi ribut-ribut antara Pemprov DKI dengan BPPT. Dia hanya menekankan bahwa hujan buatan bukan merupakan solusi efektif menangani masalah polusi.

"Aduh, enggak habis pikir kita begitu," kata Soleh kepada reporter Tirto, Jumat (5/7/2019) pagi.

Soleh mengatakan, semestinya Pemprov DKI lebih serius menangani akar masalah atau menawarkan solusi jangka panjang. Itulah yang belum terlalu terlihat.

Kemarau memang salah satu faktor yang memengaruhi kualitas udara di Jakarta, begitu kata Anies. Tapi itu tidak signifikan. Sebab Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengatakan bahwa 75 persen polusi adalah hasil pembuangan kendaraan bermotor. Sisanya aktivitas industri dan domestik.

Pemprov DKI baru mau meminimalisir ini dengan cara mewajibkan kendaraan roda empat melakukan uji emisi pada 2020.

"Pernah enggak dia menghitung dan menginventarisir sumber-sumber pencemar di Jakarta dan sekitarnya? Itu enggak pernah dilakukan," katanya. "Kesimpulannya: mereka enggak mengerti apa-apa perkara masalah udara. Enggak mengerti apa-apa," Soleh menegaskan.

Baca juga artikel terkait POLUSI UDARA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino