Menuju konten utama

Di Balik Koleksi Schiaparelli 2023

Daniel Roseberry dalam catatannya menyebut koleksi musim ini terinspirasi oleh The Devine Comedy karya Dante Alighieri.

Di Balik Koleksi Schiaparelli 2023
Kylie Jenner, tengah, berpose saat menghadiri koleksi Schiaparelli Haute Couture Spring-Summer 2023 yang dipersembahkan di Paris, Senin, 23 Januari 2023. (AP Photo/Michel Euler)

tirto.id - Fesyen bukan sekedar pemenuhan kebutuhan sandang. Lebih dari itu, fesyen menjadi bentuk ekspresi dan identitas diri. Fesyen pada perjalanannya juga memiliki kemampuan yang dapat menyentak khalayak - menjadi medium kritik berbagai isu.

Haute couture alias adibusana, memiliki kebebasan lebih untuk melakukannya. Karena haute couture dibuat sesuai pesanan bagi segelintir orang, serta tak terikat dengan pengaruh iklan.

Bagi kreatornya, rancangannya adalah realisasi dari ide, sekaligus karya kerajinan dari tangan dengan kemampuan yang luar biasa. Seringkali, adibusana juga menawarkan kejutan dan mimpi akan keindahan, suatu upaya untuk keluar dari realitas hidup yang flat yang begitu-gitu saja.

Ketika menghadiri peragaan busana Schiaparelli Spring/Summer 2023 di Paris, Kylie Jenner, selebriti dan model asal Amerika Serikat, mengenakan gaun hitam dengan tambahan kepala singa lengkap dengan surainya. Kepala singa yang amat realistis itu menempel di bahu sebelah kanan Jenner.

Penampilan ini segera mengundang komentar banyak pihak. Termasuk juga kekaguman pemain acara realitas Keeping Up with the Kardashians yang seakan tak tahan juga untuk melontarkan pujian atas keunikan baju yang ia pakai.

"Saya suka mengenakan kreasi seni tiruan yang dibuat dengan tangan menggunakan bahan buatan manusia. Cantik," tulis Jenner di akun instagramnya.

Sementara di runway, giliran supermodel Shalom Harlow, Irina Shayk, dan Naomi Campbell yang melenggang dengan kepala hewan di bahu mereka. Masing-masing memakai macan tutul, singa, dan serigala.

Kontroversi Gaun Schiaparelli

Gaun-gaun dengan aksesoris kepala bintang itu merupakan bikinan direktur kreatif rumah mode Schiaparelli, Daniel Roseberry, yang disebut sebagai bagian dari lini "Inferno Couture".

Rumah mode Schiaparelli memperjelas satu hal dalam siaran pers, bahwa tidak ada binatang yang terluka dalam pembuatan gaun tersebut.

Aksesoris yang menarik perhatian itu dibuat dengan busa yang dipahat, wol, dan bulu imitasi dari sutra. Kepala singa juga dilukis dengan tangan agar terlihat seperti aslinya.

Penampilan tersebut bahkan mendapatkan pujian dari organisasi PETA (People for the Ethical Treatment of Animals) yang telah lama menentang penggunaan bulu dan kulit asli di industri fesyen.

Inggrid Newkirk, presiden PETA mengungkapkan penampilan Jenner merayakan kecantikan singa tetapi juga sebuah pernyataan menentang trophy hunting - perburuan binatang liar di mana bagian tubuh hewan kemudian disimpan dan dipajang sebagai piala.

Roseberry dalam catatannya, menyebut koleksi musim ini terinspirasi oleh The Devine Comedy karya Dante Alighieri. The Devine Comedy adalah sebuah puisi abad ke-14 yang mengeksplorasi perjalanan spiritual penulis melalui 14.233 baris dan tiga buku yaitu Inferno, Purgatorio, dan Paradiso.

 Schiaparelli

Model Irina Shayk mengenakan kreasi sebagai bagian dari koleksi Schiaparelli Haute Couture Spring-Summer 2023 yang dipresentasikan di Paris, Senin, 23 Januari 2023. (AP Photo/Michel Euler)

Secara khusus Roseberry mengutip simbolisme kebinatangan di buku Inferno: macan tutul, singa, dan serigala betina yang mewakili nafsu, kesombongan, dan keserakahan.

Dari situ kemudian lahirlah ide kepala hewan palsu - disebut juga kreasi faux-taxidermy, seperti yang dikenakan Jenner dan supermodel lainnya.

Namun bagi orang lain, konteks dalam desain Roseberry tak ubah sebagai bentuk pengagungan perburuan liar dan validasi praktik misterius yang membahayakan spesies hewan yang terancam punah. Bukan menceritakan perjalanan percobaan dan kesengsaraan Dante menuju surga.

Kesan itu juga yang nampaknya ditangkap para warganet saat melihat unggahan rumah mode Schiaparelli di instagram.

"Apakah itu (kepala singa) palsu atau tidak, tetap mempromosikan kekejaman terjadap hewan," ungkap salah satu pengguna sosial media di Instagram.

"Meski itu palsu, singa, cheetah, dan serigala, tampak dimaksudkan seolah-olah mereka dibunuh dan digunakan untuk aksesoris pakaian. Bagaimana itu disebut menghargai alam?," tulis warganet lainnya.

Nada sumbang juga dilontarkan dalam artikel di Fashion Magazine, yang menyebutkan bahwa meskipun kepala hewan palsu, namun justru itu seakan mempromosikan trophy hunting yang telah lama dianggap sebagai hobi elit. Pemburu akan membayar biaya yang lumayan untuk membunuh hewan liar demi olah raga.

Dengan konteks budaya itu, estetika kepala binatang menyiratkan kekayaan dan kelebihan yang tak dapat diakses. Dan ada kekhawatiran pula bahwa koleksi Schiaparelli bukan menjadi yang terakhir. Roseberry jutsru telah menghadirkan alternatif untuk menampilkan citra hewan di runaway dengan menggunakan bahan sintetik.

Namun kegaduhan ini mungkin memang yang diinginkan oleh Roseberry.

Dalam catatan acaranya, ia menyinggung untuk mengobarkan badai sendiri. Ia menulis tidak ada yang namanya surga tanpa neraka, tidak ada kegembiraan tanpa kesedihan, tidak ada perasaan suka cita tanpa siksaaan keraguan - yang seakan menggambarkan kontroversi di balik karyanya.

Atau bisa juga keributan itu juga yang sengaja diciptakan oleh rumah mode sebagai cara branding atau kesadaran merek, dan membuat orang-orang membicarakannya. Dalam hal ini kontroversi internet adalah taktik pemasaran kontemporer yang tidak pernah gagal.

Infografik Inferno Couture

Infografik Inferno Couture. tirto.id/Fuad

Dampak Fesyen pada Lingkungan

Fesyen dan isu lingkungan maupun kesejahteraan hewan (animal welfare), telah lama menjadi problem yang pelik dan tidak berkesudahan.

Bulu binatang memang salah satu bentuk pakaian tertua yang hangat dan mewah. Namun seiring perkembangannya, penggunaan bagian tubuh binatang secara massal menjadi hal yang tidak etis dilakukan dalam dunia fesyen.

Hewan yang digunakan sebagai bahan pakaian dieksploitasi dan terpapar bahan kimia berbahaya. Fur Free Alliance mencatat setiap tahun sekitar 100 juta hewan dipelihara dan dibunuh untuk diambil bulunya. Lebih dari 95 persen berasal dari hewan seperti cerpelai, rubah, rakin, kelinci, dan chinchilla.

Hewan yang dikembangbiakkan ini menghabiskan seluruh hidup di kandang yang sempit dan kehilangan kemampuannya dalam hal perilaku alaminya.

Desakan organisasi kesejahteraan hewan bersama dengan masyarakat global, akhirnya membuat dunia fesyen kemudian mulai perlahan meninggalkan penggunaan bulu dan kulit binatang.

Melansir The Guardian, September 2022 lalu misalnya, konglomerat Kering yang membawahi brand Gucci dan Balenciaga mengumumkan akan berhenti menggunakan bulu binatang. Ini termasuk juga rumah mode Oscar de la Renta yang juga menyetujui untuk menggunakan bulu pada produknya.

Namun tidak semuanya. Brand Hermes, justru memilih untuk tetap melanggengkan penggunaan kulit buaya dalam produknya. Pihak brand tersebut mengaku memiliki kebijakan kesejahteraan hewan yang dapat memastikan kontrol rantai pasokan. Dalam hal ini beberapa kulit buaya bersumber dari peternakan Australia.

Tetapi Jessica Medcalf, dari Organisasi kesejahteraan hewan Four Paws meragukan bahwa industri buaya dapat memastikan tingkat kesejahteraan hewan yang baik. Ini karena mereka merupakan hewan liar sehingga lingkungan peternakan tidak akan membuat hewan dalam kondisi baik.

Four Paws sendiri pada 6 Desember 2021 merilis laporan 111 merek atas komitmen mereka terhadap kesejateraan hewan dan transparansi sumbernya.

Laporan itu menyerukan pula untuk mengurangi penggunaan produk hewani, menyempurnakan pilihan rantai pasokan hewan untuk mendorong tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, dan mengganti produk hewani dengan alternatif yang berkelanjutan.

Laporan tersebut disusun berdasarkan Five Domains Model untuk menilai merek yang dibuat oleh David Mellor, profesor ilmu Kesejahteran Hewan di Massey University.

Model ini mengukur kesejahteraan berdasarkan kondisi mental hewan, yang dipengaruhi oleh nutrisi, lingkungan fisik, status kesehatan, dan interaksi perilaku.

Isu animal welfare bukan satu-satunya problem di dunia fesyen. Industri ini juga dituding sebagai penyebab kerusakan lingkungan secara luas. World Economic Forum mencatat produksi fashion menyumbang 10 % dari emisi karbon yang dihasilkan manusia, mengeringkan sumber air, dan mencemari sungai.

Ini diperparah karena produksi pakaian meningkat dua kali lipat sejak tahun 2000. Di Eropa, perusahaan mode beralih dari penawaran rata-rata dua koleksi per tahun pada tahun 2000 menjadi lima pada tahun 2011.

Beberapa merek bahkan menawarkan lebih. Zara mengeluarkan 24 koleksi per tahun, sementara H&M menawarkan antara 12 dan 16.

Sementara itu, mencuci pakaian melepaskan 500.000 ton microfiber ke laut setiap tahun – setara dengan 50 miliar botol plastik.

Sebuah laporan tahun 2017 dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) memperkirakan bahwa 35% dari semua mikroplastik – potongan plastik sangat kecil yang tidak pernah terurai – di lautan berasal dari pencucian tekstil sintetis seperti poliester.

Namun disisi lain industri fesyen memerlukan air dalam jumlah besar setiap produksinya. Contohnya saja, untuk menghasilkan satu baju katun diperlukan sekitar 700 galon air. Sedangkan untuk menghasilkan sepasang jeans perlu setidaknya 2000 galon air.

Kebutuhan fesyen yang pesat, kini tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Fesyen sudah menjadi bagian dari budaya sekaligus industri yang menguntungkan, bukan lagi sekedar pemenuhan kebutuhan sandang. Namun di sisi lain, kecantikan adibusana maupun pemenuhan industri fast fashion - keduanya semakin mengganggu keseimbangan alam, dan juga manusia - penikmat fesyen itu sendiri.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Lilin Rosa Santi