Menuju konten utama

Di Balik Kenaikan Harga Telur dan Ayam Per 1 Oktober

Kebijakan Kemendag menaikkan batas harga telur dan ayam di tingkat peternak tidak akan berdampak signifikan.

Di Balik Kenaikan Harga Telur dan Ayam Per 1 Oktober
Pekerja memberi pakan ternak ayam potong di Pasuruhan Kidul, Jati, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (26/7/2018). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

tirto.id - Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menetapkan aturan baru soal batas bawah dan atas harga telur dan ayam di tingkat peternak. Kebijakan ini mulai efektif berlaku, pada Senin, 1 Oktober 2018.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menuturkan, kebijakan ini dilakukan untuk menolong peternak ayam yang mengalami kerugian secara terus-menerus selama beberapa bulan terakhir. Hal ini terjadi karena biaya produksi dan pakan ternak yang naik, sementara harga jualnya ke pedagang anjlok.

Enggar menilai bila masalah ini tidak diatasi dengan menaikkan batasan harga, maka akan berimbas pada keberlangsungan bisnis peternak dan ketersediaan barang ke depan. Menurut Enggar, keputusan ini diambil usai dirinya bertemu dengan sejumlah pihak, mulai peternak, pengusaha telur dan ayam, pengusaha ritel, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Satuan Tugas (Satgas) Pangan.

“Dengan berbagai masukan, kami menetapkan harga batas bawah Rp18 ribu per kilogram dan batas atasnya Rp20 ribu per kilogram [di tingkat peternak]” kata Enggar di Kementerian Perdagangan Jakarta pada Rabu (26/9/2018).

Selama ini, batas harga acuan telur dan daging ayam yang berlaku adalah Permendag Nomor 58 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Berdasarkan regulasi itu, harga batas bawah telur dan ayam di tingkat peternak Rp17 ribu per kg dan batas atas telur Rp19 ribu per kg. Sedangkan, harga di tingkat konsumen dipatok Rp32 ribu per kg.

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Tjahya Widayanti, membenarkan bila pemerintah sudah merevisi Permendag Nomor 58 Tahun 2018. Sayangnya, ia belum bersedia menjelaskan secara detail terkait regulasi baru yang mengatur harga acuan ini.

“Sudah diundangkan,” kata Tjahya saat dikonfirmasi Tirto, Minggu (30/9/2018).

Dinilai Tak Terlalu Efektif

Menanggapi hal itu, pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai kebijakan Kemendag menaikkan batas harga di tingkat peternak tidak akan berdampak signifikan. Alasannya, naik-turunnya harga ayam maupun telur akan sangat fluktuatif tergantung aspek budidayanya.

“Efektifitas [kebijakan] harga bawah dan harga atas diragukan, karena pemerintah tidak pegang barang [produksi telur dan daging ayam] sehingga harga bawah [untuk peternak] sangat sulit untuk ditetapkan begitu saja,” kata Dwi kepada Tirto, Minggu (30/9/2018).

Secara periodik, kata Dwi, telur dan daging ayam akan mengalami perubahan harga. Pada bulan ini, misalnya, siklus harga telur dan ayam memang cenderung rendah. “Mengapa sekarang turun? Ya memang saatnya turun. Kita lihat saja paling rendah nanti sekitar Oktober. Nanti November, Desember, Januari [akan] naik lagi, baru setelah itu turun lagi,” kata Dwi.

Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) Sigit Prabowo menyambut baik langkah Kemendag menaikkan harga jual telur dan daging ayam. “Positif itu, kan yang akan dibentuk harga farm gate (di tingkat peternak), yang menyesuaikan biaya produksi, karena harga-harga sarana produksi ternak semua naik,” kata Sigit kepada Tirto, Minggu (30/9/2018).

Sigit mencontohkan, sarana produksi ternak (sapronak) seperti bibit (doc), pakan, dan obat. Singgih mengatakan, naiknya harga sapronak ini sudah sekitar 6 bulan belakangan. “Doc broiler yang harga normalnya Rp5.500 per ekor, belakangan ini stabil di harga Rp6.500 - Rp6.800 per ekor. Jagung dari harga normalnya sekitar Rp3.700 - Rp4 ribu per kg, saat ini sudah menyentuh harga Rp5 ribu - Rp5.100 per kg," ujar Sigit.

Meski demikian, Sigit menilai kebijakan ini tidak akan memberikan dampak signifikan karena produksi telur dan daging ayam saat ini sedang melimpah di tengah biaya produksi yang tinggi. “Yang perlu dipahami bisnis perunggasan ini bukan dihasilkan oleh mesin produksi, tapi ini bisnis biologis atau barang hidup,” kata dia.

“Kalau ayam, semua pelaku [peternak] 90 persen masih jual dalam bentuk live bird (ayam hidup) jadi ya selamanya akan bergejolak terus,” kata Sigit.

Sigit mengatakan, hulu persoalannya sebenarnya berada di Kementerian Pertanian sebagai regulator yang dapat berperan mengatur ketersediaan jagung aman untuk peternak. “Akar masalah dari Ragunan [Kementerian Pertanian]. Kemendag hanya kecipratan saja,” kata Sigit.

Menurut Sigit, Kementerian Pertanian sering memberikan anomali data produksi jagung. Misalnya, seringkali Kementan mengklaim ketersediaan jagung cukup, tapi fakta di lapangan ketersediaannya rendah.

“Hukum besi supply-demand, siapa yang bisa melawan. Diklaim surplus, tapi tidak mencerminkan harga di pasar. Kalau harga jagung mahal, pasti barangnya sedikit,” kata Sigit.

Dwi Andreas Santosa sependapat dengan Sigit. Menurut dia, biaya usaha peternak naik, salah satunya karena tata kelola jagung yang amburadul, sehingga harganya menjadi meningkat tinggi. “Ini membebani petani, perusahaan pakan ternak kan akhirnya terbebani juga, kalau mengganti jagung dengan gandum kan lebih mahal,” kata Dwi.

Kementerian Pertanian, kata Dwi, seringkali tidak realistis mengenai data produksi jagung ini. “Pemerintah berkoar-koar surplus dan sebagainya, ya itu bohong besar. Kalau harga naik, berarti jagung di pasaran langkah. Gitu sajalah. Mau teriak-teriak surplus, ekspor dan sebagainya, ya enggak ada efeknya karena nyatanya tidak demikian,” ujar Dwi.

Terkait ini, Tirto menghubungi Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Sumardjo Gatot Irianto untuk meminta tanggapan. Sayangnya, ia enggan memberikan jawaban. Ia hanya bilang, “Besok kami jumpa media jam 10.00,” kata Gatot.

Baca juga artikel terkait HARGA TELUR AYAM atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz