Menuju konten utama

Di Balik Kegemaran Mengoleksi Action Figure

Action figure bagi sebagian orang adalah segalanya. Sebagai sebuah hobi, mengoleksi action figure tak hanya memberikan kepuasan batin. Jauh dari itu, ada pundi-pundi uang yang bisa diraih.

Action Figure G.I. Joe , "Rocky the Paratrooper," dipamerkan di Hasbro Internasional G.I. Burlingame, California. GETTY IMAGES

tirto.id - Penny merasa bersalah karena terlalu sering makan gratis di apartemen milik Leonard dan Sheldon. Pada suatu hari, dengan sengaja Penny membelikan keduanya hadiah istimewa: Transporter Mego Star Trek 1975 edisi vintage dalam kondisi masih tersegel di dalam boks.

Sungguh kejutan yang menyenangkan, apalagi untuk Sheldon yang memang seorang pecinta serial Star Trek. Kamarnya penuh dengan koleksi action figure tokoh-tokoh Star Trek seperti Kapten James Kirk, Laksamana Leonard McCoy, dan tokoh favoritnya sepanjang masa, Mr Spock. Hal yang sama juga dengan Leonard. Selain action figure dari franchise populer itu, keduanya juga memenuhi kamar apartemen dengan beragam action figure lain yaitu karakter komik Marvel, DC, maupun karakter-karakter superhero lainnya.

Meski sudah menginjak usia dewasa dan berstatus ilmuwan jenius di kampus tempat mereka bekerja, di sisi lain Leonard dan Sheldon adalah pengoleksi action figure sejati. Mereka adalah sosok yang orang lain sematkan dengan label “nerd” atau “geek”. Sayang, Penny kurang paham akan hal tersebut. Dengan santainya mengajak untuk “membuka dan memainkan” hadiah terbarunya. Sontak Leonard dan Sheldon berteriak histeris, “Jangan!”

Berlebihan? Tidak juga. Adegan di serial komedi The Big Bang Theory di atas barangkali memang fiksi. Namun, hobi mengoleksi action figure dalam kondisi tersegel bukanlah lelucon belaka. Sebagian di antara kita adalah para penghobinya.

Para kolektor rela menghabiskan banyak uang dan energi untuk memburu dan melengkapi koleksi action figure. Mereka tak peduli apa kata orang. Kekanak-kanakan? Mungkin. Namun, tak ada yang bisa menggantikan kebahagiaan seorang kolektor action figure saat menggenggam koleksi terbarunya, juga momen ketika memandang betapa gagahnya tiruan manusia itu kala dipajang di rak yang penuh koleksi.

Mengapa hanya dipajang? Bukankah benda itu hanya mainan? Pertanyaan mendasar ini juga diucapkan Penny. Leonard kemudian menjawabnya dengan mengutip rumus dasar para kolektor action figure. “Sekali kau membuka segelnya, action figure itu telah kehilangan nilainya.”

Situs Action Figure Fury memberikan jawaban yang lebih lengkap apa saja yang membuat sebuah action figure bernilai tinggi. Pada dasarnya action figure adalah miniatur dari sosok-sosok populer. Namun, sama hal dengan barang lainnya di pasar, barang ini akan bernilai rendah bila diproduksi secara massal. Maka semakin langka sebuah action figure dibuat dan semakin sulit ditemukan, maka semakin mahal harganya.

Action figure yang awet untuk dipajang adalah yang masih berada di dalam kemasan aslinya. Saat sudah di luar memang masih bernilai, namun nilainya lebih rendah daripada yang masih lengkap. Action figure yang sudah tak tersegel boks asalnya, apalagi kondisinya sudah banyak lecet, warnanya pudar maka akan berpengaruh terhadap nilainya.

Kualitas sebuah action figure juga ditentukan dari usianya. Semakin tua dan langka maka makin tinggi harganya. Usia yang lama juga menandakan kualiasnya yang baik dan diproduksi dengan material terbaik. Prototipe G. I. Joe “Toy Soldier” buatan 1963 misalnya, pada 2003 silam dijual di eBay mencapai $200.000 atau setara dengan Rp2,7 miliar. Mainan ini masih menjadi salah satu action figure termahal di dunia. Prototipe G. I. Joe “Toy Soldier” dilengkapi 21 bagian tambahan yang bisa dimainkan dalam beragam pose dan posisi, sebuah fitur yang jarang untuk mainan di era 1960-an.

Selain prototipe G. I. Joe, sejumlah action figure lain dengan harga selangit antaralain Transformers Jetfire Super Valkyrie Fighter seharga $2.500, He-Man with Battle Cat Set seharga $7.000, Mego Elastic Batman seharga $15.000. Bagi kebanyakan orang, harga ini mungkin tak masuk akal. Sehingga, fenomena ini menimbulkan pertanyaan, apa yang membuat seseorang mau menghabiskan banyak uang hanya untuk sebuah mainan?

src="//mmc.tirto.id/image/2016/11/25/TIRTOID-InfografikActionFigureTermahalDunia.jpg" width="860" alt="Infografik Action Figure Termahal Dunia" /

Psikologis Koleksi

Psikolog Dr Rebecca Spelman mengatakan sebagai manusia kita memiliki keinginan untuk mengumpulkan sesuatu sejak masa kanak-kanak. Selimut yang hangat atau mainan lucu memberikan kita semacam ikatan emosional kepada sesuatu yang tak bernyawa. Seiring bertambahnya usia, proses pengumpulan itu berkembang ke benda-benda lain seperti kerang pantai, benda-benda dengan warna yang disukai, begitu juga action figure dari karakter yang sering ditonton di televisi. Pada dasarnya, kepemilikan atas benda-benda tersebut memberikan rasa nyaman bagi sang pemilik.

“Harga dari barang tersebut tak relevan. Tentu saja ada sebagian orang yang mengumpulkan barang karena tahu harganya akan melonjak seiring berjalannya waktu dan melihat setiap kali menambah koleksi berarti ada tambahan investasi. Mereka melakukannya sebagaimana pekerja profesional,” kata Dr. Rebecca dikutip The Telegraph.

“Tapi sesungguhnya menjadi seorang kolektor sejati itu bukan karena perkara finansial, melainkan didorong atas dasar emosional. Dengan mengumpulkan barang-barang yang satu jenis, di sana terdapat kaitan atas rasa bahagia yang pernah dulu mereka dapatkan saat masih kanak-kanak. Sebahagian saat kita dulu diberi hadiah oleh orang tua kita,” katanya.

Koleksi juga berhubungan dengan apa yang orang-orang akan wariskan. Sebagaimana koleksi benda-benda lain, kolektor action figure garis keras mengumpulkan patung-patung kesayangannya bukan demi materi, tapi karena benda-benda tersebut menjadi perpanjangan atas identitas sang kolektor. Perkara identitas yang unik inilah yang ingin diwariskan dalam ingatan orang-orang saat mereka telah meninggal. Konsep ini berbeda dengan definisi warisan pada umumnya yang berkaitan dengan perkara finansial.

“Mereka mendapatkan kenikmatan besar dari upaya menghabiskan energi mereka demi mencari barang langka yang ingin dikoleksi. Saat barang tersebut berhasil didapat, ada sensasi tersendiri yang orang lain tak rasakan. Sensor kebahagiaan ini begitu terang di dalam otak dan membuat mereka kecanduan,” tambah Rebecca.

Kesukaan seseorang terhadap action figure superhero juga berkaitan dengan trauma masa kecil. Sosok superhero dalam mata mereka lebih dari sekedar tokoh favorit yang rutin ditonton tiap sore di TV. Action figure adalah representasi dari “orang kuat” yang mereka butuhkan saat kecil di-bully oleh teman sekolah atau bahkan orang tuanya.

Perasaan bahagia dalam mengoleksi action figure superhero dibumbui dengan rasa aman. Apalagi seorang pengagum superhero sering kali menjadikan identitas si superhero melekat dalam dirinya. Sejumlah studi menunjukkan proses pelekatan identitas ini bisa menjadi penambah rasa percaya diri yang bersangkutan. Alih-alih dianggap hanya memakai kostum yang sama, mereka ternyata mampu menerjemahkan perilaku mulia sang superhero untuk ditiru di dunia nyata.

Persoalannya, para kolektor action figure sering dianggap kekanak-kanakan oleh orang lain yang tak berminat. Adanya anggapan kanak-kanak karena kolektor action figure tak bisa lepas dari mainan yang biasa dipegang anak-anak. Di satu sisi, pandangan semacam ini sering kali berangkat dari pemahaman keliru antara orang dewasa yang “bertindak seperti anak-anak” dan seseorang yang “ kekanak-kanakan”.

Bagi kolektor action figure, mereka percaya pada satu rumus yang universal: Lakukan apapun yang membuatmu bahagia. Asal tak merugikan orang lain, apa salahnya? Apalagi kebahagiaan ini bisa jadi investasi dan sumber uang.

Baca juga artikel terkait ACTION FIGURE atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Hobi
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Suhendra
-->