Menuju konten utama

Di Balik Bom Bunuh Diri Jelang Idulfitri di Pos Polisi Kartasura

Polisi sebut Rofik menganut paham ISIS, namun belum diketahui ia termasuk dalam jaringan teroris atau tidak.

Di Balik Bom Bunuh Diri Jelang Idulfitri di Pos Polisi Kartasura
Petugas Polisi melakukan olah tempat kejadian perkara lokasi kejadian bom bunuh diri di Pospam Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (3/6/2019). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho.

tirto.id - Dua hari jelang idulfitri 1440 Hijriyah, bom bunuh diri terjadi. Pelaku ialah Rofik Asharudin (22), yang nekat beraksi di depan Pos Pantau Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Senin (3/6/2019), pukul 22.45 WIB, Rofik meledakkan diri di lokasi. Meski tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu, kejadian tersebut mengejutkan warga setempat dan masyarakat di tanah air yang hendak merayakan idulfitri.

Pukul 23.30 WIB, tim INAFIS Polda Jawa Tengah mengecek rekaman kamera pengawas sekitar tempat kejadian perkara. Dalam rekaman tersebut, pelaku berjalan dari arah Pos 10 atau Pos Tugu meninggalkan motornya yang bermerek Suzuki Shogun dengan nopol AB 4051 WK, kemudian berjalan kaki ke arah pos pantau.

Selama 5-10 menit, ia duduk di trotoar dekat pos. Kemudian bom meledak. Perut dan tangan kanan Rofik luka, ia dilarikan ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menyatakan Rofik termasuk amatir. “Rekam jejak dia belum diketahui [masih dalam pendalaman polisi]” kata Dedi di Mabes Polri, Selasa (4/6/2019).

Disebut amatir, kata Dedi, karena pelaku menggunakan bom berdaya ledak rendah, serta pola yang digunakan pelaku berbeda dengan profesional.

“Kalau dia profesional serta memiliki pengalaman yang cukup di bidang terorisme, dia tidak akan meledakkan diri di luar [pos atau kantor polisi], tapi masuk ke dalam dan korban akan berjatuhan,” kata Dedi.

Berbeda dengan peristiwa bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta pada 2016 yang dilakukan Nur Rohman. Ketika itu, pelaku nekat memasuki halaman mapolresta dan meledakkan diri sekitar pukul 07.35 WIB, Selasa (5/7/2016), satu hari jelang idulfitri 1437 Hijriyah.

Akibat aksi itu, seorang polisi bernama Brigadir Bambang Adi Cahyono mengalami luka di wajahnya, sedangkan pelaku tewas.

Dari catatan kepolisian, Nur Rihanna diketahui merupakan buronan kasus teror di Bekasi pada Desember 2015. Polisi berhasil menangkap tujuh orang termasuk Abu Musab alias Arif Hidayatullah di Bekasi, Jabar pada 23 Desember 2015. Namun, Nur Rohman melarikan diri dan akhirnya melakukan peledakan di Mapolresta Surakarta.

“Kalau itu [Nur Rohman], memiliki rekam jejak [terorisme] dan termasuk jaringan terorisme. Beda dengan ini [Rofik] yang diduga menganut paham ISIS, namun belum diketahui ia termasuk jaringan atau tidak,” jelas Dedi.

Mantan Wakapolda Kalimantan Tengah itu menyatakan Rofik maupun terduga teroris lainnya beraksi saat Ramadan lantaran kepercayaan mereka. “Karena ada kepercayaan di kelompok tersebut bahwa Ramadan itu [untuk] amaliyah,” kata Dedi.

Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menyatakan aksi Rofik sebagai tindakan konyol.

“Ini aksi konyol. Dari elaborasi beberapa kebiasaan sebelumnya dari pelaku, menunjukkan ada perubahan sikap dari yang biasanya terbuka menjadi tertutup,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (4/6/2019).

Pelaku sehari-hari, lanjut dia, merupakan anak biasa, beraktivitas normal. Namun, setelah pergi tiga hari yang lalu ke daerah Semarang, tabiatnya jadi berubah yaitu pendiam dan tertutup seperti orang linglung.

Sebelum kejadian di Tugu Kartasura, setelah solat tarawih Rofik masih berada di rumah dan sempat ditawari makan oleh ibunya. “Dulu menurut penuturan orang yang mengenal dia, sebelum lulus sekolah tahun 2016, dia rajin kegiatan keagamaan di masyarakat, kegiatan sosial, cukup gaul,” kata Harits.

“Namun akhir-akhir ini sebelum kejadian ia menjadi pendiam, tertutup. Kemungkinan ada aktor yang mengindoktrinasi si pelaku yang berpengaruh pada perubahan sikap dan perilaku,” lanjut Harits.

Ia menambahkan bisa saja ini terkait dengan kelompok yang biasa melakukan aksi teror, atau kerjaan intelijen gelap menjadikan pelaku sebagai target yang terkondisikan dan ujungnya melakukan aksi konyol.

“Misalkan pelaku pernah terjejak di tahun 2016, yang bersangkutan pernah dilaporkan menghilang dari rumah oleh keluarganya. Sekitar dua pekan ia balik lagi, jadi sekilas pelaku ada atau menghadapi persoalan secara pribadi,” ujar Harits.

Singkat kata, Harits berujar, pelaku dalam kondisi linglung dan depresi. Ada yang membahasakan aksinya biar agak keren dengan ‘milenial lonewolfe’. Terminologi ‘teroris’ akan menjadi sangat artificial jika dilabelkan kepada aksi kriminal seperti kasus Rofik.

Harits berpendapat bisa saja aksi yang dilakukan Rofik dikaitkan dengan ISIS biar dengan mudah menjustifikasi aksi itu sebagai tindakan teroris.

“Ini adalah aksi konyol produk pengkondisian pihak yang tidak bertanggung jawab, pilihan momentum dan tempat sangat terkesan by design dengan target opini tertentu yang diharapkan oleh dalangnya tercapai,” tutur dia.

Baca juga artikel terkait LEDAKAN BOM KARTASURA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz