Menuju konten utama

Di Balik Ancaman Facebook Tolak Semua Link Berita dari Australia

Australia memaksa perusahaan media sosial membayar 'upeti' kepada penerbit berita. Facebook boikot berita dari Australia.

Di Balik Ancaman Facebook Tolak Semua Link Berita dari Australia
Logo Facebook di Nasdaq MarketSite, di Times Square New York. Facebook pada hari Jumat, 14 Februari 2020, AP Photo / Richard Drew

tirto.id - Pada 1998, sebuah perusahaan yang bergerak menciptakan teknologi 3D bangkrut. Empat mantan teknisi perusahaan yang pernah sukses menciptakan simulator Airbus A320 ini, Brian McClendon, Michael Jones, Chris Tanner, dan Remi Arnaud, mendirikan startup teknologi 3D khusus video game komputer bernama Intrinsic Graphic. Mereka berharap, dengan kian kencang dan murah meriahnya komputer atas kongsi dagang Wintel (Windows dan Intel), video game komputer kian berkembang dan membuat Intrinsic Graphic sukses.

Siang-malam, empat sekawan tersebut berusaha keras merealisasikan mimpi. Yang menarik, selama mengembangkan teknologi 3D bagi video game itu, Intrinsic Graphic sukses menemukan clipmapping--teknik me-loading kumpulan gambar dan menyatukannya secara mulus nan cepat plus hemat data. Melalui clipmapping, Intrinsic Graphic berhasil menciptakan CTFLY atau bola dunia (globe) versi digital. Namun, karena merasa bahwa CTFLY hanya buang-buang waktu, si empat sekawan sepakat memutuskan untuk tidak mengembangkannya lebih jauh. Michael Jones terpaksa setuju, meski sesungguhnya kecewa. Tak mau clipmapping/CTFLY mati, ia meminta kawannya, John Hanke, mantan diplomat Amerika Serikat untuk Myanmar yang bertransformasi menjadi teknisi software, mengembangkannya lebih jauh. Hanke setuju. Pada awal 2000, Hanke beserta dua puluhan temannya mendirikan startup bernama Keyhole yang dalam beberapa bulan sukses merilis versi lebih canggih CTFLY bernama EarthViewer.

EarthViewer merevolusi dunia perpetaan. Dengan hanya klik-dan-klik, setiap pengguna EarthViewer dapat menjelajah bumi virtual dengan mudah. Sayangnya, meskipun canggih, software ini tak laku. Ia gagal bersaing dengan Esri dan MapQuest yang lebih dulu menjadi pilihan masyarakat. Kesialan bertambah manakala dotcom bubble meletus dan membuat modal ventura (venture capital) tak mau lagi mengucurkan dana bagi startup. Beruntung, pada awal Maret 2003, CNN membeli lisensi EarthViewer senilai USD 75.000 dan membuat media yang dibenci Donald Trump tersebut memiliki hak untuk menggunakan EarthViewer untuk siaran mereka, khususnya sebagai grafik pada berita-berita yang membutuhkan peta--prakiraan cuaca, misalnya. Karena lisensinya terbilang murah, Hanke meminta CNN menautkan situsweb Keyhole setiap kali CNN menggunakan EarthViewer. CNN setuju-setuju saja.

Meskipun memperoleh uang dari CNN, angkanya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup Keyhole. Bagi Hanke, Keyhole tinggal menunggu bangkrut.

Keberuntungan menghinggapi Keyhole tak lama setelah kontrak diteken. AS menginvasi Irak dan CNN menggunakan EarthViewer sebagai bahan berita agresi militer ke negeri yang saat itu dipimpin Saddam Hussein. Melalui EarthViewer, CNN sukses memukau penontonnya, menyajikan Timur Tengah secara live berkat EarthViewer yang memanfaatkan gambar peta real-time (terkini). Stasiun-stasiun televisi lain pun mengontak Hanke dan membeli lisensi EarthViewer. Tak ketinggalan, berbagai lini Gedung Putih menginginkan EarthViewer tersedia di monitor mereka. Demikian pula militer AS di lapangan. Mereka ingin melihat geografi Timur Tengah dengan lebih jelas sebelum melakukan serangan.

Karena situsweb Keyhole ditampilkan dalam tiap tayangan CNN yang menggunakan EarthViewer, Keyhole kebanjiran antusiasme khalayak. Masyarakat, sebagaimana dikisahkan Bill Kildal dalam bukunya berjudul Never Lost Again: The Google Mapping Revolution That Sparked New Industries and Augmented Our Reality (2018), "menggunakan EarthViewer sebagai sumber berita". Mereka memanfaatkan software yang kelak bertransformasi menjadi Google Earth dan Google Maps untuk mengetahui situasi terkini di Irak.

"Wow, akhirnya saya dapat menggaji kalian," ucap Hanke pada Kilday (Direktur Pemasaran Keyhole) usai produk yang diciptakannya menjadi sumber berita Timur Tengah untuk masyarakat AS.

Soal bertransformasi menjadi sumber berita, Keyhole (atau Google Maps/Earth karena Google membeli startup ini seharga USD 35 juta pada 2004) tak sendirian. Tatkala Twitter baru berusia belia, Jack Dorsey, salah seorang pendirinya, menganggap bahwa wahana microblogging ini sebatas "tempat bagi orang-orang kesepian untuk berbagi sepi dengan pengguna lainnya". Namun, dalam buku Hatching Twitter: A True Story of Money, Power, Friendship, and Betrayal (2013), Nick Bilton menulis bahwa anggapan tersebut berubah manakala Twitter digunakan masyarakat di Tunisia, Libya, Mesir, Yaman, Suriah, dan Bahrain untuk menggulingkan kekuasaan otoriter. Akhirnya, penduduk dunia pun memanfaatkan Twitter, memperoleh berita terkini soal Arab Spring.

Evan Williams, pendiri Twitter lainnya, akhirnya menyebut bahwa bisnisnya adalah tempat untuk mengetahui informasi terkini.

"Jika ada kebakaran di ujung jalan sana, kamu seharusnya tidak mengunggah statusmu lewat Twitter. Kamu seharusnya Twittering, menginformasikan bahwa ada kebakaran di sana," tutur Williams.

Tak ketinggalan, Sarah Frier dalam bukunya berjudul No Filter: The Inside Story of Instagram (2020), menyebut bahwa pendiri Instagram, Kevin Systrom, menghendaki media sosial ciptaannya menjadi sebagai sumber berita. "Jika Twitter digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan informasi dengan teks, Instagram melalui visual," sebut Systrom. Pun, ini terjadi pada Google. Anda cukup cukup mengetik kata kunci, berita pun muncul. Bahkan Facebook, sebagaimana dikisahkan Steven Levy dalam buku Facebook: The Inside Story (2020), sukses bertransformasi dari tempat menentukan perempuan mana yang paling cantik di kampus (FaceMash) menjadi sumber berita paling laku di dunia maya.

Riset Pew Research Center pada 2016 mewawancarai 4.654 orang dan menyatakan 6 dari 10 warga AS memperoleh berita dari media sosial, khususnya Facebook. Dalam ruang Facebook sendiri, 66 persen pengguna memanfaatkan media sosial bikinan Mark Zuckerberg ini sebagai tempat mendapat berita. Tak ketinggalan, 21 persen pengguna Youtube mengaku memanfaatkan platform video ini untuk hal yang sama. Lalu, data yang dipaparkan Reuters Institute dan University of Oxford menunjukkan bahwa 51 persen responden mereka (yang tersebar di 26 negara dan dilakukan pada 2016) mengaku memanfaatkan media sosial sebagai sumber berita. Sebanyak 12 persen di antaranya bahkan mengaku hanya menjadikan media sosial sebagai sumber berita, alih-alih media berita konvensional.

Alasan pemanfaatan media sosial sebagai sumber berita sederhana saja: pengguna media sosial dapat memperoleh informasi apapun dari pengguna lainnya. Tak hanya itu, karena jumlah penghuni media sosial besar, penerbit pun menyebarkan berita di media sosial. Menurut data Reuters Institute, 20 persen lalu-lintas BuzzFeed dan 3 juta view video Cosmopolitan disumbang oleh Snapchat. Muncul pula outlet berita yang hanya menyajikan informasi di media sosial, bukan aplikasi atau situsweb terSendiri. NowThis, misalnya, memilih menghilangkan konten di situswebnya dan hanya menyajikan berita di Facebook dan Youtube.

Singkat kata, konten berita memang sangat bertebaran di media sosial. Media sosial menjadi pusat berita.

Bagi perusahaan media sosial, ini menguntungkan. Sebaliknya, keadaan ini menjadi petaka bagi para penerbit berita.

Kantong Penerbit Menipis, Australia Bertindak

Sepanjang 2019 lalu, merujuk data Statista, Google memperoleh pendapatan senilai USD 134,81 miliar dari berjualan iklan digital. Pendapat tersebut meningkat dari USD 116,46 miliar pendapatan setahun sebelumnya. Di waktu yang sama, Facebook mendulang uang senilai USD 69,66 miliar, naik dari USD 55,01 miliar. Peningkatan pendapatan iklan digital yang diterima media sosial, mengelaborasi dengan data Pew Research Center, terjadi secara signifikan sejak 2013 lalu. Pew Research Center menyebut, uang sebesar USD 42,6 miliar digelontorkan berbagai perusahaan untuk belanja iklan digital, dan dari angka itu mayoritas terserap ke rekening Google, Facebook, dan perusahaan media sosial lain. Di sisi lain, pemasukan perusahaan penerbit berita kian melempem sepanjang waktu. Deloitte (PDF) memperkirakan berbagai perusahaan penerbit hanya sanggup mendulang uang senilai 1,646 miliar euro sepanjang 2019 lalu.

Kantong rekening penerbit mengempis karena masyarakat memilih menggunakan media sosial sebagai sumber berita. Meskipun menurut Deloitte media sosial menyumbang 61 persen lalu-lintas ke situsweb/aplikasi penerbit berita, mayoritas warga maya sudah puas dengan membaca judul berita yang termuat dalam berbagai news feed media sosial. Studi Makysm Gabielkov berjudul "Social Clicks: What and Who gets Read on Twitter" menyatakan dari 2,8 juta link berita yang dibagikan di Twitter, 59 persen hanya dilihat judulnya semata, tidak di-klik untuk mengarah ke website/aplikasi penerbit berita dan dibaca. Studi yang dipaparkan di International Conference on Measurement and Modeling of Computer Science Juni 2016, juga menyatakan kematian mengancam penerbit seiring makin lazimnya pengguna menyalin berita untuk dibagikan di media sosial.

Dengan tidak terdistribusikannya kue iklan pada penerbit, sukar bagi penerbit membiayai operasionalnya. Padahal, ada gaji yang harus dibayar, logistik kantor yang harus dipenuhi, buku yang harus dibaca para jurnalis untuk menciptakan berita, tagihan internet dan pulsa yang harus dibayar, dan seterusnya.

Pemerintah Australia ingin membereskan masalah ini.

Di bawah kekuasaan Perdana Menteri Scott Morrison, Australia ingin memaksa perusahaan media sosial, seperti Facebook dan Google, membayar 'upeti' kepada penerbit berita. Ya, bukan hanya berita full-text dari penerbit di media sosial yang harus dibayar, tetapi juga untuk link-link yang dimuat media sosial. Sejak bulan lalu, keinginan Australia tersebut telah sah menjadi produk undang-undang. "Begitulah cara kerja di sini, di Australia," tutur Morrison.

Tentu saja, Facebook menolak keputusan itu. Maka, sejak pekan ketiga Februari 2021, Facebook memblokir link/konten berita sekaligus memblokir para pengguna membagikan berita di Australia. Campbell Brown, Vice President of Global News Partnerships Facebook, mengatakan bahwa aturan yang memaksa perusahaan media sosial membayar penerbit di Australia "telah gagal memahami kerjasama alamiah Facebook dengan penerbit". "Facebook tidak mencuri konten berita apapun," ujarnya.

Steven Levy, Editor-at-Large Wired, menilai langkah Australia keblinger. Baginya, "Mark Zuckerberg dari Facebook tidak pernah membayangkan bahwa orang-orang di jaringannya akan bertukar tautan berita [...] Google dan Facebook tidak tahu bahwa mereka pada akhirnya akan dituduh menghancurkan industri berita". Perusahaan media sosial hanya ingin melakukan langkah sederhana melalui platformnya, yakni "menjaring semua situsweb dan mendistribusikannya secara terbuka". Dengan memaksa media sosial membayar penerbit, media di Australia kehilangan akses masyarakat--yang mengkonsumsi berita dari media sosial.

Solusi untuk masalah ini sederhana, tutur Levy, "penerbit tinggal menutup akses link yang tersebar di media sosial."

Langkah Facebook menolak membayar 'upeti' sebetulnya hendak dilakukan Google. Januari lalu, Google bahkan terang-terangan menyatakan akan hengkang dari Australia seandainya aturan membayar pada penerbit disahkan. Selebihnya adalah plot twist: sebagaimana dilaporkan Alex Hern untuk The Guardian, Google akhirnya memilih membayar "dengan jumlah yang signifikan" kepada penerbit, khususnya pada News Corp milik konglomerat Rupert Murdoch. Dengan jumlah uang yang tak disebutkan nominalnya tersebut, Google memiliki hak untuk mendistribusikan link atau konten utuh dari Wall Street Journal, Times, dan The Australian.

Robert Thomson, CEO News Corp, menyebut bahwa uang dari Google "sangat berarti bagi dunia jurnalisme. Dengan kerjasama ini, kami dapat membangun jurnalisme kelas premium."

"Terima kasih Sundar Pichai," tutup Thomson.

Baca juga artikel terkait FACEBOOK atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf