Menuju konten utama

Di Balik Aksi BCA dan Bank Lain Caplok Bank-Bank Kecil

Aksi merger dan akuisisi bank sedang marak. Pada awal 2019 ada sejumlah bank yang siap berkonsolidasi.

Di Balik Aksi BCA dan Bank Lain Caplok Bank-Bank Kecil
Presdir BCA Jahja Setiaatmadja memberikan presentasi di hadapan Kepala Departemen Pengawasan Bank 3 OJK Anung Herlianto, CEO T-Cash Telkomsel Danu Wicaksana, General Manager Isentia Indonesia Lie Luciana Budiman, pada seminar bertajuk "Tantangan dan Strategi Digital Branding di Tahun Politik" di Jakarta, Rabu (25/4/2018). ANTARA FOTO/Audy Alwi.

tirto.id - Paket kebijakan Oktober 1988 (Pakto 88) yang ditelurkan era Soeharto dianggap paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Saat itu, untuk mendirikan bank, dana yang harus disiapkan hanya minimal Rp50 juta.

Darmin Nasution dalam buku “Darmin Nasution: Bank Sentral itu Harus Membumi” (2013) mengisahkan pengalamannya. Ia yang kala itu aktif di dunia pendidikan, sempat terperangah dengan kebijakan Soeharto. Tercatat jumlah bank kala itu naik dua kali lipat menjadi 208 bank hanya dalam waktu empat tahun setelah kebijakan Pakto 88.

Semenjak krisis 1998, tindakan mendirikan bank sudah jauh lebih ketat. Regulator menginginkan agar jumlah bank yang beredar di Tanah Air lebih ramping. Salah satu cara yang didorong adalah dengan melakukan merger atau akuisisi.

Aksi merger dan akuisisi belakangan mulai marak kembali. Pada 2019, sedikitnya ada enam bank nasional yang akan berkonsolidasi, di antaranya PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Tbk. dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia.

PT Bank Danamon Indonesia Tbk. dengan Bank Tokyo Mitshubishi UFJ bersama dengan PT Bank Nusa Parahyangan. Ada juga PT Bank Dinar Indonesia Tbk. dan PT Bank Oke Indonesia.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memberikan izin, terutama kepada Bank Pensiunan Tabungan Nasional dan Bank Sumitomo Mitsui Indonesia. Ringkasan rancangan penggabungan kedua bank juga telah dipublikasikan pada 2 Agustus 2018. Setelah mengantongi persetujuan OJK, kedua bank akan melalui beberapa tahapan proses administrasi pada otoritas-otoritas perbankan. Setelah selesai, bank hasil penggabungan itu dapat beroperasi sebagai bank baru.

“Persetujuan ini salah satu tahap penting dalam merampungkan proses penggabungan usaha. Kami bersyukur dan berterima kasih atas dukungan OJK terhadap proses aksi korporasi ini,” kata Direktur Utama BTPN Jerry Ng dalam siaran pers yang diterima Tirto.

Bank-bank lainnya juga melakukan aksi merger dan akuisisi. Bank swasta nasional terbesar, PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) juga berencana berkonsolidasi dengan cara mengakuisisi dua bank kecil.

“Benar kami ada rencana itu. Bahkan sudah masuk dalam business plan kami ke regulator, khususnya OJK. Kami sedang due diligence dan pendalaman terhadap beberapa prospek,” kata Direktur BCA Santoso Liem kepada Tirto.

Rencana BCA mengakuisisi bank sudah dikemukakan direksi sejak 2016. Namun, rencana itu tak kunjung terealisasi. Terakhir, BCA melakukan akuisisi terhadap perusahaan pembiayaan, yakni PT Central Santosa Finance pada 2014.

Namun, rencana BCA untuk mengakuisisi bank tampaknya semakin kuat tahun ini. Apalagi, akuisisi tersebut ini erat kaitannya dengan rencana perseroan untuk mengembangkan layanan digital banking.

Sayangnya, BCA belum dapat membuka nama bank yang tengah diincar tersebut, termasuk nilai akuisisinya. Menurut Santoso, manajemen masih merahasiakan bank yang diincar guna menghindari adanya gejolak harga saham.

Selain akuisisi, BCA juga menyiapkan dana sebesar Rp2 triliun pada 2019 guna memperkuat sistem informasi teknologi BCA. Penguatan IT diperlukan mengingat perkembangan bisnis perbankan sudah mengarah ke digitalisasi.

Keuntungan Merger dan Akuisisi

Perkembangan teknologi yang kian deras beberapa tahun belakangan ini memang membuat disrupsi terhadap sejumlah sektor usaha, tidak terkecuali perbankan. Bahkan, saat ini, sudah muncul industri baru, yakni industri finansial teknologi.

Melihat kondisi tersebut, bank-bank lokal pun melakukan banyak gebrakan, terutama dari sisi layanan digital. Nah, dari sekian banyak cara yang dipilih, cara yang kerap dilakukan adalah dengan melakukan akuisisi atau aksi non-organik.

Menurut Josua Tarigan dikutip dari buku ‘Merger dan Akuisisi: Dari Perspektif Strategis dan Kondisi Indonesia’ 2016 menyebutkan akuisisi adalah salah satu jenis merger, di mana salah satu perusahaan mengambil alih kepemilikan perusahaan lain. Banyak keuntungan yang didapat dari akuisisi ini mulai dari bertambahnya pelanggan baru secara instan, lebih mudah masuk ke pasar baru, hingga mengatasi kekurangan produk atau teknologi yang dimiliki.

Selain itu, keputusan melakukan akuisisi atau merger juga menambah tingkat efisiensi bank. Dalam penelitian Hanif Pradipta dan Bryan Zaharias dari Universitas Padjadjaran Bandung bertajuk ‘Penaksiran Dampak Merger Dan Akuisisi Terhadap Efisiensi Perbankan, Analisis Sebelum Dan Setelah Merger Dan Akuisisi yang dimuat Jurnal Ekonomi dan Pembangunan bank umumnya menjadi lebih efisien setelah melakukan merger dan akuisisi.

Kesimpulan itu diambil peneliti setelah melakukan analisis terhadap 20 bank yang melakukan merger dan akuisisi sepanjang periode 2004-2013. Adapun dalam konteks dalam penelitian itu untuk mencari tahu dampak dari akuisisi dan merger terhadap efisiensi bank.

Bagi BCA, tidak menutup kemungkinan seluruh manfaat dari akuisisi itu akan didapatkan, terutama dalam pengembangan layanan digital banking, di mana bisnis perbankan saat ini sudah mengarah ke sana.

“Ketimbang bangun institusi dari awal, kami pikir lebih baik melakukan akuisisi. Mumpung, saat ini sedang tren konsolidasi bank, dimana bank di Indonesia masih terlalu banyak,” tutur Santoso.

Di Indonesia, bank yang mengakuisisi bank lainnya cukup sering terjadi. Sejak 2010 hingga saat ini, tercatat sedikitnya lima bank yang mencaplok bank lainnya. Misal, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BRI) yang mengakuisisi Bank Agro.

Seperti BCA, keputusan BRI mengakuisisi Bank Agro adalah memperluas cakupan layanan. Fokus Bank Agro adalah melayani kredit sektor pertanian dan perkebunan, sehingga akuisisi itu kian menopang bisnis BRI yang juga fokus mengurus kredit sektor riil.

Akuisisi itu juga memberikan respons positif bagi kinerja Bank Agro. Menurut penelitian Dian Ayu Istiani, Saryadi dan Sendhang Nurseto dari Universitas Diponegoro Semarang bertajuk ‘Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan BRI Agro Sebelum dan Sesudah Akuisisi’ disebutkan tingkat efisiensi dan likuiditas bank menjadi lebih baik setelah akuisisi.

Sebelum akuisisi, rasio biaya operasional dan pendapatan operasional (BOPO) Bank Agro tercatat sebesar 100,05 persen, dan setelah akuisisi menjadi 89,06 persen. Dengan kata lain, penurunan rasio BOPO mengindikasikan bank dapat meminimalkan beban bunga dan operasional, sehingga efisiensi meningkat.

Membaiknya likuiditas juga terlihat dari menurunnya rata-rata rasio kredit terhadap simpanan (LDR). Sebelum akuisisi, LDR Bank Agro tercatat 88,69 persen, namun setelah akuisisi menjadi Bank BRI Agro, nilai LRD turun menjadi 80,40 persen.

Selain efisiensi dan likuiditas, kemampuan bank menghasilkan laba juga ikut membaik. Hal itu terlihat dari meningkatnya rasio bank menghasilkan keuntungan terhadap aset (ROA). Sebelum akuisisi, nilai rata-rata ROA sebesar 0,11 persen, dan setelah akuisisi menjadi 0,81 persen.

Dampak lain dari aksi-aksi akuisisi ini mendorong bank asing untuk ikut berkiprah di Indonesia. Misal, Qatar National Bank yang mengakuisisi Bank Kesawan pada 2011 atau J Trust Bank yang mengakuisisi Bank Mutiara pada 2014.

Aksis merger dan akuisisi memang positif bagi bank bersangkutan, tapi apakah akan positif bagi pasar perbankan secara keseluruhan?

Infografik Bank mengakuisisi Bank

Inefisiensi Perbankan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang gencar mengurangi jumlah bank yang ada, atau kerap disebut konsolidasi. OJK mencatat jumlah bank umum dan syariah di Indonesia per Juli 2018 mencapai 116 bank, terdiri dari bank Buku I sebanyak 21 bank, Buku II sebanyak 62 bank, Buku III sebanyak 27 bank dan Buku IV sebanyak 5 bank.

Angka tersebut menurun ketimbang tiga tahun yang lalu, saat itu total jumlah bank umum dan syariah mencapai 118 bank, terdiri dari Buku I sebanyak 39 bank, Buku II sebanyak 52 bank, Buku III sebanyak 23 bank dan Buku IV sebanyak 4 bank.

“Dengan penggabungan, maka akan mempunyai kekuatan yang lebih besar, sehingga efektif dalam investasi, terutama menyangkut teknologi. Dan harapan kita mengarah ke sana,” kata Wimboh, Dewan Komisioner OJK dikutip dari Antara.

Jika melihat arah perbankan tersebut, bisa dibilang peta persaingan perbankan nasional ke depannya cenderung mengarah ke oligopoli. Artinya, jumlah bank dari tahun ke tahun akan semakin sedikit. Apabila kecenderungan itu terjadi, agaknya ada hal yang perlu diperhatikan regulator. Pasalnya, pasar oligopoli dikhawatirkan malah berpotensi membuat bank menjadi inefisiensi lantaran tingkat kompetisi yang longgar.

“Makanya, pengawasan regulator tidak boleh kendur. Kalau tidak, bank bisa semau-maunya kasih bunga kredit, sehingga merugikan konsumen. Tapi saya pikir regulator mampu karena yang diatur jumlahnya juga akan mengecil,” kata Ekonom Maybank Indonesia Juniman kepada Tirto.

Potensi kompetisi yang mengendur terlihat dari analisa Ratna Sri Widyastuti dan Boedi Armanto yang bertajuk ‘Kompetisi Industri Perbankan Indonesia’ 2013. Dalam penelitian itu, bank umum berada pada situasi ke arah oligopoli setelah program Arsitektur Perbankan Indonesia (API) terbit pada 2004. Pada saat bersamaan, kompetisi antar bank kian menurun.

Penyebab utama penurunan kompetisi adalah jumlah bank yang berkurang akibat banyaknya merger dan akuisisi, ataupun konsolidasi antar bank, terutama yang terjadi pada tahun-tahun setelah API terbit (pasca krisis 1997/98).

Proses merger dan akuisisi memang bisa menjadi salah satu strategi untuk menciptakan bank yang besar, kokoh dan stabil. Namun, regulator jangan terlena, ada konsekuensi lainnya.

Baca juga artikel terkait AKUISISI PERUSAHAAN atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra