Menuju konten utama

Di Awal Tahun Politik, KPK "Panen" Tiga OTT KPK

“Tetapi bisa saja karena berkaitan dengan tahun politik, transaksi korupsi makin meningkat dan dilakukan oleh pelaku politik itu sendiri,” ujar Aradila.

Di Awal Tahun Politik, KPK
Pekerja membersihkan logo Komisi Pemberantasan Korupsi di gedung KPK, Jakarta, Senin (5/2/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

tirto.id - Dalam waktu dua pekan di awal Februari ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan tiga operasi tangkap tangan (OTT). Tiga OTT KPK yang menyeret calon kepala daerah ini seperti “panen” dan ditengarai karena terjadi di tahun politik.

Menurut peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI) Aradila Caesar Ifmaini Idris, KPK memang intens melakukan OTT KPK hingga ke daerah-daerah seperti yang dilakukan akhir-akhir ini.

Tetapi bisa saja karena berkaitan dengan tahun politik, transaksi korupsi makin meningkat dan dilakukan oleh pelaku politik itu sendiri,” ujar Aradila saat dihubungi Tirto, Kamis (15/2/2018).

Tiga OTT KPK yang terjadi sejak awal Februari yakni terjaringnya Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko pada 3 Februari 2018. Disusul Bupati Ngada Marianus Sae yang ditangkap pada 11 Februari 2018. Selang tiga hari kemudian, penyidik KPK mencokok Bupati Subang Imas Aryumningsih pada 14 Februari 2018.

Menurut Aradila, dalam kurun waktu dua pekan ini ada tiga OTT sekaligus terbilang singkat dan patut diapresiasi. Pasalnya, KPK memang mengandalkan OTT untuk membongkar kasus korupsi. Namun upaya KPK ini diibaratkan sebagai “panen” dalam artian tidak untuk dipolitisasi atau pun upaya mengejar target.

Karena pada kenyataannya KPK sering OTT. Bahkan tahun 2016 2017 sering OTT oknum pengadilan. Saya rasa OTT KPK memang jadi andalan dalam membongkar kasus korupsi. Agak jauh rasanya merelasikan jumlah OTT selama dua pekan dengan adanya tuduhan politisasi misalnya,” jelasnya.

Aradila menekankan dalam dua kasus OTT KPK Bupati Ngada NTT dan Bupati Jombang dengan modus calon petahana kepala daerah menggunakan uang negara untuk membiayai pencalonannya di Pilkada 2018.

Dugaan saya karena kondisi tahun politik, sehingga banyak kepala daerah yang sedang aktif dalam aktivitas politik yang korup. Sehingga angka OTT KPK meningkat,” ungkap mantan peneliti ICW ini.

Saat ditanya kecenderungan untuk calon kepala daerah terutama petahana untuk menyalahgunakan uang negara tinggi, Aradila membenarkan hal itu.

Bisa jadi iya demikian. Dengan logika biaya politik tinggi sedangkan pendapatan tidak dapat menutupi kebutuhan politik, sangat mungkin petahana menggunakan uang negara,” tegasnya.

Aradila menekankan untuk fenomena kepala daerah yang menyalahgunakan uang negara untuk biaya politik ini seharusnya seiring dengan fungsi pencegahan korupsi.

KPK sebaiknya tidak hanya melakukan OTT semata saja. Tapi harus masuk dalam wilayah pencegahan dengan bekerja bareng dengan pemerintah untuk mencari solusi akar persoalan ini,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait OTT KPK atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri