Menuju konten utama

"Dhani vs Once" dan Jalan Panjang Penegakan Royalti di Indonesia

Perseteruan Ahmad Dhani vs Once, membawa kembali diskusi tentang royalti dan hak cipta.

Vokalis Dewa 19 Once Mekel tampil dalam konser Dewa 19 di Jakarta International Stadium (JIS), Jakarta, Sabtu (4/2/2023). Konser bertajuk "Pesta Rakyat Dewa 19" dalam rangka 30 tahun grup musik Dewa 19 berkarya. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/tom.

tirto.id - Mungkin masih segar di ingatan kita bagaimana Payung Teduh memperjuangkan hak royalti mereka atas YouTuber Hanin Dhiya. Atau ketika Abah Lala memperjuangkan hak royalti atas lagu viralnya, "Ojo Dibandingke" yang dibawakan penyanyi cilik Farel Prayoga.

Sayangnya, beberapa kali sengketa perkara royalti di Indonesia masih bersifat individualistik dibanding sistemik. Bagaimana bisa menagih royalti atas performing right jika sistemnya masih amburadul? Kira-kira seperti seperti itu.

Sekarang, kasus ontran-ontran perkara royalti kembali muncul. Kali ini digaungkan oleh dua musisi masyhur Indonesia, Ahmad Dhani dan Once Mekel. Dengan level kebintangan mereka, magnitudo yang dihasilkan jelas jauh lebih besar.

You (Don’t) Only Live Once: Gesekan Dhani vs Once

Jika menengok ke belakang, keresahan Ahmad Dhani mengenai mekanisme royalti memang sudah terdengar jauh sebelum dirinya menyatakan “perang terbuka” terhadap Once.

Mulai dari kritiknya terhadap mekanisme royalti bisnis karaoke, hingga kritiknya terhadap Lembaga Manajemen Kolektif Wahana Musik Indonesia (LMK WAMI) yang membuatnya sempat keluar dari lembaga tersebut pada tahun lalu. Namun, benang merah dari kritiknya selalu sama: penegakan royalti dan transparansi distribusi royalti.

Sebagaimana peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga, sudah penegakan royaltinya masih tumpul, sekalinya ada pun jumlah yang diterima tidak transparan. Dhani mengaku bahwa selama ini rutin mendapatkan royalti, tapi dirinya merasa bahwa tidak ada transparansi atas jumlah yang Ia terima.

"Misalnya saya ditransfer Rp200 juta, saya enggak tahu dari mana aja itu. Saya enggak tahu dan enggak bisa ditanyain juga," kata Dhani dalam keterangan persnya saat keluar dari WAMI tahun 2022 lalu.

Maka dapat dimengerti saat Dhani mempertanyakan hal yang sama kala Maret lalu, Dhani —yang telah kembali ke WAMI— meminta WAMI untuk mendata Event Organizer (EO) yang mengundang Once, mantan vokalisnya di Dewa.

Dhani mengklaim bahwa banyak EO yang mengundang Once tapi tidak membayar royalti atas lagu-lagu ciptaannya yang dibawakan Once. Hal tersebut menurut Dhani juga telah berlangsung sejak tahun 2010, saat Once memutuskan mundur dari Dewa 19.

Bagai penembakan Franz Ferdinand, langkah tersebut dengan cepat berubah menjadi perseteruan terbuka yang ramai di media. Puncaknya, Dhani melarang Once untuk membawakan lagu-lagu Dewa 19 tanpa dirinya.

Once sendiri menepis anggapan bahwa dirinya mengemplang royalti. Dalam konferensi persnya, Once menyatakan bahwa selama ini dirinya tetap mematuhi hukum positif yang berlaku. Once juga menilai ada kecenderungan dari Dhani untuk menerapkan tarif di luar ketentuan perundang-undangan.

Memang jauh sebelum konflik dengan Once tersebut, Dhani pernah secara gamblang menyebutkan jika negosiasi mengenai royalti antara dirinya dan Once masih berjalan alot. Hal ini, menurut Dhani, berbeda dengan negosiasi dengan beberapa penyanyi lain yang juga membawakan lagu gubahannya, seperti Ari Lasso dan Reza Artemevia.

Selain itu, mengenai pembayaran royalti, menurut Once hal tersebut merupakan tanggungjawab dari EO yang mengundang dirinya.

"Saya nggak mungkin bayar royalti ke dia, saya kan main diundang oleh event organizer, nah event organizer itu yang akan bertanggung jawab pada LMK," kata Once. Mendengar hal tersebut, Dhani pun menantang.

“Kalau benar Once sudah bayar (melalui EO), coba, dong, lampirkan hasil menyanyikan lagu Dewa 19 dari tahun 2010 sampai sekarang. Kalau dibilang sudah bayar, saya bisa bilang itu omong kosong karena saya dan Andra nggak pernah terima dan nggak ada buktinya. Jadi menurut saya Once berlindung di balik EO," tantang Dhani.

Mekanisme Royalti di Indonesia

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 (PP 56/2021) tentang Pengelolan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik telah secara jelas mengatur kegiatan komersial publik yang dikenakan royalti yang meliputi:

  • seminar dan konferensi komersial;
  • restoran, kafe, pub, klub, dan diskotek;
  • konser musik;
  • transportasi (pesawat, bis, kereta, dan kapal laut);
  • pameran dan bazar;
  • bioskop;
  • nada tunggu telepon;
  • bank dan kantor;
  • pertokoan;
  • pusat rekreasi;
  • lembaya penyiaran televisi;
  • lembaga penyiaran radio;
  • hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan
  • usaha karaoke

Artinya, setiap orang yang membawakan atau memutar musik ciptaan orang lain pada lingkup tersebut, wajib untuk membayar royalti kepada pencipta lagu, pemegang hak cipta lagu, ataupun pemilik hak terkait.

Nantinya royalti tersebut harus dibayarkan kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang kemudian mendistribusikan royalti tersebut kepada pencipta lagu, pemegang hak cipta lagu, ataupun pemilik hak terkait.

Merujuk pada Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, besaran tarif royalti konser musik adalah 2 persen dari nilai kotor penjualan tiket ditambah 1 persen dari nilai tiket yang digratiskan untuk tiap lagu. Sementara untuk pertunjukan yang bersifat gratis, maka besaran tarifnya adalah 2 persen dari total produksi musik.

Dalam hal ini, Once sebagai penampil di acara konser musik, harus membayar royalti kepada LMKN setiap kali membawakan lagu ciptaan Ahmad Dhani.

Misalnya, Once membawakan satu lagu ciptaan Ahmad Dhani di sebuah konser dengan nilai kotor penjualan tiket sebesar Rp10 juta dan juga nilai tiket gratis sebesar Rp1 juta. Maka jika ditotal, pihak Once harus membayar sekitar Rp210 ribu kepada LMKN. Nantinya LMKN akan meneruskan royalti tersebut kepada Ahmad Dhani.

Melihat variabel yang digunakan dalam penghitungan tarif royalti seperti nilai kotor penjualan tiket, lazimnya memang segala persoalan royalti tersebut diurus oleh Event Organizer (EO) yang mengundang penampil, Sebagaimana yang dinyatakan Once sebelumnya.

Namun jika merujuk ke PP 56/2021 sendiri, sebenarnya tidak ada ketentuan spesifik mengenai EO lah yang harus membayar royalti tersebut.

Sebab, PP 56/2021 mendefinisikan “Orang” sebagai orang perseorangan serta badan hukum. Artinya, secara hukum baik penampil perseorangan seperti Once atau badan hukum seperti EO dapat mengurus royalti tersebut. Karenanya perihal royalti tersebut sebaiknya perlu ditegaskan dalam perjanjian antara EO dan sang penampil.

Tiga Dimensi Persoalan Dhani vs Once

Perdebatan juga muncul pada larangan membawakan lagu Dewa 19 oleh Once. Pihak Dhani melalui kuasa hukumnya, Aldwin Rahardian, menyatakan bahwa Once harus mendapatkan izin untuk membawakan lagu-lagu Dewa 19 sesuai dengan Pasal 9 jo. Pasal 113 UU 28/2014 tentang Hak Cipta di mana setiap orang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang menggunakan ciptaan secara komersil dengan ancaman pidana 1 (satu) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.

Meski begitu, landasan tersebut layak dipertanyakan. Pasal 23 undang-undang yang sama juga memberikan kelonggaran bagi penggunaan tanpa izin dalam suatu pertunjukan, asalkan tetap membayar royalti. Lebih lanjut, Pasal 87 UU Hak Cipta jo. Pasal 10 PP 56/2021 juga secara jelas membeli kelonggaran bagi penggunaan lagu atau musik tanpa izin selama tetap membayar royalti kepada LMKN.

Ini turut dijelaskan pula oleh kuasa hukum Once Mekel, Panji Prasetyo.

"Jika seorang performer melalui penyelenggara atau EO telah mendapatkan lisensi dan telah membayarkan royalti kepada LMKN, maka performer tersebut tidak dapat dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 9 UU Hak Cipta," jelas Panji.

Belakangan, dalam pertemuan antara Dhani dan Once di kantor Kemenkumham pada Selasa (18/4), keduanya masih terlihat berdebat mengenai Pasal 9 UU Hak Cipta tersebut. Dhani masih bersikeras bahwa penampil seperti Once wajib mendapatkan izin dari sang pencipta lagu sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 9 UU Hak Cipta.

"Nah artinya kalau si pencipta tidak mengizinkan, itu memang tidak boleh. 'Seizin' Pasal 9," pungkas Dhani.

Namun, hal itu dibantah oleh Once yang menyatakan bahwa ketentuan umum dalam Pasal 9 tersebut telah diatur secara khusus dalam Pasal 23.

“Ini ada hukum umum ya. Lex specialis derogat legi generali. Apa yang khusus mengesampingkan apa yang umum. Pasal 23 ayat (5) adalah sesuatu yang khusus yang mengesampingkan Pasal 9," jelas Once.

Sekali lagi, Once mengutip Pasal 23 yang memberikan kelonggaran perizinan selama tetap menjalankan kewajiban royalti.

Jika disimpulkan dari perdebatan panjang ini, setidaknya terdapat tiga dimensi persoalan: mekanisme royalti, pembayaran royalti, dan larangan membawakan lagu.

Pertama, jika berbicara mengenai mekanisme royalti, maka yang dilakukan oleh Once dengan menyerahkan mekanisme royalti kepada LMKN sudah sesuai secara hukum. Karenanya, Once tidak perlu lagi membuat deal lain dengan Dhani di luar skema LMKN.

Namun soal kedua, yakni mengenai pembayaran royalti, tentu merupakan hal yang berbeda. Jika merujuk kepada pernyataan Dhani, dirinya belum pernah mendapatkan laporan royalti dari Once sejak tahun 2010 hingga 2022.

Dalam hal ini, besar kemungkinan juga bahwa Once tidak tahu menahu mengenai realisasi pembayaran royalti yang dilakukan EO yang mengundangnya. Karenanya penting juga untuk menengok perjanjian antara EO serta Once sebagai penampil.

Ketiga, soal larangan membawakan lagu Dewa 19. Secara hukum ancaman pidana yang dilayangkan pihak Dhani kepada Once sejatinya tidak dapat berlaku selama kewajiban royalti tetap dijalankan oleh pihak Once. Meski begitu, dengan atau tanpa larangan tersebut, belakangan Once mengaku bahwa tidak berminat membawakan lagu Dewa 19 lagu yang Ia ikut gubah, seperti Cemburu.

Akhir dari Perseteruan, Awal Dari Perjalanan Panjang

Kasus Dhani vs Once ini jelas bukan yang pertama dan kemungkinan besar bukan yang terakhir juga. Bahkan bisa dikatakan jika kasus ini hanyalah “puncak es” dari sistem royalti yang masih ruwet dan belum memihak musisi. Bahkan bisa dikatakan mereka berdua adalah korban.

Kebintangan Dhani dan Once juga membuat kasus ini dilirik dan bahkan mendorong lembaga terkait untuk melakukan perubahan. Seperti LMKN yang pada awal April lalu meluncurkan Sistem Administrasi Pelisensian Online. Sesuatu yang disambut positif oleh para musisi, bahkan Dhani sendiri.

Sistem tersebut sejatinya merupakan bagian dari amanat dari PP 56/2021 yang mewajibkan LMKN membentuk Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik dalam waktu dua tahun setelah peraturan terbit. Namun tanpa kasus Dhani vs Once, sulit rasanya untuk membayangkan sistem tersebut dapat diluncurkan secepat ini.

Peluncuran sistem tersebut jelas harus dirayakan. Bukan sebagai akhir dari perjuangan, melainkan sebagai awal dari perjalanan panjang penegakan royalti di Indonesia. Masih banyak ruang yang harus dijamah, seperti royalti atas penampilan di platform digital yang saat ini belum diatur secara lugas.

Sebab meski tidak semua musisi seberbakat Dhani dan Once, tapi semua musisi berhak atas hak ekonomi dari ciptaannya.

Baca juga artikel terkait AHMAD DHANI atau tulisan lainnya dari Ilham Shidqi Nurrahmadi

tirto.id - Mild report
Kontributor: Ilham Shidqi Nurrahmadi
Penulis: Ilham Shidqi Nurrahmadi
Editor: Nuran Wibisono