Menuju konten utama

Deteksi Demam Berdarah Tak Harus di RS, Ada Alat Rumahan Karya BPPT

Diklaim punya akurasi 98 persen, kit diagnostik DBD ini akan dijual mulai April 2019 dengan harga 50 ribuan.

Deteksi Demam Berdarah Tak Harus di RS, Ada Alat Rumahan Karya BPPT
Petugas Dinas Kesehatan melakukan pengasapan (fogging) di pemukiman padat penduduk di kawasan Ujungtanah, Makassar Sulawesi Selatan, Jumat (27/10/2017). ANTARA FOTO/Darwin Fatir

tirto.id - Daerah beriklim tropis dan subtropis, termasuk Indonesia, adalah daerah endemik penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Penanganan cepat dan tepat perlu dilakukan supaya infeksi virus tak berujung kematian. Mirisnya, deteksi dini sebagai tindakan penanganan awal penyakit ini kerap terkendala biaya, efisiensi, dan pengetahuan masyarakat.

Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat sejak 1 Januari 2019 hingga 23 Januari 2019 terdapat 11 ribu kasus DBD. Kasus tertinggi berada di Provinsi Jawa Timur dengan jumlah mencapai 2.200 kasus. Sejak tahun lalu, provinsi ini memegang rekor bertahan sebagai daerah dengan jumlah kasus DBD terbanyak di Indonesia.

“Kasus paling banyak di Jawa Timur berada di Kabupaten Kediri, mencapai 180 kasus,” ungkap Direktur Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi.

Pada kasus DBD, keberhasilan terapi sangat bergantung pada diagnosis cepat, pengobatan segera, serta penanganan memadai. DBD kerap tidak terdeteksi lantaran gejala demam yang mirip dengan demam biasa. Apalagi ketika demam memasuki hari ketiga, suhu tubuh turun, jamak orang mengira kondisi ini sebagai tahap penyembuhan. Karena itu, biasanya penderita tidak mendapat perawatan lanjutan. Padahal, penanganan telat pada penyakit ini bisa menyebabkan kematian.

Diagnosis penderita DBD lazimnya dilakukan tenaga kesehatan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan dipertegas dengan uji laboratorium. Pemeriksaan laboratorium standar WHO yang diadaptasi Kemenkes selama ini adalah trombositopenia dan uji tourniquet. Untuk mendapat rangkaian pemeriksaan standar tersebut, waktu dan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.

Karena persoalan ini, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) membuat sebuah alat pendeteksi dini DBD yang bisa dipakai secara rumahan.

Bermula dari Riset Vaksin DBD

Tahun 2014, beberapa lembaga penelitian termasuk BPPT, Kemenkes, LIPI, UI, UGM, PT Biofarma Bandung bergabung membentuk sebuah Konsorsium Riset Vaksin. Program jangka panjang lembaga-lembaga ini adalah membuat vaksin DBD. Namun, mekanisme penelitian vaksin bisa memakan waktu hingga lebih dari 20 tahunan, selain kebutuhan dana besar serta sumber daya peneliti mumpuni.

Maka dari itu, BPPT sebagai lembaga yang memiliki program kerja jangka pendek, memutuskan untuk membuat produk di tengah-tengah riset vaksin. Pada 2016, dipimpin oleh Irvan Faizal sebagai Kepala Program DBD Kit Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT, proyek pembuatan Kit Diagnostik DBD dimulai.

“Kita ambil data penyakit dari Lembaga Eijkman, sementara koleksi virus dari Balitbang Kemenkes,” ungkap Irvan.

Ia berani memberi garansi bahwa kit diagnostik buatan BPPT lebih akurat dibanding kit serupa yang diimpor dari luar negeri. Kit buatan BPPT telah diuji menggunakan lebih dari 100 sampel segar dan koleksi. Strain lokal yang digunakan didapat dari virus yang terdeteksi pada masyarakat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke.

“Keakuratan kita bisa sampai 98 persen, yang impor selisih 20 persen lebih rendah,” jelas pria yang bekerja sebagai bioteknolog molekuler BPPT ini. Kit diagnostik impor kurang spesifik ketika digunakan masyarakat Indonesia karena dibuat bukan dari strain virus lokal.

Infografik Alat pendeteksi DBD

Infografik Alat pendeteksi DBD

Produksi Massal

Kit diagnostik ini terbuat dari antigen yang dihasilkan oleh virus dengue pada hari pertama hingga kelima pasca-infeksi. Gejala DBD biasanya dimulai setelah lima jam setelah gigitan nyamuk. Bentuk dan cara membacanya seperti alat deteksi kehamilan. Jika sampel yang diuji positif DBD maka akan muncul dua garis merah sebagai penanda, sebaliknya, garis satu artinya sampel tidak terinfeksi virus dengue.

Hasil tersebut bisa diperoleh dalam waktu 2-10 menit. Bedanya, sampel pengujian kit diagnostik DBD ini menggunakan darah yang diteteskan pada lubang detektor. Alat diagnostik tersebut juga harus diletakkan mendatar agar sampel darah mengalir pada detektor. Penggunaan vertikal seperti alat tes kehamilan membikin keakuratan diagnostik berkurang.

“Dengan kemudahan deteksi awal, penanganannya bisa disesuaikan dengan petunjuk penyakit DBD, tambah trombosit, dll,” kata Irvan. DBD memang sering salah penanganan karena dianggap sebagai demam biasa.

Kit diagnostik ini direncanakan produksi secara massal mulai April 2019. BPPT selaku pemegang paten menyerahkan proses produksi dan distribusi kepada BUMN Farmasi, PT Kimia Farma. Dengan kemudahan deteksi dini menggunakan kit diagnostik, Irvan menargetkan jumlah korban meninggal akibat DBD bisa berkurang hingga di bawah 5 persen dari total korban.

“Harganya bisa jauh di bawah kit diagnostik impor (Rp150 ribu). Mungkin sekitar Rp50 ribuan.”

Baca juga artikel terkait DEMAM BERDARAH atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani