Menuju konten utama

Detail Perkara Sulitnya Meliput Proses Pemilu di Lapas Pondok Bambu

Kementerian Hukum dan HAM tak memiliki keterbukaan terkait pelaksanaan Pemilu di Lapas.

Detail Perkara Sulitnya Meliput Proses Pemilu di Lapas Pondok Bambu
Suasana di TPS 192 Lapas Pondok Bambu, Jakarta , Rabu (17/4/19). tirto.id/Widia

tirto.id - Pesta demokrasi telah usai. Sebagian masyarakat hanyut dalam ramainya perayaan lima tahunan. Usai menggunakan hak suaranya, mereka pun sibuk mencari tahu proses dan hasil Pemilu. Tak hanya di tempat mereka nyoblos, tapi juga TPS lain.

Itu terlihat dari topik “kawalkotaksuara” yang masuk menjadi tagar populer di Twitter untuk mengawasi asas pemilu, jujur dan adil.

Di TPS umum, kita bisa dengan mudah menilik jalannya proses pemilu. Namun, kita perlu mengingat adanya TPS-TPS khusus yang dibentuk untuk memfasilitasi warga dalam menggunakan hak pilih, salah satunya di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Kita semua tahu, tak sembarang orang bisa mengakses Lapas secara bebas. Maka salah satu cara untuk mengawal pemilu yang demokratis dan berintegritas seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (PDF) adalah dengan Pers. Dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (PDF) Pasal 1, Pers berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Menyadari prosedur di Lapas tak sembarangan, saya berusaha menyurati Direktur Jenderal Hukum dan HAM untuk memohon izin melakukan peliputan di dalam Lapas Perempuan Kelas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur. Surat bernomor 018/TCS/PW/IV/2019 tersebut kami kirimkan melalui pesan elektronik pada hari Jumat, 12 April 2019 pukul 15.47.

Namun, sampai Selasa, 16 April 2019 pukul 22.00 kami tak kunjung mendapat kejelasan ihwal perizinan peliputan pemilu di Lapas. Padahal, kami terus menanyakan kejelasannya melalui Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Ade Kusmanto dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Sri Puguh Budi Utami.

Hingga akhirnya pada Rabu, 17 April 2019, saya menuju ke Lapas Perempuan Kelas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur dengan harapan bisa merasakan keriuhan Pemilu di dalam Lapas. Namun, harapan saya lenyap ketika mendapati sebuah pengumuman yang tertempel di pintu Lapas.

Pengumuman bertuliskan “Perintah dari Kepala Divisi Pemasyarakatan Kemenkumham DKI Jakarta” tersebut mengatakan bahwa awak media hanya diizinkan mengambil gambar suasana di dalam TPS. Kami pun tak boleh melakukan wawancara kepada pegawai, warga binaan pemasyarakatan (wbp), dan petugas KPPS.

Tak hanya itu, saya pun harus gigit jari karena durasi peliputan kami di dalam Lapas maksimal 3 menit. “Durasi awak media meliput situasi di dalam TPS batasi maksimal 3 menit di setiap TPS bagi UPT yang jumlah TPS nya lebih dari 2 TPS. Bagi utama yang jumlah TPS-nya hanya 2 TPS, maksimal 5 menit di tiap TPS,” begitu bunyi “perintah” bertandatangan R. Andika Prasetyo, Kepala Divisi Pemasyarakatan DKI Jakarta.

Selain tak berhasil mendapat informasi yang kami butuhkan, di situ saya juga tak bisa mendapatkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang umumnya tertempel di TPS.

Bahkan, saya pun harus menerima dua kali teguran dari petugas Lapas. Teguran pertama ketika saya meminta kontak saksi. Menurut mereka, saya melanggar “perintah” dari kadivpas yang melarang media untuk wawancara dengan pihak yang terlibat dengan Pemilu 2019 di Lapas.

Kemenkumham Kurang Koordinasi

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengakui adanya perbedaan mekanisme Pemilu di Lapas dengan penyelenggara lainnya, tapi mereka menganggap bahwa tak ada konsistensi dalam perizinan liputan Pemilu di Lapas.

“Saat ini saya masih belum melihat, kecuali tadi yang ada masalah, ada kurang komunikasi antara saksi yang datang ke dalam Lapas dan bagaimana peran jurnalis untuk melihat proses di TPS,” ujar Komisioner Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Sri Puguh Budi Utami mengklaim bahwa dirinya hanya membatasi jurnalis untuk tidak melakukan wawancara dengan warga binaan berdasarkan faktor kenyamanan warga binaan.

“Tapi kalau kalapas sebenarnya tidak ada larangan, selama itu diizinkan oleh undang-undang tentang informasi publik,” kata Fritz.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Mahardhika mengatakan, seharusnya wartawan bisa mendapatkan akses untuk meliput di Lapas, setidaknya dengan wawancara Kalapas.

“Jika wartawan sudah ada akses ke lapas untuk meliput, seharusnya bisa difasilitasi untuk mendapat informasi tentang proses pemungutan suara tanpa mengganggu jalannya terhadap pemilih,” ungkap Mahardhika.

Sementara Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin berpendapat hal yang dilakukan oleh petugas Lapas bisa disebut menghalangi tugas jurnalis, apalagi Direktur Jenderal Pemasyarakatan hanya memberi larangan wawancara dengan warga binaan.

“Artinya kalau misal begitu artinya inisiatif dari si Lapasnya, kan, sedangkan pimpinannya enggak mengakui adanya perintah itu. Ya bisa dianggap bahwa ya memang si Lapasnya itu tidak mengikuti perintah atasan, itu bisa saja kita kategorikan sebagai menghambat kerja jurnalistik,” ungkap Ade kepada Tirto.

Dalam Pasal 18 Undang-Undang Pers, setiap orang yang dengan sengaja menghambat kinerja jurnalistik bisa dikenai pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00.

Kesulitan masuk ke Lapas Perempuan Kelas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur tak hanya dirasakan oleh jurnalis. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jakarta Timur pun sempat tak diizinkan masuk ke dalam Lapas.

Komisioner Bawaslu Jakarta Timur Divisi Pengawasan Hubungan Antar Lembaga, Marhadi sempat mengeluh karena mereka diwajibkan membawa surat tugas tatkala melakukan pemantauan.

“Iya, katanya tadi surat perintah dari atasannya. Bawaslu juga masuk harus pakai surat tugas. Padahal saya juga ingin mengawasi di sana [di dalam Lapas]. Walaupun sudah ada pengawas TPS kita di dalam,” ungkapnya kepada Tirto.

Selain perkara itu, Komisioner Bawaslu RI Fritz Edward Siregar juga mengritik kinerja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), Kementerian Hukum dan HAM, serta KPU. Akibat keterbatasan waktu proses pencatatan, sekitar 10.000 warga binaan dari sekitar 18.000 warga binaan di DKI Jakarta tak bisa menggunakan hak pilihnya.

Bukan hanya warga binaan DKI Jakarta saja yang harus merelakan hak pilihnya hilang, tapi juga warga binaan di tempat lainnya, seperti di Ngawi, Meulaboh, Semarang, Metro (Lampung), Makassar, dan Jayapura.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Politik
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Abdul Aziz