Menuju konten utama

Desensitisasi: Hilangnya Kepekaan Saat Melihat Aksi Kekerasan

Salah satu gejalanya adalah kumpulan orang bersorak saat melihat ada yang hendak bunuh diri.

Desensitisasi: Hilangnya Kepekaan Saat Melihat Aksi Kekerasan
Ilustrasi Kepedulian Sesama. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sesosok tubuh pemuda di awal usia 20-an tergeletak tak bernyawa. Beberapa menit sebelum ia melompat dari lantai lima gedung pusat perbelanjaan Transmart Lampung, kerumunan orang berkumpul di bawah gedung. Bahkan, ada pria lainnya ikut naik ke lantai lima, menyusulnya. Mereka sibuk mengeluarkan gawai, merekam apa yang dilakukannya.

“Loncat, loncat!”

Ketika seorang perekam tertawa cekikikan, meluncurlah tubuh lelaki muda itu dari atas ketinggian.

“Kan dia loncat beneran pas gue lagi midioin.”

“Cari koran, kardus, jangan disentuh, kita tunggu polisi.”

Suara-suara antipati di sekitar menimpali peristiwa bunuh diri itu sekenanya. Seorang saksi mata bernama Heni, seperti diberitakan Kompas.com, bahkan bertutur tak ada satu pun yang menggubris ketika ia meminta pegawai Transmart menggelar matras-matras dagangan di bawah gedung agar pemuda tersebut bisa diselamatkan. Begitu juga petugas keamanan di pusat perbelanjaan itu.

Reaksi yang ditunjukkan orang-orang di kejadian itu begitu jauh dari kepatutan. Ketika berada dalam kondisi tersebut, seharusnya orang-orang tergerak menolong, bukan malah mendorong korban melakukan bunuh diri, merekam, dan kemudian menyebarluaskan. Kurangnya kepekaan terhadap bentuk kekerasan seperti yang ditunjukkan orang-orang pada kasus bunuh diri tersebut lazim disebut desensitisasi.

Desensitisasi diyakini bisa muncul akibat paparan terus menerus individu terhadap konten yang berbau kekerasan. Konten tersebut bisa terdapat di media televisi, game, bahkan kehidupan nyata. Semakin tinggi paparan didapat, semakin tinggi pula efek desensitisasi yang didapat.

Salah seorang peneliti yang melakukan kajian terhadap efek ini adalah Barbara Krahé, dkk. Dalam penelitian berjudul "Desensitization to Media Violence: Links With Habitual Media Violence Exposure, Aggressive Cognitions, and Aggressive Behavior" (2011), mereka meneliti 625 mahasiswa Universitas Potsdam, Jerman berusia 23 tahun. Jumlah tersebut dikerucutkan menjadi 303 di akhir penelitian. Para relawan diminta menonton video-video dengan muatan kekerasan, sedih, dan lucu.

Dua minggu setelah paparan, reaksi mereka dinilai dengan sebuah kuesioner. Hasilnya, paparan kekerasan media berkorelasi positif dengan desensitisasi, tapi sebaliknya, video sedih dan lucu tak menghasilkan efek apa pun. Semakin tinggi paparan terhadap video, respons kegelisahan terhadap kekerasan juga akan berkurang. Bahkan, ada dari mereka yang malah merasa senang/gembira ketika disajikan video kekerasan berulang kali.

“Semakin sedikit simpati yang mereka tunjukkan kepada para korban kekerasan di dunia nyata,” tulis penelitian tersebut.

Tubuh pun Terpengaruh

Sejumlah penelitian lain turut menguatkan hipotesis soal desensitisasi akibat terlalu sering terpapar kekerasan. Bahkan tak hanya kepekaan yang berkurang, paparan kekerasan juga mengubah bentuk fisiologis tubuh. Penelitian Sylvie Mrug, dkk 2015 berjudul "Emotional and Physiological Desensitization to Real-Life and Movie Violence" menunjukkannya.

Peneliti mengamati perubahan tekanan darah pada 209 mahasiswa dengan usia rata-rata 18,7 tahun. Mereka mencari dampak antara paparan kekerasan dalam film dan kehidupan nyata dengan gejala PTSD, empati, dan reaksi fisiologis. Hasilnya menunjukkan paparan kekerasan di kehidupan nyata lebih membawa dampak besar terhadap gejala PTSD dibanding paparan film.

“Empati dan reaksi emosional juga berkurang. Sementara desensitisasi terhadap kekerasan film terbatas pada mereka yang terpapar pada tingkatan tinggi,” tulis peneliti.

Tekanan darah akan meningkat sebanding dengan jumlah paparan. Sampel yang memiliki tingkatan paparan tinggi, mengalami peningkatan cepat pada tekanan darah. Tapi mereka juga dilaporkan memiliki penurunan tekanan darah yang juga cepat.

Ada perubahan yang terlihat pada pemindaian otak MRI setelah hanya satu minggu bermain video game yang penuh kekerasan. Secara khusus, ada penurunan yang signifikan dalam aktivasi bagian prefrontal otak dan aktivasi amigdala yang lebih besar. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Indiana University School of Medicine pada tahun 2011 juga menguak perubahan fisiologis pada otak.

Responden diminta bermain video game tentang kekerasan selama seminggu. Ternyata, proses pemindaian otak menyatakan ada penurunan signifikan dalam aktivasi bagian prefrontal otak dan aktivasi amigdala. Korteks prefrontal pada otak berkaitan dengan konsentrasi, pengambilan keputusan, dan pengendalian diri. Sementara itu, amigdala merupakan pusat emosi yang bertanggungjawab pada banyak fungsi emosional.

“Perubahan pada amigdala bisa menjadi pemicu depresi, kemarahan, agresi, dan perilaku impulsif.”

Infografik Desensitisasi

Infografik Desensitisasi. tirto.id/Fitra

Berangkat dari sejumlah penelitian di atas, dapat dilihat bahwa hilangnya kepekaan terhadap aksis kekerasan sekitar bisa jadi merupakan reaksi dari paparan kekerasan di kehidupan sehari-hari. Media seperti televisi, internet, koran, bahkan game sama-sama menyajikan ragam bentuk kekerasan yang berbeda-beda.

Paparan itu membuat kita semakin kebal dan menunjukkan reaksi apatis saat melihat jenis kekerasan serupa di dunia nyata. Sama seperti seringnya kita melihat orang tak bereaksi saat melihat kasus kecelakaan, penjambretan, bahkan pelecehan seksual di ruang publik.

Anita Gadhia-Smith, seorang psikolog, memberikan saran bagi kita untuk mengurangi efek desensitisasi. Kepada New York Times, ia menyarankan kita membatasi paparan media. Katanya, kita bisa saja mengecek kabar lewat Twitter saat minum kopi di pagi hari. Namun, setelahnya, upayakan tak menyetel radio ketika mengemudi.

____

Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.

Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani