Menuju konten utama

Derita Peternak Ayam Kecil: Ironi di Tengah Impor Jagung Pemerintah

Kerugian peternak kecil ini karena tak kunjung terealisasinya rencana menaikan harga jual di tingkat peternak menjadi Rp20-22 ribu per kg sesuai SE Mendag No. 82/M-DAG/SD/1/2019.

Derita Peternak Ayam Kecil: Ironi di Tengah Impor Jagung Pemerintah
Peternak berbagai daerah bersama Pinsar Indonesia, Gopan, PPUN dan Lokataru menggelar aksi di depan istana negara pada Selasa (5/3/2019). Dalam aksinya peternak memberikan ayam ternaknya secara percuma sebagai bentuk protes kepada pemerintah. tirto.id/Vincent fabian thomas

tirto.id - Seorang peternak melepas dan membagikan ayam yang ia bawa secara cuma-cuma. Ayam-ayam itu diambilnya dari kandang berwarna oranye dan diberikan kepada petugas kepolisian, pemulung, hingga petugas kebersihan DKI Jakarta.

Bagi-bagi ayam itu menjadi puncak aksi peternak rakyat di depan Istana Negara, Selasa (5/3/2019). Mereka menuntut agar pemerintah segera campur tangan menolong peternak kecil yang terus merugi. Sebab, bila tidak, mereka bisa “bangkrut.”

“Kalau tidak ada tindakan apa-apa dari pemerintah dalam 3 minggu lagi, kami bisa bangkrut,” kata Wakil Sekretaris Jenderal I Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar), Muhlis Wahyudi dalam aksi unjuk rasa bersama peternak di depan Istana Negara.

Keresahan Muhlis dan para peternak lainnya wajar. Sebab, berdasarkan data Pinsar, harga rata-rata ayam hidup terus mengalami penurunan dari Rp19 ribu per kg pada Oktober 2018 menjadi Rp17 ribu per kg di Februari 2019. Bahkan, kata Muhlis, nilai itu terus memburuk hingga Rp14-15 ribu per kg.

Namun, harga jual itu tak sebanding dengan biaya pokok produksi (BPP) senilai Rp18 ribu per kg pada 2018 dan Rp19 ribu per kg selama Januari-Feburari 2019. Akibatnya, peternak merugi Rp3 ribu per kg.

Meski kerugian itu terkesan sepele, namun perhitungan yang dibuat Pinsar memperkirakan jika dalam 1 siklus produksi (26 minggu) tedapat 18 juta ekor ayam tiap minggunya, maka dalam 6 bulan terakhir mereka telah menderita kerugian senilai Rp2 triliun.

“Peternak rakyat mikir cashflow. Kalau enggak bisa jual, besok kami mau pakai apa buat pakan dan anak ayam. Jadi utang. Kami enggak bisa lanjutkan usaha karena terus utang,” kata Muhlis.

Muhlis mengatakan kerugian peternak ini tak lain disebabkan karena tak kunjung terealisasinya rencana menaikan harga jual di tingkat peternak menjadi Rp20-22 ribu per kg sesuai Surat Edaran Menteri Perdagangan No. 82/M-DAG/SD/1/2019: Harga Khusus Daging Ayam dan Telur Ayam Ras [PDF].

Padahal, realisasi dari surat edaran yang diteken Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sangat ditunggu para peternak. Sebab, penyesuaian batas acuan harga komoditas daging ayam dan telur yang dinaikan merupakan hal yang realistis mengingat harga pakan ternak yang juga naik.

Pemerintah memang telah menyiasati harga jagung yang mahal ini dengan impor.

Misalnya, saat memutuskan impor 100 ribu ton, pada November 2018, Menteri Pertanian Amran Sulaiman berdalih lantaran produksi jagung dari petani lokal diborong pengusaha-pengusaha peternakan besar. Hal ini menyebabkan peternak kecil mandiri yang memanfaatkan jagung dari petani tak dapat jatah.

Alasan serupa juga diungkapkan pemerintah saat memutuskan tambahan impor jagung sebanyak 30 ribu ton pada Januari 2019.

Saat itu, Direktur Utama Bulog Budi Waseso mengatakan, tambahan impor itu memang diperlukan untuk menstabilkan harga. Menurut Buwas, impor tersebut dilakukan karena dibutuhkan peternak.

"30 ribu ton jagung bukan Bulog yang minta, tapi peternak," ucap pria yang kerap disapa Buwas ini kepada wartawan di Gudang Bulog Divre Jakarta Banten, Jakarta, Kamis (10/1/2019).

Sayangnya, meski pemerintah telah melakukan impor jagung, tapi harga komoditas ini di pasaran masih sangat tinggi. Akibatnya, para peternak mandiri tetap tidak dapat menekan biaya produksinya, meski panen dan impor jagung datang sekalipun.

Sebab, harga jagung yang diharapkan berada di kisaran Rp4-4,3 ribu per kg malah masih bertengger di angka Rp7-7,5 ribu per kg.

Persoalan itu masih diperburuk dengan sulitnya peternak rakyat mengakses anak ayam untuk budidaya (DOC). Sebab, distribusi yang menjadi tanggung jawab pemerintah tak dijalankan dengan baik sehingga ada masa-masa ketika pasokan DOC tak sampai kepada peternak ketika dibutuhkan dan lainnya justru berlebih.

Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan), Sugeng Wahyudi menilai ketidakpedulian pemerintah semakin terasa saat perusahaan peternakan diberikan hak usaha budidaya.

Menurut dia, UU Peternakan No. 18 Tahun 2009 seharusnya membatasi penetrasi daging ayam swasta ke pasar tradisional, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

Sugeng beralasan perusahaan swasta dapat menggunakan DOC dan pakan yang dihasilkan sendiri. Bahkan peternak rakyat kadang masih harus membeli pakan dari swasta. Sementara peternak rakyat yang tak memiliki alat produksi dan modal semasif swasta pun kalah bersaing dengan efisiensi peternakan swasta yang lebih terintegrasi.

Akibatnya, kata dia, tidak heran bila BPP swasta mampu ditekan hingga Rp15-16 ribu per kg. Dengan selisih Rp3 ribu per kg dengan harga daging peternak, maka sudah barang tentu porsi pangsa pasar tradisional peternak terus tergerus hingga hanya tersisa 20 persen.

“Sekarang pangsa pasar buat peternak hanya tersisa 20 persen. Kue ini tidak hanya peternak besar. Kami harusnya juga dapat jatah. Harusnya ada redistribusi pendapatan,” kata Sugeng.

Sejalan dengan keluhan Sugeng, Ketua Pinsar Pedaging Jawa Tengah, Parjuni pun menuntut agar hak budidaya ayam sebaiknya dikembalikan kepada peternak rakyat.

Di sisi lain, pria yang juga bertindak sebagai koordinator lapangan aksi ini meminta agar pemerintah tak membiarkan pasar tradisional dikuasai begitu saja oleh perusahaan swasta.

Hal ini, kata Parjuni, menjadi penting untuk melindungi peternak rakyat dari persaingan usaha yang lebih memihak korporasi besar terlebih tanpa perlindungan pemerintah.

“Harga ayam kami jauh dari harga produksi. Kembalikan pasar tradisional kepada rakyat. Ada pabrik budidaya besar dan dia mengganggu pasar peternak kecil,” ucap Parjuni.

Menanggapi hal itu, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan (PPHNak) Kementerian Pertanian, Fini Murfiani mengatakan lembaganya telah berupaya memfasilitasi kerja sama antara petani jagung dan peternak untuk pakan.

Sementara bagi pengusaha besar, kata Fini, Kementan telah mewajibkan pelaporan ketersediaan DOC, mewajibkan pembangunan rumah potong hewan unggas (RPHU) untuk mengurangi perebutan pasar ayam hidup serta mengarahkan pada produk ayam olahan dan ekspor.

“Kementan sangat memperhatikan keluhan peternak dan terus berupaya mengupayakan solusi yang tepat untuk semua stakeholders,” ucap Fini saat dihubungi reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PETERNAKAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz