Menuju konten utama

Derita Para Nelayan WNI di Gensan, Filipina Selatan

Kebijakan Susi Pudjiastuti terhadap kapal asing bikin ribuan WNI di Gensan kini jadi pengangguran, dicibir, dan dianggap tak tahu diri.

Derita Para Nelayan WNI di Gensan, Filipina Selatan
Tuna segar yang dipersiapkan untuk dicek dan ditimbang, Pelabuhan ikan Kota General Santos, Mindanao, Filipina. Getty Images/iStock Unreleased

tirto.id - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sempat saling berbalas di media dengan Walikota General Santos, Ronnel Rivera, pada awal 2015. Muasalnya artikel yang terbit di Asian Correspondent berjudul Philippine tuna in 2015: Facing the new threat.

Kebijakan baru Susi meminta kapal-kapal ikan milik perusahaan Filipina, yang beroperasi di Indonesia, harus memakai 80 persen WNI sebagai anak buah kapal dinilai berat bagi si pemilik kapal. Rivera menyebut nelayan Indonesia masih bergantung kepada nelayan Filipina.

“Mereka (orang Indonesia) benar-benar membutuhkan nelayan Filipina karena mereka belum siap,” kata Rivera.

Rivera dikenal juga sebagai keluarga pengusaha pemilik RD Group of Companies, perusahaan pengalengan ikan terbesar di Gensan. Ia perlu vokal karena perusahaannya terkena imbas kebijakan Susi.

Selain Rivera, keluhan sama disampaikan Dexter Tan, kepala pemasaran San Andres Fish Industries Inc., salah satu perusahaan ikan besar lain di Gensan.

Menurut Tan, ketimbang memaksa memakai ABK Indonesia yang dinilai tidak berkualitas, dan taruhannya ditangkap jika nekat memakai ABK Filipina, mereka akhirnya memilih merehatkan kapal di dermaga.

“Dibutuhkan keahlian dan pengalaman khusus untuk kapten dan asisten kapten, kepala kapal mesin, dan kepala penangkap ikan untuk ditugaskan di tangan nelayan Indonesia,” kata Tan.

Sesudah penangkapan dan penenggelaman kapal-kapal Filipina yang mencuri ikan di perairan Indonesia, terkuaklah modus operandi bahwa mereka sering memanfaatkan WNI atau keturunan WNI di Filipina sebagai tiket masuk menangkap ikan di perairan Indonesia.

Karena itulah, ketika aturan larangan alih muatan ikan di tengah laut diterapkan, banyak perusahaan nelayan dari Filipina kelabakan.

Baca juga: Menengok Kota Gensan yang Pernah Dimatikan Menteri Susi

Data resmi Konjen RI Davao menyebutkan ada 15.000-22.000 WNI di Pulau Mindanao. Sebagian besar tinggal di Provinsi Sarangani, terletak di ujung selatan pulau di sekitar Kota General Santos, Cotabato, dan Pulau Balud. Pada Pemilu 2014, tercatat ada 6.500 pemilih WNI di Mindanao.

Meski begitu, secara legal, banyak status kewarganegaraan dari ribuan WNI ini yang “tidak jelas” karena banyak dari mereka adalah generasi ketiga yang tinggal di Mindanao. Mereka masih gamang memilih apalah jadi warga negara Filipina atau Indonesia.

Kampung Quilantang di Gensan sering disebut kampung Indonesia. Ada sekitar 700 kepala keluarga bermukim di sana. Kebanyakan adalah keturunan WNI. Nenek moyang mereka berasal dari Talaud atau Sangihe, sebuah kepulauan di barat laut Pulau Sulawesi.

Meski keturunan, mayoritas penduduk Quilantang berpaspor Indonesia. Status itu mereka dapatkan pada 2015. Saban setahun sekali mereka sering pulang menengok sanak saudara di Indonesia.

Josapath Layang, Ketua Diaspora Indonesia di Filipina selatan, menyebut bahwa sebelum kebijakan Susi mengenai ABK, hampir 90 persen WNI di Gensan bekerja sebagai buruh nelayan.

“Hidup mereka cukup lumayan jika dibandingkan dengan penduduk lokal Filipina di sini,” katanya. "Tapi setelah peraturan Susi dibuat, semuanya jadi kacau.”

Infografik HL Indepth General Santos

Kerja Serabutan Sesudah Kebijakan Susi

Saya mendatangi Kampung Quilantang pada pertengahan Juli lalu. Jaraknya sekitar setengah jam perjalanan dari pusat Kota Gensan. Dari jalan besar, Anda perlu sekitar 15 menit lagi memasuki kampung itu.

Kampung Quilantang terlihat kumuh. Jalan belum diaspal, masih tanah merah. Ketika hujan, jalan becek dan licin. Tapi, ketika musim kemarau, mirip seperti sungai kering; bergelombang dan terjal.

Penataan rumah di kampung ini cukup rapi, dibikin berblok-blok. Mayoritas rumah masih berbahan kayu dan bilik bambu.

Saya tiba di sana menjelang petang. Di sebuah saung, saya bertemu dengan Valder Manambing, Lorde Manansang, Josephine Mamono, dan Jamaludin Maulana Pangayanan. Mereka tetua yang dihormati di Quilantang.

Dua tahun lalu mereka bekerja di laut, tetapi kini jadi pengangguran.

“Sekarang yang bekerja di sini itu perempuan. Laki-laki hanya diam di rumah. Karena sudah tidak ada lagi pekerjaan,” sahut Manangsang, 51 tahun.

“Perempuan kami sekarang banyak kerja jadi pembantu, jaga toko atau pencuci baju. Bayarannya tentu saja kecil,” katanya, mengeluhkan pekerjaan istrinya yang hanya dibayar 200 peso atau Rp50 ribu per hari.

Uang ini tak cukup memberi makan empat anggota keluarga lain. Belum ditambah membayar sewa rumah yang mencapai 1.500 peso atau Rp450 ribu sebulan. Untuk menambah pemasukan, Manangsang beralih pekerjaan jadi seorang habal atau pengojek.

“Banyak dari WNI kita memang yang sekarang jadi pengojek di sini,” kata Mamano, 47 tahun, menimpali.

Untung bagi mereka yang punya motor. Bagi yang tidak, pilihan hanyalah diam di rumah atau cari usaha lain, misalnya berjualan jajanan kampung seperti yang dilakukan Pangayanan.

Sosok yang akrab disapa “Pa Maulana” ini sudah sepuh. Rambutnya memutih dan tubuhnya bongkok. Usianya 68 tahun.

Setiap siang hingga sore ia berkeliling kampung dengan sepeda, berjualan makanan seperti cilok.

“Tidak ada keuntungan. Uang bisa berputar juga sudah syukur,” katanya.

Sejak ekonominya memburuk, ia tak lagi peduli segala urusan duniawi. Kini ia berkata fokus berdakwah dan aktif di Jamaah Tabligh, organisasi dakwah nonpolitis yang pengikutnya tersebar pula di Indonesia.

Jalan berbeda dilakukan Valder Manambing, 59 tahun. Ia lebih memilih pasrah dan mengandalkan anaknya.

“Saya di rumah saja. Sudah lelah. Lagi pula sudah tua seperti ini, siapa mau mempekerjakan saya?” katanya.

Anaknya, Michael Manambing yang berusia 32 tahun, kini menjadi kuli di perusahaan perkebunan nanas. “Bayarannya kecil, hanya 295 peso per hari (setara Rp77 ribu),” katanya.

Saat aturan ketat soal pencurian ikan belum diterapkan, hidup Manimbang relatif nyaman. Amadeo Fishing menjadikannya kapten kapal dan membawahi 8 ABK.

“Sebulan saya digaji 10.000 peso (Rp3 juta). Itu belum dengan bagi hasil. Saya kebagian satu per lima dari hasil tangkapan, selain itu kami pun mendapatkan jatah beras beberapa karung selama sebulan,” ujarnya.

Dulu, katanya, banyak perusahaan Filipina merekrut WNI untuk dijadikan “juragan”. Istilah ini diberikan kepada setiap WNI yang mau bekerja sebagai ABK atau kapten kapal. Para WNI diberi perlakukan khusus.

“Dulu waktu lancar, orang Filipina cari kami untuk dikasih pekerjaan. Syaratnya cuma WNI dan bisa jadi juru bahasa. Kalau enggak punya uang, ditalangi dulu. Kami sering diajak pergi ke laut, walaupun bukan nelayan. Karena itulah, dulu banyak orang dari Indonesia datang ke Filipina,” ucap Manimbang.

“Tapi sekarang enggak ada yang cari. Tidak ada lagi yang mau mempekerjakan WNI. Memang masih ada WNI bekerja nelayan, tapi di kapal jaring. Dan itu enggak masuk Indonesia, hanya di laut Pasifik,” kata Pa Maulana yang berkata anaknya, Arnold Pangayanan, bekerja sebagai nelayan di kapal jaring.

Terkatung-katung di negeri orang, banyak di antara keturunan Sangir dan Talaud ini ingin kembali pulang ke Indonesia. Apalagi setelah Gubernur Sulawesi Utara sempat menjanjikan akan memberi mereka lahan pada 2013.

“Dulu sempat ada pendataan diminta dari sana siapa saja yang mau pulang. Namun, setelah didata, sampai sekarang tidak ada kabar. Saya juga malu ditanya-tanya terus,” kata Joshepine Mamono.

Ketika saya di Gensan, banyak WNI yang berkata “sudah tidak tahan” dengan gejala konflik sosial sesudah kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti.

“Kami sering dicibir dan dilecehkan, sering disebut tak tahu diri. Disebut diterima baik-baik di sini, tapi malah menikam orang Filipina dari belakang dengan menangkapinya di Indonesia,” ujar Fransisne Wolf, seorang WNI.

Baca juga artikel terkait GENSAN atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam