Menuju konten utama

Depresi Perinatal yang Jarang Dibicarakan dari Proses Kehamilan

Depresi selama kehamilan berpotensi berlanjut jadi depresi pascamelahirkan jika dibiarkan. Cukup lazim dialami perempuan, tapi gejalanya sering terabaikan.

Ilustrasi Hamil. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Ketika dunia sudah mulai melek dan menaruh perhatian pada sindrom baby blues atau depresi pascapersalinan, satu fenomena yang juga melekat pada keduanya masih terabaikan: depresi perinatal.

Bagai fenomena gunung es, depresi perinatal tak pernah muncul ke permukaan. Pasalnya, persepsi sosial menempatkan ibu hamil sebagai objek yang sepatutnya bahagia, alih-alih depresi dalam menyambut buah hatinya.

Namun baru-baru ini, selebritas kenamaan Britney Spears menyuarakan isu kesehatan mental ini ke publik. Melalui akun media sosialnya, Spears mengumumkan kehamilan ketiga sekaligus membikin pengakuan bahwa dia tengah berjuang melawan depresi perinatal.

Saya harus bilang bahwa depresi perinatal benar-benar mengerikan,” tulis Spears di akun Instagramnya.

Pada November 2021 lalu, Spears memenangkan gugatan atas konservatori sang ayah terhadap dirinya. Kemenangan tersebut sekaligus memberikan Spears kebebasan untuk tidak berkontrasepsi. Sebelum itu, sang ayah memaksanya memakai IUD agar tidak hamil lagi.

Depresi perinatal merupakan gangguan psikologis yang mempengaruhi perempuan selama kehamilan dan beberapa saat setelah melahirkan. National Institute of Mental Health (NIMH) mendeskripsikan gejala depresi ini dengan perasaan sedih, cemas, dan kelelahan ekstrem yang menyulitkan perempuan melakukan tugas sehari-hari.

Pemicunya merupakan kombinasi faktor genetik dan lingkungan, seperti stres, trauma, tuntutan sosial tentang perawatan bayi atau ekspektasi ideal sebagai seorang “ibu”, juga perubahan hormon.

Ya, kita semua tahu, ketika perempuan hamil, hidupnya bukan lagi tentang dirinya sendiri. Ada napas yang bergantung dari makanan yang dia telan, setiap langkah kaki yang dia dedikasikan untuk kemudahan persalinan, hingga kepatuhan terhadap mitos-mitos yang seharusnya tak perlu dijalankan.

Lain itu, ada “standar kepatutan” yang juga disematkan ketika perempuan menjadi ibu: welas asih, lemah lembut, dan penuh kasih sayang.

Semua hal itu dibebankan seketika dengan hanya transisi singkat, tanpa ada pemakluman ketika perempuan dianggap “melenceng” dari standar tersebut. Contoh sederhana saja, soal jam tidur. Di Indonesia, perempuan hamil seringkali dilarang tidur di pagi hari. Alasannya macam-macam, mulai dari mitos sel darah putih yang naik, sampai ketidakpatutan karena dianggap malas.

Padahal, saat hamil, perempuan akan sulit tidur di malam hari akibat siklus gerak bayi lebih aktif saat malam, atau sakit punggung tak tertahan, sesak, sampai rasa terbakar di dada. Alih-alih sehat, aturan-aturan ini justru membuat jam tidur perempuan jadi berantakan dan mendekatkan mereka pada pemicu stres.

Spears dengan segala latar belakang perjuangan atas kesehatan mental dan hak-hak reproduksinya telah membuka mata dunia bahwa depresi perinatal nyata dan lazim memengaruhi perempuan selama masa-masa kehamilan.

Lazim Dialami Perempuan, tapi Gejalanya Terabaikan

Kisah seorang perempuan Amerika bernama Robertello yang mengalami depresi perinatal adalah representasi banyak perempuan di dunia. Saat mengalami kehamilan di trimester pertama, dia mulai merasakan perubahan emosi yang tak lazim: Dia tak bahagia atas kehamilannya.

Padahal, kami (dia dan suami) ingin punya anak. Namun, ini terasa sangat sulit. Rasanya seperti mendapat sesuatu yang tidak direncanakan,” aku Robertello dalam sesi wawancara bersama Washington Post.

Selama periode kehamilannya, Robertello merasa lelah luar biasa dan tidak bersemangat. Dia sudah mencoba melakukan hal-hal “menyenangkan” seperti tradisi yang dilakukan ibu hamil lainnya, yakni mengambil sesi foto kehamilan dan persalinan. Hingga pascamelahirkan, dia ikut memandikan bayinya. Namun, semua seakan sia-sia belaka. Robertello tetap merasa tak bergairah.

Aku seperti cuma melakukan gerakan-gerakan kosong belaka. Sebenarnya aku sangat tidak bersemangat.”

Perubahan ekstrim pada suasana hati seperti yang dialami Robertello, misal menjadi marah atau tidak bahagia menyambut kehamilan, sulit tidur, dan kehilangan nafsu makan, merupakan gejala umum dalam diagnosis depresi perinatal. Gejala ini mulai berjalan sejak awal kehamilan sampai dua tahun pascamelahirkan.

Melansir dari Healthline, depresi perinatal diperkirakan menimpa 1 dari 10-20 perempuan. Di Amerika, 1 dari 20 perempuan bahkan mengalami depresi level mayor saat mereka hamil. Statistik ini memberi gambaran tentang betapa umumnya pengalaman depresi perinatal. Namun, isu ini masih jarang dibicarakan.

Sebuah studi yang terbit di jurnal Women's Health (2010) memvalidasi fenomena ini. Mayoritas perempuan dengan diagnosis depresi setelah melahirkan tak pernah menerima perawatan kesehatan mental selama kehamilan atau pascapersalinan.

Artinya, selama periode tersebut, perempuan-perempuan itu menanggung beban mental bersama dengan janinnya. Padahal, depresi perinatal dengan gejala parah yang tak tertangani berisiko pada kesehatan ibu dan bayi.

InfografikDepresi Perinatal

Infografik Depresi Perinatal. tirto.id/Fuad

Contoh dampak depresi ibu terhadap janinnya muncul dalam jurnal Epigenomics (2021) yang terbit baru-baru ini. Para peneliti dari National Institutes of Health di Bethesda menemukan bahwa perasaan stres atau depresi saat hamil memengaruhi plasenta tempat janin tumbuh sehingga mengubah aktivitas gen.

Depresi pada ibu merubah 16 area pada bagian luar DNA plasenta. Dua di antara perubahan tersebut berada dekat gen yang terlibat pada perkembangan otak janin, penyakit neurologis, dan psikiatri,” tulis peneliti.

Selain merupakan tempat tumbuh janin, plasenta juga merupakan tempat membuat neurotransmitter yang dibutuhkan untuk perkembangan otak janin. Singkatnya, janin yang sedang berkembang terbukti sensitif terhadap kondisi ibu selama kehamilan, termasuk gejala depresi.

Penelitian yang lebih awal berjudul "The persisting effect of maternal mood in pregnancy on childhood psychopathology" (2014) bahkan mengaitkan depresi selama kehamilan dengan gangguan perilaku dan emosional selama masa kanak-kanak. Keadaan ini juga bisa berlanjut pada risiko depresi hingga usia 18 tahun.

Karena itulah, guna mengeliminasi depresi perinatal, ibu hamil butuh sistem pendukung yang positif. Dunia perlu tahu bahwa bayi tak butuh ibu yang sempurna. Bayi membutuhkan ibu yang bahagia dan sehat untuk hadir dan membersamai tumbuh kembang mereka secara optimal.

Baca juga artikel terkait IBU HAMIL atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
-->