Menuju konten utama
Seri Para Pelukis Revolusi

Denyut Nadi Revolusi dalam Sketsa Henk Ngantung

Henk Ngantung tak melulu asyik melukis, tapi juga merekam suasana Revolusi lewat sketsa-sketsanya.

Denyut Nadi Revolusi dalam Sketsa Henk Ngantung
Henk Ngantung. tirto.id/Lugas

tirto.id - Tomohon adalah saksi perjalanan seni Hendrik Hermanus Joel Ngantung alias Henk Ngantung. Di kota dataran tinggi Sulawesi Utara itu, Henk melaksanakan pameran lukisan pertamanya ketika masih belasan tahun. Banyak tulisan menyebut, pameran itu diselenggarakan pada saat usianya baru 15. Sadar akan bakatnya, orang Manado ini berani keluar dari MULO (SMP kolonial).

Sedari zaman sekolah, Henk sudah rajin membuat sketsa. Menurut Sitor Situmorang dalam Sketsa-sketsa Henk Ngantung (1981), Henk kecil belajar melukis dengan pensil sebelum menggunakan kuas dan tinta pada umur 14. Di antara sketsa-sketsanya di buku tersebut, Henk melukiskan kegiatan orang-orang di Tomohon: orang lalu-lalang, pergi ke kebun, juga orang pulang dari pasar. Tak lupa, ada pula sketsa pemandangan di sekitar rumah orang tuanya (hlm. 1-4).

Seperti banyak orang Manado lain yang sering bepergian, Henk menggambar pemandangan yang dilihatnya ketika dalam perjalanan antara Tomohon-Manado. Di mana dia harus melewati perbukitan bernama Tinoor. Dari daerah ini, Teluk Manado terlihat dari kejauhan.

Anak dari bintara bernama Arnold Rori Ngantung, pekatik KNIL, ini akhirnya hijrah ke Jawa pada 1937 untuk mendalami seni. “Selesai pameran pertamanya di Tomohon tahun 1937, Henk Ngantung pindah ke Bandung didorong oleh cita-citanya memperluas pengalamannya,” tulis Sitor Situmorang (hlm. 9).

Baharuddin M.S. dalam Sketsa-sketsa Henk Ngantung menceritakan, di Bandung Henk bertemu Profesor Wolf Schumacher, Luigi Nobili, dan Profesor Rudolf Wenghart. Di Parijs van Java pula dia bertemu Affandi (hlm. xiii).

Pada 1940, Henk hijrah lagi ke Jakarta. Ia aktif di Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) bersama Sudjojono dan lainnya. Di zaman Jepang, dia juga ikut pameran bersama seniman lain.

Buku Sketsa-sketsa Henk Ngantung memajang sketsa bikinan Henk waktu zaman Jepang (hlm. 9-26). Ia melukis gadis-gadis Indo yang dijadikan pelayan oleh militer Jepang. Beberapa sketsa yang menggambarkan kemiskinan di zaman pendudukan Jepang juga dibuatnya. Ada seniman penghibur jalanan berkaus kutang, pemuda gembel yang menanti sisa makanan di depan restoran, penjual sisa buah-buahan yang tak laku di pasar, dan para romusa yang sedang bekerja.

“Karya-karyanya di masa itu [pendudukan Jepang] terdiri dari berbagai ragam tema dan ia mulai mendapat pesanan,” kata Sitor.

Lukisan paling fenomenal yang dibuat Henk di zaman Jepang berjudul "Memanah". Dengan medium cat minyak di atas kanvas dengan ukuran 152x152 cm. Lukisan ini, waktu pameran di Jakarta yang diadakan Keimin Bunka Sidhoso, dilirik Sukarno.

“Lukisan ini bagus. Ini sebuah simbol bangsa Indonesia yang terus, terus dan terus bergerak maju. Paulitim longius itur!” kata Sukarno seperti dicatat Agus Dermawan T. dalam Bukit-bukit perhatian: dari seniman politik, lukisan palsu sampai kosmologi seni Bung Karno (2004: 59). Makna kalimat Latin yang disebut Bung Karno itu artinya kira-kira: "Sedikit demi sedikit kita pergi terlalu jauh".

Setelah pameran berlalu, Sukarno pun menyambangi studio Henk Ngantung. Sukarno hendak membeli lukisan itu, tapi rupanya Henk bilang lukisannya belum kelar. Tambah Henk pula, “Untuk Sukarno, saya dapat hadiahkan lukisan itu. Tapi saya perlu uang.” Sukarno tidak keberatan soal uang.

“Engkau pasti bisa selesaikan itu sekarang juga,” kata Sukarno yang tak sabar memilikinya.

Henk merasa sulit memenuhinya karena dia belum punya model.

Sukarno pun memberi solusi pada Henk, “aku, Sukarno, akan jadi modelnya.”

Henk tak dapat menolak dan jadilah Sukarno model lukisan. Dalam hitungan puluhan menit bagian lengan dalam lukisan itu dibenahi Henk. Setelah beres, Sukarno membawa pulang lukisan itu ke rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56. Lukisan itu dengan bangga dipamerkannya di ruang tamu rumah. Di rumah yang tergantung lukisan Henk Ngantung itulah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan.

Melukis Perundingan Linggarjati

Henk ikut serta dalam organisasi orang-orang Sulawesi bernama Kesatuan Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang pro-Republik. Tetapi, ketika banyak para Republiken pindah ke Yogyakarta karena semakin kuatnya serdadu NICA di Jakarta, Henk memilih bertahan.

“Henk menjaga atmosfer seni tetap tinggal juga bersamanya di Jakarta,” tulis Obed Bima Wicandra dalam Henk Ngantung: Saya Bukan Gubernurnya PKI (2017:14).

Henk bukan satu-satunya seniman Republiken di daerah yang dikuasai Belanda. Ada juga Chairil Anwar.

Di masa Revolusi, sketsa-sketsa yang dibuat Henk Ngantung bercorak perjuangan. Bukan hal aneh jika dia membuat sketsa tentang anggota KRIS yang berjaga dengan bedil panjang di tangan atau kombatan-kombatan Republik yang berlatih perang. Salah satu tokoh KRIS yang pernah dibuatkan sketsanya adalah Miss Kembang.

Waktu Perundingan Linggarjati, Henk ikut serta. “Selaku wartawan dan pelukis sekaligus, Henk Ngantung pernah mengikuti perundingan antara Pemerintah R.I. dan Belanda antara lain di Linggarjati, Kaliurang dan beberapa perundingan lagi,” tulis Sudarmadji dalam Pelukis dan Pematung Indonesia (1981: 75).

Dalam perundingan Linggajati, Henk membuat beberapa sketsa tentang Sukarno dengan pejabat asing seperti Lord Killearn dan H.J. van Mook. Juga tentang rakyat biasa yang berkerumun. Di sketsa itu ditulisi: "Rakyat dipinggir jalan ingin melihat pemimpinnya dan kepada siapa mereka menitipkan harapan dan cita-cita mereka."

Ia juga membuat sketsa ibu-ibu yang memasak di komplek penginapan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Selain itu, ada pula wartawan yang mengetik di pagar tangga, pengawal yang berjaga di penginapan Sjahrir, tokoh-tokoh Republik yang hadir dalam perundingan, dan tentunya suasana perundingan.

Infografik Seri Pelukis Revolusi Henk Ngantung

Merekam Revolusi di Indonesia Timur

Tak hanya di Jawa, suasana Indonesia Timur juga direkam dalam sketsa-sketsanya. Dalam Sketsa-sketsa Henk Ngantung, banyak sketsa yang melukiskan suasana Indonesia Timur, yang di antaranya dibuat tahun 1947 hingga 1949—masa-masa militer Belanda menguasai banyak daerah di Indonesia Timur.

Sementara Baharuddin dalam buku itu menyebut, pada 1948 "Henk pernah pameran di Gedung Taman Siswa, Jalan Garuda, Kemayoran, Jakarta. Bulan Agustus 1948, dia juga pameran di Hotel Des Indes, Jakarta. Jakarta juga dikuasai tentara Belanda pada tahun 1948."

Pada Oktober 1948, ia mengembara ke seluruh Indonesia untuk menyaksikan sendiri denyut nadi Revolusi. Dua bulan setelah Henk mengembara, ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta diduduki militer Belanda. Hidup tak berakhir baginya, meski dia sulit mencari tahu bagaimana kabar Republik. Walaupun Belanda menyatakan "Indonesia sudah bubar", Henk tetap merekam tanah airnya. Ia terus membuat sketsa.

Beberapa sketsa yang dibuatnya berlatar Sulawesi Utara. Di Sulawesi Selatan, selain sketsa perempuan Mandi di Kalosi, sketsa suasana pasar tahun 1949 pun dibuatnya pula. Dari daerah penghasil kopi tersebut, Tana Toraja tidak jauh. Ke sana pula Henk Ngantung mengembara. Di mana dia merekam suasana pasar dan liang kubur di atas bukit. Setelah puas di Sulawesi, dia pergi ke Bali.

==========

Sepanjang Oktober hingga November, Tirto menayangkan edisi khusus bertajuk "Seri Para Pelukis Revolusi". Serial ini ditayangkan setiap Kamis.

Baca juga artikel terkait SEJARAH SENI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan