Menuju konten utama

Dendam Rakyat kepada Para Priyayi dan Pangreh Praja

Revolusi sosial pasca Proklamasi Kemerdekaan di Keresidenan Pekalongan menghantam para priyayi dan prangreh praja yang kerap menyengsarakan rakyat.

Header Mozaik Revolusi sosial di tiga daerah. tirto.id/Tino

tirto.id - Setelah Proklamasi Kemerdekaan dibacakan Sukarno pada 17 Agustus 1945, sebagian kelompok masyarakat yang menjadi elite birokrasi dan politik sejak masa kolonial Belanda hingga pendudukan Jepang menyikapinya sebagai berita tanpa kepastian.

M. C. Ricklef dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2010, hlm 459) menyebut mereka sebagai “orang-orang yang kesetiaannya [kepada Republik] diragukan”.

Anton E. Lucas dalam One Soul One Struggle: Peristiwa Tiga Daerah (2004, hlm. 100. PDF), mencatat bagaimana sikap para pangreh praja yang ragu-ragu terhadap Proklamasi Kemerdekaan. Ketika para pejuang mengibarkan bendera Merah Putih, terdengar teriakan dari pejabat di Keresidenan:

“Turunkan itu! Kita tidak mendapat perintah resmi dari Dai Nippon.”

Hal ini jelas menyulut amarah rakyat yang tengah gegap gempita menyambut era baru. Akibatnya, para priyayi dan pangreh praja terseret dalam revolusi sosial yang mendidih.

Muhammad Nuh, pemimpin Barisan Pelopor di Tegal, dalam majalah Penelitian Sejarah edisi Maret 1962 no. 1 tahun ke III menegaskan, revolusi sosial yang terjadi di tiga daerah (Brebes, Tegal, Pemalang) adalah upaya rakyat untuk membersihkan segala hal yang berbau Jepang dan kolonial Belanda.

Selama ini, rakyat khususnya kaum tani menyimpan amarah dan dendam kepada para pangreh praja yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda dan pendudukan Jepang yang banyak menimbulkan kesengsaraan.

Priyayi dan Pangreh Praja Bertumbangan

Berdasarkan penelusuran Anton E. Lucas (2004, hlm. 148), revolusi sosial di tiga daerah dimulai di Desa Cerih yang terletak di perbukitan Tegal Selatan pada malam 7 Oktober 1945. Rakyat mendatangi kediaman “Den Mas” Harjowiryono yang menjabat sebagai lurah Desa Cerih. Mereka mengancam akan membakar rumah lurah jika tidak bersedia keluar menemui rakyat.

Esoknya, pakaian lurah dilucuti dan diganti dengan pakaian berbahan karung goni, sementara istrinya dikenakan kalung padi. Mereka didombreng--diarak dengan diiringi suara dari pukulan kentongan kayu. Lurah dan istrinya dipaksa minum air mentah dan memakan dedak (kulit padi). Setelah itu, keduanya ditahan di kantor kecamatan agar tetap dalam pengawasan pemimpin perjuangan setempat dan camat baru.

Aksi dombreng di Desa Cerih menyebar ke daerah lain. Wilayah Moga yang terletak di Pemalang Selatan, menjadi tempat selanjutnya. Kiai Said berperan sebagai pemimpin dalam aksi dombreng dengan membawa keris sakti Mandiredjo sebagai lambang semangat Jawa yang anti penjajahan.

Dalam memimpin aksinya, ia menjalankan tipu muslihat di depan kantor kecamatan dengan cara mendombreng seorang “pencuri” untuk memancing camat agar menemui rakyat. Camat akhirnya terluka dan melarikan diri.

Setelah itu, aksi rakyat Moga berlanjut dengan menyerbu sebelas rumah yang dimiliki orang-orang yang bertanggung jawab atas penggilingan padi dan kantor kecamatan.

Wedana Belik yang berada di selatan Moga akhirnya menyerahkan permasalahan pengembalian padi kepada rakyat seluruhnya. Peristiwa yang terjadi di Moga semakin memperpanjang rantai aksi rakyat di tiga daerah untuk menuntut pembagian padi.

Kembali ke wilayah Tegal Selatan, tepatnya di Kecamatan Lebaksiu, kali ini Camat Lebaksiu yang bernama Suhodo tewas. Menurut penuturan istrinya, suaminya kebingungan menghadapi tuntutan pengembalian padi. Mereka segera menuju Wedana Slawi untuk membicarakan hal tersebut. Nahas, dalam perjalanan mereka dicegat massa yang beringas.

Kepada Anton E. Lucas, istri Camat Suhodo menuturkan bahwa suaminya terbunuh oleh bambu runcing, dan dirinya dalam keadaan hamil. Ia selamat setelah beberapa orang yang menolongnya dan membawanya ke rumah Haji Nahrawi di Lebaksiu.

Pada 10 Oktober 1945, di Lemahduwur, Tegal, Camat R. M. Suparto Sastrosuworo tewas setelah berpidato di depan umum. Dalam pidatonya, ia menyebarkan informasi mengenai penahanan Sukarno oleh NICA di Jakarta. Rakyat kemudian marah dan membunuhnya.

Di Brebes, gejolak revolusi sosial juga tak dapat dihindari. Menurut Aman dalam "Kedudukan Ulama, Umat Islam, dan Kemunculan Haluan Kiri dalam Revolusi Sosial di Kabupaten Berebes 1945" (Istoria Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol 10, No 1. 2014, hlm. 3-4), peristiwa ini diperkirakan bermula di sekitar pabrik gula Banjaratma.

Rakyat membakar kandang babi dan menyerang pabrik gula hingga terjadi pembunuhan terhadap orang-orang indo yang berada di sekitar pabrik. Massa selanjutnya mengambil paksa padi dan melakukan aksi dombreng terhadap para kumiai (pengepul padi).

Sementara di Krasak, Kecamatan Brebes, lurah Amran dikejar-kejar massa untuk diadili. Ia pernah mengirim 50 romusa yang tidak kembali lagi, juga mengambil 400 kuintal padi dari lumbung desa. Amran berhasil diselamatkan atas jasa ketua KNI desa yang baru dipilih. Jabatannya sebagai lurah digantikan Karto, seorang lenggaong (bandit) yang pernah bekerja sebagai pengawas romusa.

Menurut Anton E. Lucas, serangkaian peristiwa yang terjadi di Brebes dalam revolusi sosial ini masih tergolong lunak, sebab tidak satu pun camat yang berkuasa terbunuh. Seperti yang terjadi di Banjarharjo, pangreh praja hanya diturunkan dari jabatannya dan diganti oleh yang baru.

Di wilayah Ketanggungan Barat, sebidang tanah partikelir yang pada masa Jepang diambil alih untuk penanaman tebu berhasil direbut Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) untuk dijadikan markas dengan menyematkan tulisan “Milik Negara”.

Kemudian di wilayah Bumiayu, aksi massa hanya menahan wakil wedana dan memaksanya untuk mandi di sungai. Sedangkan di wilayah Losari, terjadi aksi yang dilakukan oleh para santri yang menempatkan orang-orang Islam yang tidak salat lima waktu ke dalam usungan jenazah.

Digerakkan Kalangan Islam dan Komunis

Menurut M. C. Ricklef dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2010, hlm. 460), sejak Oktober 1945 revolusi sosial ini digerakkan oleh barisan pemuda yang berasal dari kalangan Islam tradisional dan komunis bawah tanah. Hingga November 1945, para bupati di tiga wilayah berhasil digantikan oleh para pelaku.

Selain itu, seturut catatan Anton E. Lucas, peran lenggaong (bandit) selama revolusi sosial juga besar, khususnya di daerah Talang, Tegal.

Kutil, salah saorang lenggaong yang memimpin AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) Talang memimpin aksi penyerbuan kota Tegal pada November 1945. Ia yang bernama asli Sahyani ini berhasil menjadi penguasa di Kecamatan Adiwarna. Aksinya berlanjut pada Desember 1945 dalam pengambilalihan ibu kota kabupaten.

Di Pemalang terdapat golongan Islam yang berperan penting pada awal revolusi sosial seperti Gerakan Pemuda Arab Indonesia (GPAI) dan Hizbullah. Keterlibatan kedua kelompok ini dilandasi semangat menghancurkan koruptor sambil mengesampingkan perbedaan ideologi.

Sedangkan di Brebes, menurut Aman dalam "Kedudukan Ulama, Umat Islam, dan Kemunculan Haluan Kiri dalam Revolusi Sosial di Kabupaten Berebes 1945" (Istoria Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol 10, No 1. 2014, hlm. 3-4), para pemuda yang keislamannya tidak sungguh-sungguh bersatu dengan lenggaong dan membentuk AMRI-I (Angkatan Muda Republik Indonesia-Islam).

Merespons perkembangan sosial politik yang kian mengkhawatirkan, Residen Besar Pekalongan mengeluarkan tiga maklumat pada bulan Oktober 1945. Namun maklumat tak diindahkan rakyat. Mereka menganggap Residen Besar Pekalongan bukan pemerintahan yang sah dan tidak lebih dari antek Jepang.

“Aparat pemerintah keresidenan itu termasuk yang paling memeras di seluruh Jawa,” tulis Benedict Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (2018, hlm. 394-398). Maka wajar jika rakyat tak mematuhinya.

Selain itu, pada tanggal 3 dan 4 Oktober 1945, terjadi konflik yang menewaskan para pemuda pejuang karena kesalahan informasi mengenai perjanjian Residen Besar dengan kempetai dalam hal penyerahan senjata. Akibatnya, posisi Residen Besar semakin terdesak dan tidak dipercaya oleh rakyat.

Hingga pertengahan November 1945 seluruh elemen dalam revolusi sosial tergabung dalam front persatuan GBP3D (Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah) yang dipimpin Widarta dan didukung K. Midjaja yang bertindak sebagai pemimpin Badan Pekerja bersama Kartohargo.

Atas kekacauan yang terjadi di Keresidenan Pekalongan, pemerintah pusat menunjuk Raden Mas Soeprapto untuk menggantikan Residen Besar. Hal ini ditentang GBP3D.

Sebagai upaya mediasi, Gubernur Jawa Tengah mengutus Sayuti Melik bersama Letkol Kyai Haji Iskandar Idris, Komandan Resimen 17. Namun, upaya tersebut gagal. Bahkan keduanya ditangkap oleh Kutil di Slawi, Tegal.

Pada 9 November 1945, GBP3D menuntut Raden Mas Soeprapto untuk meletakan jabatannya. Setelah tidak mendapat tanggapan, pada 11 November GBP3D melantik Sardjio sebagai residen yang baru.

Infografik Mozaik Revolusi sosial di tiga daerah

Infografik Mozaik Revolusi sosial di tiga daerah. tirto.id/Tino

Digulung TKR

Memasuki akhir tahun 1945, front persatuan GBP3D dengan golongan Islam mengalami perpecahan. Menurut Anton E. Lucas, perpecahan itu terjadi setelah K. Midjaja mengatakan bahwa pemuda Islam dan golongan Islam secara umum tidak memiliki jiwa revolusioner.

Ia kian memperuncing perpecahan dengan mengatakan bahwa dalam kepentingan perjuangan agama dapat dikesampingkan.

Selain itu, konflik juga terjadi antara GBP3D dengan TKR (Tentara Keeamanan Rakyat). Menurut Benedict Anderson, hal tersebut disebabkan sikap GBP3D yang tidak mengakui TKR sebagai pasukan pengamanan resmi. Selain itu, juga dipicu oleh penangkapan komandan TKR yang dilakukan Kutil dan pasukannya.

Tanggal 21 Desember 1945, TKR berhasil memukul mundur pemerintahan revolusi sosial serta menangkap para tokoh yang terlibat. Pada 21 April 1946, berdasarkan putusan sidang pengadilan di Pekalongan, Kutil menjadi salah satu terdakwa yang mendapat hukuman paling berat, yakni hukuman mati.

Widarta ditangkap pada tanggal 23 Desember 1945 dan dipenjarakan bersama Sarjio. Sedangkan K. Midjaja diuntungkan situasi, sehingga vonis terhadap dirinya yang sedianya dijatuhkan tahun 1947 tidak pernah terjadi.

“[Revolusi sosial] merupakan letusan semangat revolusioner pemuda-pemuda secara spontan (dan tidak dipikir, sebagai pencerminan idealisme-revolusioner). Kasus ini memperlihatkan betapa jatuhnya cita-cita perombakan (nilai-nilai lama) dengan kenyataan pahit yang ada,” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (2005, hlm. 145).

Baca juga artikel terkait REVOLUSI SOSIAL atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Politik
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi