Menuju konten utama

Denda Tak Cukup Hukum Perusahaan Semen Cina yang Monopoli di RI

Perusahaan semen di Kalsel memonopoli pasar. Mereka menjual dengan harga lebih rendah, diduga dapat demikian karena disokong perusahaan induk di Cina.

Denda Tak Cukup Hukum Perusahaan Semen Cina yang Monopoli di RI
Pabrik pengolahan semen. Tirto.id/Ads

tirto.id - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan denda sebesar Rp22,3 miliar pada PT. Conch South Kalimantan Cement (CONCH). Sanksi tersebut dijatuhkan usai anak usaha dari Anhui Conch Cement Company Limited, perusahaan asal Cina, terbukti melanggar Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Ketua Majelis Komisi Ukay Karyadi menyimpulkan CONCH, yang pabriknya berada di Kalimantan Selatan, telah melakukan jual rugi atau menetapkan harga rendah untuk semen sejak 2015 sampai 2019. Harga jual mereka rata-rata yang lebih rendah dibandingkan harga pokok penjualan untuk semen jenis PCC di wilayah Kalsel.

Sebagai gambaran, pada 2015, CONCH menjual semen di Kalsel seharga Rp58 ribu per karung/50 kg, sementara Semen Gresik dari BUMN Semen Indonesia untuk berat dan kemasan yang sama dibanderol antara Rp60 ribu-Rp65 ribu.

Salah satu bukti yang memperkuat itu adalah laporan keuangan perusahaan tahun 2015. Di sana tercatat CONCH mengalami kerugian tapi mereka tetap melanjutkan praktik tersebut.

Mereka tetap dapat mempraktikkan jual rugi karena diduga disokong perusahaan induk. “Majelis Komisi juga menemukan bahwa CONCH secara kepemilikan dikendalikan oleh Anhui Conch Cement Company Limited selaku induk utama yang memiliki kemampuan finansial yang kuat dan berpeluang besar untuk menguasai industri semen secara global,” tambah Ukay, Senin (18/1/2021).

Dampak dari strategi itu tidak lain peningkatan pangsa pasar secara signifikan sekaligus membuat lima pelaku usaha lokal pesaing tersingkir dalam lima tahun terakhir. “Hal ini mengakibatkan pasar semen semakin terkonsentrasi dan mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.”

Denda Tidak Sepadan

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan besaran denda kurang sepadan dengan dampak kerugian yang ditimbulkan dari praktik usaha tidak sehat tersebut.

“Relatif kecil kalau dibandingkan kerugian dari perusahaan semen kompetitor yang terpaksa melakukan PHK,” katanya kepada reporter Tirto, Senin (18/1/2021). “Kemudian enggak memberikan efek jera khususnya dalam perbaikan kompetisi di sektor semen,” tambahnya.

Bhima juga mengatakan perlu penelusuran lebih lanjut mengapa semen CONCH masih bertahan meski menjual produk dengan harga lebih murah, tak sekadar diduga disokong perusahaan induk. Mulai dari indikasi pembangunan pabrik yang bermasalah sampai sistem pengupahan yang tidak adil kepada para pekerja.

“Ada indikasi dia modal awalnya kecil karena permasalahan lahan belum selesai. [Lalu] upahnya. Lihat masalah ketenagakerjaannya. Ini sudah masuk Kemenaker. Harus lakukan audit,” katanya.

Lebih dari itu menurutnya monopoli ala CONCH sangat berbahaya bagi industri semen tanah air. Sebab, kata Bhima, produksi semen dalam negeri sudah sangat berlebihan. “Kondisi over suplai makin parah dengan kehadiran semen Cina ini. Oleh karena itu ia kembali menegaskan bahwa “hukumannya enggak cukup hanya dengan predatory pricing kemudian praktik monopoli.”

Hal senada dikatakan anggota Komisi VI DPR Andre Rosiade. Menurutnya semen Cina ini “mengancam industri strategis kita.”

Ia menjelaskan saat ini kapasitas produksi pabrik semen mencapai 110 juta ton per tahun, sementara konsumsinya hanya 75 juta ton. Dengan kapasitas berlebih mencapai 35 juta ton per tahun, kata dia, Indonesia tidak perlu membangun pabrik semen baru sampai 2030. “Selain juga kapasitas produksi hanya 60 persen. Karena ada COVID-19 ini jauh lebih menurun baik konsumsi dalam negeri maupun ekspor,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin.

Ke depan, katanya, aturan yang memberatkan pelaku monopoli perlu diperbarui agar bisa memberikan efek jera. “Aturan soal predatory pricing itu sudah lama, dari tahun 1999 dendanya maksimal Rp25 miliar. Itu, kan, sudah zaman dulu. Harusnya diperbarui itu aturan 22 tahun yang lalu. Harus diperberat lagi.” Menurutnya, denda untuk pelaku monopoli seharusnya Rp500 miliar sampai Rp1 triliun.

Sebagai anggota legislatif, dia berjanji akan mengupayakan revisi itu. “Ke depan setelah aturan soal KPPU ini akan dibahas dan menjadi prioritas.”

Baca juga artikel terkait BISNIS SEMEN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino