Menuju konten utama

Dena Rachman: Aktivis Kesetaraan Gender dan Pendukung RUU PKS

Identitas Dena Rachman yang transpuan terus diamplifikasi media sebagai sesuatu yang kontroversial. Padahal Dena lebih dari itu.

Dena Rachman: Aktivis Kesetaraan Gender dan Pendukung RUU PKS
Dena Rachman. (Instagram/@denarachman)

tirto.id - Dena Rachman kembali menyedot perhatian publik, lantaran rencana pernikahannya dengan pria asal Amerika Serikat. Tak hanya itu, keputusannya untuk berpindah agama juga menjadi perbincangan hingga mencapai trending topic.

Viralnya pemberitaan soal Dena Rachman terjadi setelah Daniel Mananta mengunggah video blognya di akun Youtube Daniel Tetangga Kamu, pada 16 November 2020. Episode tersebut, menceritakan pengalaman Dena saat memutuskan menjadi transpuan dan bagaimana ia sempat menjadi atheis.

Dena memang lebih banyak dibicarakan sebagai seorang transpuan mantan artis cilik yang kini berprofesi sebagai aktris juga model. Berita-berita tentangnya, lebih banyak membahas urusan personal, mulai dari identitasnya sebagai transgender hingga urusan keyakinan. Tak ayal, ia kerap menjadi sasaran empuk penghakiman massal para warganet.

Padahal, Dena Rachman lebih dari yang kerap dibicarakan orang.

Menjadi Aktivis Kesetaraan Gender

Beberapa tahun terakhir, Dena aktif menyuarakan isu kesetaraan gender dan keberagaman. Pada Aksi Women March 2018 dan 2019 ia bahkan ikut berorasi bersama para aktivis gender dan HAM lainnya menyerukan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Sejak 28 Oktober 2019, ia mengampu sebuah akun Youtube BebiTalk (Bebas Bicara Talkshow). Konten YouTubenya itu kerap membahas isu kesetaraan gender, edukasi seks dan kampanye dukungan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Vlognya terbarunya, ia mengupas tuntas RUU PKS tersebut bersama aktivis feminisme Hannah Al Rashid.

Ia mulai fokus terhadap isu kekerasan seksual ketika mengetahui banyak korban kekerasan seksual yang hingga saat ini belum mendapat keadilan, baik yang kasusnya tak selesai atau pelakunya yang berakhir bebas.

Ia menyadari banyak dari kelompok rentan seperti transpuan yang juga menjadi korban kekerasan seksual.

“Aku tahu banget teman-temanku mulai dari teman-teman trans, cis women, semuanya, memang tidak pandang gender, bisa menjadi korban pelecehan bahkan kekerasan seksual hingga berujung rape. Hingga saat ini, belum ada UU yang proper untuk itu. Data sudah banyak yang berbicara kalau korbannya sudah sangat banyak tapi sampai sekarang (negara) seperti tidak ada upaya untuk memandang ini sebagai sesuatu yang perlu,” jelas Dena, saat dihubungi Tirto, Rabu (18/11/2020).

Selain aktif menyuarakan isu penghapusan kekerasan seksual ia juga fokus pada isu keberagaman dan kesetaraan gender. Terlebih setelah ia menyaksikan diskriminasi yang dialami kelompok-kelompok minoritas.

“Pada dasarnya kita equal, mau itu dari agama, ras bahkan orientasi seksual. Jadi kesetaraan gender itu menjadi hal yang perlu. Yang kita lihat, budaya patriarki ini menomorduakan perempuan terlebih bagi teman-teman minoritas,” terang Dena, yang pada Agustus 2018 lalu meraih diploma Gender Studies in International Law di Universitas Leiden Belanda.

Karena itulah, lanjut Dena, tumbuh budaya diskriminasi yang terjadi tidak hanya terhadap personal tetapi secara institusional. “Buat aku pribadi, ada beberapa hal yang tidak bisa aku lakukan atau opportunity yang tidak bisa aku raih karena identitasku yang ‘I’m a trans’.”

Diskriminasi itu diperlihatkan secara eksplisit melalui persyaratan administrasi misalnya dalam pendaftaran beasiswa atau pendaftaran caleg.

“Ini hypothetically aja, misalnya aku mau daftar beasiswa dari pemerintah untuk belajar gender studies and human rights, ya udah enggak bisa. Opportunity seperti itu yang hilang.”

Selain beragam aktivisme tersebut, Dena juga pernah menjadi sukarelawan UNFPA--organisasi PBB untuk kesehatan reproduksi dan seksual--serta pembicara di berbagai non-government organization (NGO).

Framing Usang terhadap Minoritas

Kelompok LGBTQ kerap menjadi bulan-bulanan media. Di televisi, mereka dipotret sedemikian rupa sebagai masyarakat kelas dua yang diwajarkan untuk dirundung dan dijelek-jelekkan.

Di sisi lain, headline berita hanya memuat berita-berita miring seputar pesta gay hingga pembunuhan transpuan.

“Karena selama ini yang dijual cuma karakter-karakter yang seperti itu karena itu yang paling laku. Sementara banyak banget prestasi yang sudah dicapai teman-teman minoritas tapi tidak di-blow-up karena itu adalah suatu hal yang belum bisa mereka terima.”

Merupakan jalan panjang bagi Dena agar dapat dianggap setara di masyarakat. Selain terus melakukan aktivisme dan advokasi, salah satu yang ia lakukan adalah menjadi contoh baik bagi masyarakat.

“Jadi yang sekarang yang bisa aku lakukan adalah menjadi good role model. Aku tahu itu sulit dan butuh waktu lama. Tapi itu adalah long-term investment. Biar orang melihat pada akhirnya ke karya aku,” papar Dena.

Orientasi seksual maupun agama seseorang adalah urusan privat, tak seharusnya menjadi konsumsi publik. Aktivisme Dena, maupun kelompok minoritas lain, jauh lebih penting untuk dibicarakan ketimbang kontroversi soal identitas atau keyakinannya.

Baca juga artikel terkait DENA RACHMAN atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Dieqy Hasbi Widhana