Menuju konten utama

Demokrat dan Gerindra Rawan Menciptakan Friksi di Koalisi Jokowi

Bagi pengamat, Gerindra dan Demokrat akan membuat koalisi Jokowi terpecah. Dua partai itu disinyalir akan jadi partai pro-pemerintah dan dapat kursi.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) bertemu Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) saat melayat di rumah duka, Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Senin (3/6/2019). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/hp.

tirto.id - Dua partai pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019, Gerindra dan Demokrat, semakin menunjukkan gelagat ingin bergabung ke kubu pemerintah. Jika itu terjadi, selain membuat koalisi Joko Widodo-Ma'ruf Amin makin gemuk, mereka juga berpotensi membikin friksi alias perpecahan.

"Cukup terbuka [kemungkinan friksi]," kata pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno kepada reporter Tirto, Rabu (16/10/2019). "Sebab," katanya, baik Gerindra dan Demokrat "selama ini memang beda pandangan dan beda sikap" dengan partai koalisi Jokowi.

Bahkan dalam masa kampanye lalu, Ace Hasan Syadzily sekali juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf sempat menyindir Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga dengan sebutan "bunglon." Menurutnya BPN mengakomodasi semua kepentingan meski sesungguhnya saling bertentangan.

"Bukan perkara mudah" untuk mencegah friksi terjadi, tambah Adi, mengingat bagaimana sengitnya perseteruan kedua kubu ini berbulan-bulan yang lalu.

Potensi friksi sudah terlihat ketika para elite partai lebih suka menjawab "serahkan ke Jokowi/presiden" jika ada pertanyaan dari wartawan apakah mereka setuju Gerindra--juga partai oposisi lain--gabung ke koalisi pro-pemerintah.

Ini misalnya pernah disampaikan Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah. Meski demikian, di Gedung MPR/DPR, Rabu (16/10/2019) lalu, dia menegaskan bergabungnya oposisi "bukan hal yang tabu dalam sistem demokrasi kita." Disebut demikian karena dalam sejarahnya itu sudah berkali-kali terjadi.

Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto juga mengatakan "dalam konteks lain, tentu domainnya pak presiden" saat ia bertemu Prabowo, Selasa (15/10/2019).

Pernyataan serupa tapi tak sama juga keluar dari mulut Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Ia mengatakan Gerindra semestinya jadi "makmum masbuk" jika seandainya jadi bergabung ke koalisi Jokowi.

Artinya, seperti yang ditegaskan Wakil Ketum PKB Jazilul Fawaid, PKB sepakat Gerindra masuk koalisi jika mereka ada di posisi terakhir perebutan jatah menteri. "Yang datang belakangan, ya dapat jatah belakangan," katanya, Selasa (15/10/2019).

Agus Harimurti Yudhoyono dan Edi Baskoro sebenarnya melakukan safari politik lebih dulu dari Prabowo. Pada Idul Fitri 5 Juni lalu, kedua putra SBY itu bertemu Jokowi dan Megawati. Agus mengaku itu pertemuan biasa.

Kamis (10/10/2019) kemarin, giliran SBY yang menemui Jokowi di Istana. Hasil pertemuan ini adalah semakin menguatnya desas-desus AHY akan diberi jatah menteri, meski sejauh ini Jokowi belum mengumumkan apa pun terkait itu.

Dosen dari Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Arya Budi pun memaklumi jika partai koalisi Jokowi menolak bergabungnya partai oposisi. Alasannya sederhana saja: "mereka yang memperjuangkan 01 [nomor urut Jokowi-Ma'ruf]."

"Dan ini ada lawan yang dulu mereka tentang kemudian masuk menerima kue kekuasaan. Itu pasti akan menciptakan friksi," kata Arya saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (16/10/2019). Dengan kata lain, gelagat menolak kehadiran oposisi wajar belaka.

Resistensi ini juga bukan hanya terkait periode pemerintahan Jokowi jilid dua. Lebih dari itu, bagi Arya, apa yang terjadi saat ini juga menentukan akan seperti apa Pilpres 2024. Mereka yang bergabung ke kabinet Jokowi, dan karenanya dapat peran serta 'lampu sorot', punya kemungkinan lebih besar untuk sukses.

Itu dia mengapa bagi Arya partai koalisi Jokowi tampak lebih terbuka terhadap Gerindra ketimbang Demokrat. Demokrat memiliki sosok AHY yang potensial maju pada Pilpres 2024, sementara Gerindra belum punya sosok seperti itu. AHY tentu akan jadi batu sandungan jika misalnya partai koalisi Jokowi juga menjagokan kader untuk maju.

"Apa jadinya kalau AHY dipasang entah di salah satu kementerian? Pasti akan membuat manuver politik menjelang 2024," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KOALISI JOKOWI atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino
-->