Menuju konten utama

Demo Menolak Trikora Kembali Berujung Penangkapan Aktivis Papua

Aksi penolakan terhadap Trikora diwarnai penangkapan dan pemukulan di sejumlah daerah. TNI dan Polri mengaku tidak tahu soal ini.

Demo Menolak Trikora Kembali Berujung Penangkapan Aktivis Papua
Sejumlah Masyarakat Papua Lakukan Aksi Penolakan Trikora di Monas, Jakarta Pusat, Rabu (19/13/2018). tirto.id/Fadiyah Fadiyah

tirto.id - Warga Papua tampaknya masih belum dapat menerima operasi militer Tri Komando Rakyat (Trikora) yang terjadi 57 tahun silam. Rabu (19/12) kemarin, bertepatan dengan tanggal terjadinya operasi itu, sejumlah demonstrasi menolak Trikora digelar di sejumlah daerah di Indonesia.

Di Jakarta, demonstrasi digelar puluhan aktivis Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI) pada Rabu pagi. Awalnya mereka bergerak ke Markas TNI AD, Jakarta Pusat, tapi diadang polisi.

Mereka lantas pindah ke pintu utara Monumen Nasional (Monas). Massa membawa sejumlah poster berisikan penolakan terhadap Trikora, serta tuntutan warga Papua bisa menentukan sendiri nasib bangsanya.

"Seminggu lagi Natal, tapi kita masih demonstrasi. Kenapa kita masih demonstrasi? Karena 57 tahun yang lalu, seminggu sebelum Natal, Sukarno menyatakan invasi militer terbesar [Trikora]," ujar Juru Bicara FRI-West Papua Surya Anta saat berorasi di depan pintu Monas.

Trikora berisikan tiga pesan: gagalkan pembentukan 'negara boneka Papua' bantuan Belanda; kibarkan sang merah putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia; dan bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air. Massa menilai Trikora yang digagas Sukarno adalah ilegal.

Dalam aksinya, orator juga menuntut Indonesia dan PBB mengakui Trikora 19 Desember 1961 merupakan bentuk pemusnahan rakyat asli Papua. Mereka menuntut TNI dan Polri menarik diri dari Papua karena kerap menggunakan pendekatan kekerasan ke masyarakat.

"Tanpa bertanya, tanpa konfirmasi ke orang Papua, dibilang, lah, Papua negara boneka Belanda," teriak Surya.

Surya juga mengatakan saat ini wartawan juga tidak bisa masuk secara bebas ke Papua. Kalaupun ada, kata dia, jurnalis tersebut merupakan jurnalis yang telah 'bekerja sama' dengan polisi.

"Tuntutan kami juga agar jurnalis bisa masuk ke dalam negeri Papua untuk melakukan investigas ke negara Papua, yang terakhir itu kasus Nduga," kata Surya.

Ditangkapi Aparat

Aksi serupa juga digelar di Bandung, Malang, Palu, Ternate, Jayapura, dan Merauke. Di Jakarta, aksi memang berjalan dengan damai, namun tidak halnya di daerah lain. Berdasarkan informasi dari Juru Bicara FRI-WP Surya Anta, di luar Jakarta, rekan-rekan mereka cukup banyak yang diamankan aparat. Informasi itu dilengkapi bukti berupa kiriman gambar dan video yang ia terima melalui pesan WhatsApp.

Dalam informasi itu disebutkan pembubaran dilakukan aparat di sejumlah tempat yakni Jayapura, Ternate, Malang, Bali, Merauke, dan Timika. Dari enam lokasi itu, pembubaran di Ternate disebut dilakukan dengan disertai kekerasan aparat.

"Ternate: 7 ditangkap tentara dan sempat tidak diketahui keberadaannya; dibotaki, ditelanjangi dan dihajar hingga babak belur. Ketika masuk ke Kodim 1501 dipukul di bagian belakang, wajah, kepala, kaki. Ada satu yang ketika diinterogasi, tiap satu pertanyaan dipukul dengan balok. Satu yang lain diancam akan dimasukkan asbak ke mulutnya bila tidak jujur. Diperintahkan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil dijemur dan berguling di lapangan basket," demikian isi laporan yang diterima reporter Tirto dari FRI-WP, Rabu siang.

Surya mengatakan delapan rekannya di Ternate dibawa aparat saat tengah berorasi. Kejadian persisnya di Taman Falajawa. Terkait dengan informasi tersebut, reporter Tirto mengklarifikasi kepada Putri, bukan nama sebenarnya, salah satu peserta aksi di Ternate.

Menurut Putri, aksi mereka dibubarkan polisi berpakaian bebas. Setelah itu, massa bubar dan berkumpul di Taman Falajawa. Saat tengah berkumpul itu, Putri menyebit, aparat datang menanyakan korlap unjuk rasa.

"Lalu di saat itu juga terjadi pemukulan terhadap kami," kata Putri saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (20/12/2018).

Saat peristiwa itu, kata putri, aparat menuding mereka sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). "Berlanjut sampai di depan pelabuhan dan kawan-kawan kami diseret oleh aparat keamanan, dimasukkan ke dalam mobil," kisah Putri.

Menurut keterangan Putri, delapan demonstran ditangkap polisi. Namun satu di antaranya bukan peserta aksi, melainkan mahasiswa yang sedang lewat dan memotret aksi. Anton, bukan nama sebenarnya, salah seorang demonstran yang ditangkap mengatakan dia dan rekanannya sempat dibawa ke Kodim 1501/Ternate.

"Kami dibawa ke Kodim dan dimasukkan ke Kodim. Nah, di situ, kami dipukul dulu, dipukul," kisah Anton melalui rekaman yang dikirimkan ke reporter Tirto, kemarin.

Anton mengatakan dirinya diinterogasi secara terpisah dari teman-temannya. Ia ditanyai sejumlah hal yang berkaitan dengan aksi sambil dipukuli. Ia juga ditanyai soal gerakan OPM dan ditelanjangi.

Saat dikonfirmasi, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengaku belum tahu soal adanya penangkapan di Ternate tersebut. “Belum ada update-nya,” katanya kepada reporter Tirto, kemarin.

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Santos Gunawan Matondang juga menyampaikan pengakuan serupa. Ia mengaku belum tahu soal kabar penangkapan yang disampaikan Surya.

"Tidak ada infonya. Terima kasih," katanya singkat kepada Tirto, melalui WhatsApp, Kamis malam (20/12/2018).

Penangkapan dan kekerasan terhadap aktivis Papua bukan kali ini saja. Pada Sabtu (1/12), ratusan demonstran pro-Papua juga ditangkap kepolisian. Kasus yang berulang ini bermula sejak 1961, tepatnya saat operasi Trikora digelar.

Baca juga artikel terkait AKSI TRIKORA atau tulisan lainnya dari Abul Muamar

tirto.id - Politik
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Abul Muamar
Editor: Mufti Sholih & Abul Muamar