Menuju konten utama

Demo Gejayan Memanggil Jogja dan Tragedi Moses Gatotkaca 1998

Gejayan Memanggil adalah aksi atau demo yang dilaksanakan di Jalan Gejayan. Demo Gejayan diadakan di lokasi tempat terjadinya tragedi Gejayan yang menewaskan Moses Gatotkaca.

Demo Gejayan Memanggil Jogja dan Tragedi Moses Gatotkaca 1998
Poster aksi "Gejayan Memanggil". tirto.id/Istimewa

tirto.id - Gejayan adalah salah satu nama daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Daerah ini juga dikenal sebagai Jalan Affandi. Nama Jalan Gejayan lekat dengan tragedi yang terjadi pada 8 Mei 1998 saat terjadi aksi meminta reformasi dipercepat.

Di Jalan Gejayan ini, Aliansi Rakyat Bergerak mengadakan demo #GejayanMemanggil pada Senin (23/9/2019). Gejayan Memanggil adalah aksi dan pernyataan sikap untuk memprotes kondisi negara belakangan ini.

Beberapa hal yang menjadi tuntutan Aliansi Rakyat Bergerak berkaitan dengan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), UU KPK, kerusakan lingkungan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), dan penangkapan aktivis. Berikut ini tuntutan yang diajukan aliansi di demo Gejayan.

  1. Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP.
  2. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
  3. Menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia.
  4. Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja.
  5. Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma agraria.
  6. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
  7. Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.
Aliansi ini juga menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR dan elite politik. Aliansi menggugat RKUHP yang dianggap mengebiri demokrasi.

"RKUHP membungkam demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Salah satunya, melalui pasal yang mengatur soal 'Makar'. Pasal soal makar jelas berisiko menjadi pasal karet yang akan memberangus demokrasi," tulis Aliansi Rakyat Bergerak dalam keterangan pers yang diterima Tirto, Senin (23/9/2019).

"RKUHP menjelma pasal karet yang jelas bisa digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi seluruh masyarakat sipil. Dengan demikian, masyarakat telah kehilangan ruang aspirasi."

Tidak hanya soal makar, pasal-pasal dalam RKUHP juga dinilai mengkriminalisasi berbagai bentuk perlakuan masyarakat atas nama zina, hukum yang berlaku di masyarakat (living law)—yang berpotensi menjadi pasal karet, bahkan mengkriminalisasi gelandangan dengan pidana denda satu juta rupiah.

"Pasal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, dimana fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara."

Aliansi juga mempermasalahkan soal posisi KPK yang diperlemah. Banyak pasal dalam perubahan kedua Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang akan melemahkan posisi KPK.

Selain KPK, Aliansi mengkritik kriminalisasi aktivis, terutama aktivis antikorupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, ada 91 kasus serangan fisik dan kriminalisasi yang dialami aktivis pegiat anti-korupsi sejak tahun 1996 hingga 2019 dengan korban sebanyak 115 orang.

Sebagian besar dari total jumlah korban diteror dan diancam untuk dibunuh. "Artinya, aparat dan preman sering terlibat pada kasus pembungkaman para aktivis anti-korupsi dan aktivis demokrasi."

Isu lingkungan, pembakaran hutan dan tambang, RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada rakyat, problematika RUU Pertanahan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang belum ditetapkan juga menjadi poin-poin penting dalam aksi Gejayan Memanggil hari ini.

Tragedi Gejayan 1998

Tragedi Gejayan 1998 dipicu oleh keterangan pers Wiranto, Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus Panglima ABRI di Markas Besar TNI Cilangkap, Jumat, 8 Mei 1998.

Wiranto melakukan konferensi pers untuk menanggapi aksi-aksi protes yang terjadi di berbagai daerah menuntut percepatan reformasi. Demonstran meminta Soeharto lengser.

Wiranto mengeluarkan pernyataan yang menganjurkan “mahasiswa dan warga untuk tidak melakukan tindakan anarkis” karena memperburuk keadaan, selain “memperburuk citra Indonesia di mata dunia internasional.”

“Saya melihat bagaimana perilaku masyarakat yang sementara ini lupa diri dengan melakukan kegiatan yang bersifat merusak, membakar toko, merampok toko, gudang, dan menjarah isinya. Ini mengingatkan kita bahwa sudah ada kegiatan yang tidak peduli kepada hukum,” ujar Wiranto di Kompas edisi 8 Mei 1998.

Wiranto menuding tindakan-tindakan yang ia nilai “anarkis” itu (istilah keliru yang terus dipakai hingga kini untuk menyebut tindakan ricuh) karena “mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di jalan.”

“Jadi betul yang saya katakan, bahwa mahasiswa keluar kampus tentu akan dimanfaatkan pihak lain untuk mencari keuntungan yang berbeda dengan visi mahasiswa,” kata Wiranto, memakai teori pihak ketiga.

Wiranto kemudian memerintahkan seluruh jajaran ABRI—sekarang TNI—untuk “menghentikan aksi anarkis dengan melakukan tindakan tegas dan sesuai hukum.”

Sehari setelah Wiranto memberikan keterangan pers di Markas Besar TNI Cilangkap, Jumat, 8 Mei 1998, aksi demonstrasi terus meluas di pelbagai daerah, termasuk Yogyakarta.

Aksi di Yogyakarta ini berujung peristiwa yang dikenal “Tragedi Gejayan”, 8 Mei 1998. Insiden itu menewaskan Moses Gatotkaca, mahasiswa Sanata Dharma Yogyakarta.

Moses ditemukan tergeletak dengan luka-luka pukulan dan meninggal saat dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih. Nama Moses kelak diabadikan pada sebuah jalan di dekat lokasi kejadian.

Baca juga artikel terkait PERISTIWA GEJAYAN atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Agung DH