Menuju konten utama
Periksa Data

Demam TikTok dan Isu Keamanan Data

Pengguna TikTok asal Indonesia mencapai 109,9 juta orang, terbanyak kedua di dunia. Namun, bagaimana keamanan data pribadi di aplikasi ini?

Demam TikTok dan Isu Keamanan Data
Ilustrasi tiktok. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Belum lama ini, TikTok menjadi sorotan global menyusul kemungkinan Amerika Serikat akan memblokir platform media sosial yang fenomenal ini, setelah negara tersebut juga melarang pegawai pemerintah untuk menggunakan TikTok di telepon genggam mereka. Beberapa negara lain seperti Kanada juga telah memberikan perintah serupa.

Isu pemblokiran TikTok ini disebabkan oleh kekhawatiran Pemerintah Negeri Paman Sam bahwa data yang dikumpulkan TikTok dapat bocor ke pemerintah Tiongkok. Hal ini mengingat ByteDance, perusahaan induk TikTok, berkedudukan di Negeri Tirai Bambu.

Amerika Serikat khawatir, data yang dikumpulkan TikTok dapat digunakan untuk memata-matai warganya ataupun menyebarkan propaganda.

Tak bisa disangkal, TikTok memang punya kekuatan besar. Aplikasi media sosial dengan video singkat sebagai sajian utama kontennya ini punya jumlah pengguna yang masif baik secara global maupun secara nasional, meskipun usianya paling muda dibanding media sosial lain. Aplikasi ini baru memulai beroperasi sekitar November 2017 lalu, seiring dengan akusisi aplikasi serupa bernama Musical.ly.

Kala itu ByteDance, induk perusahaan TikTok asal Beijing, Tiongkok hendak melebarkan sayap. Tahun 2016 mereka meluncurkan Douyin, platform berbagi video pendek dengan algoritma serupa TikTok yang meledak di pasar Negeri Tirai Bambu. Sukses di negeri sendiri ini yang mendorong ByteDance kemudian mengakuisisi Musical.ly dan mentranformasikannya menjadi TikTok yang kita kenal saat ini.

Kini, berdasar laporan Digital 2023, TikTok termasuk dalam kelompok sosial media dengan pengguna aktif global di atas 1 miliar, tepatnya 1,051 miliar pengguna. Berdasar data laporan hasil kolaborasi We Are Social bersama Meltwater ini, terlihat TikTok berada di posisi enam besar aplikasi media sosial paling banyak digunakan di dunia.

Di Indonesia sendiri, laporan We Are Social dan Meltwater menyebut, berdasar angka jangkauan iklan yang dipublikasikan TikTok pada Januari 2023, pengguna TikTok asal Indonesia ada sebanyak 109,9 juta orang. Jumlah ini menempatkan Indonesia di peringkat kedua negara dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak, hanya kalah banyak dari Amerika Serikat (113,3 juta pengguna).

TikTok juga ada di posisi keempat aplikasi media sosial yang paling sering dipakai masyarakat Indonesia. Di atas TikTok ada WhatsApp (digunakan 92,1 persen responden), Instagram (86,5 persen), dan Facebook (83,8 persen).

Lebih dari itu, secara global TikTok juga tercatat sebagai aplikasi media sosial yang punya waktu penggunaan paling lama. Rata-rata pengguna TikTok menghabiskan waktu 23 jam 28 menit per bulan untuk mengeksplorasi informasi. Artinya hampir satu hari penuh dalam sebulan dihabiskan rata-rata pengguna gawai untuk "TikTok-an".

Soal rata-rata penggunaan aplikasi per bulan, TikTok bahkan lebih unggul dibanding YouTube (23 jam 9 menit), Facebook (19 jam 43 menit), WhatsApp (17 jam 20 menit), dan bahkan hampir dua kali lipat dibanding Instagram (12 jam).

Sama seperti data global, pengguna TikTok di Indonesia juga terhitung aktif. Bahkan rata-rata waktu menggunakan TikTok masyarakat Indonesia lebih tinggi dari pada rata-rata global. Tercatat rata-rata pengguna aplikasi ini "TikTok-an" selama 29 jam per bulan, berselisih sedikit dengan aplikasi paling aktif digunakan masyarakat Indonesia, WhatsApp, dengan rata-rata waktu penggunaan 29 jam 6 menit per bulan.

Disebutkan juga kalau pengguna TikTok di Indonesia lebih dominan perempuan dengan persentase 66,1 persen, berbanding 33,9 persen pengguna laki-laki.

Aktivitas masyarakat Indonesia di platform TikTok juga tidak terbatas hanya menyaksikan video. TikTok menjadi aplikasi dengan in-app purchase via app store (pembelian produk dalam aplikasi) paling besar di Indonesia. Ini terkait dengan pembelian koin TikTok yang dapat diberikan sebagai hadiah.

Tidak hanya sebagai media sosial, TikTok di Indonesia juga mulai melebarkan sayapnya, dan masuk menjadi platform e-commerce berbasis sosial atau social commerce. Tidak hanya sebagai katalog produk, pembeli dapat langsung melakukan transaksi hingga proses pembayaran di dalam aplikasi TikTok tanpa harus beralih ke aplikasi lain untuk menyelesaikan pembelian.

Laporan survei Indonesia E-commerce Trends 2022 yang dilakukan oleh Jakpat menemukan bahwa jumlah orang yang berbelanja di TikTok Shop pada semester II/2022 sudah melebihi online shoppers di beberapa e-commerce yang sudah lebih dulu ada, seperti JD.ID dan Blibli. Hal ini dimungkinkan karena TikTok Shop memanfaatkan tren belanja live stream yang sedang naik daun belakangan ini.

Tidak tanggung-tanggung, dalam survei terhadap 1.249 orang responden tersetbut, TikTok Shop berada di peringkat 4 platform yang paling sering digunakan untuk berbelanja daring.

Strategi Algoritma

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, apa yang membuat TikTok punya basis pengguna yang tidak hanya besar, tapi juga loyal dalam menggunakannya?

Konten di TikTok juga terbukti memberikan hiburan yang tidak bisa diberikan aplikasi media sosial lainnya. Masih dari laporan yang sama We Are Social dan Meltwater, disebutkan sebanyak 78,9 persen pengguna aktif aplikasi mengatakan menggunakan TikTok untuk mencari konten lucu atau menghibur.

Konten TikTok juga terbilang unik. Video singkat, tidak lebih dari tiga menit, dipadukan dengan musik yang tak jarang viral, jadi formula dasar konten-konten yang dihasilkan TikTok. Formula ini yang coba direplikasi oleh media sosial lain, seperti YouTube dengan Shorts-nya, Facebook dengan Reels-nya, maupun Instagram dengan beragam pengayaan di fitur Story.

Keunikan konten ini kemudian dikawinkan dengan algoritma TikTok yang menyesuaikan dengan ketertarikan masing-masing pengguna. "Video-video yang disesuaikan dengan minat Anda, memudahkan untuk menemukan konten dan pembuat konten yang Anda sukai [...] didukung oleh sistem rekomendasi yang mengirimkan konten ke setiap pengguna yang mungkin menarik secara spesifik bagi mereka," begitu TikTok mendifinisikan algoritma yang dikenal dengan For Your Page alias FYP.

Sederhananya FYP bekerja dengan mempelajari aktivitas pengguna, apa yang disukai, apa yang dicari, hingga konten yang dinikmati pengguna dalam jangka waktu panjang. Data tersebut kemudian terkumpul menjadi sebuah informasi yang digunakan untuk menjadi dasar merekomendasikan konten-konten yang dibuat oleh para kreator di platform ini.

"Finding more of what you're interested in" dan "Seeing less of what you're not interested in" menjadi dua rumus dasar TikTok mengkurasi konten untuk tiap-tiap penggunanya. Hal ini diduga jadi alasan orang tahan berlama-lama TikTok-an.

Pertumbuhan Signifikan TikTok

Dengan strategi itu, TikTok mencapai 1 miliar pengguna aktif bulanan pada September 2021 lalu berdasar informasi yang dirangkum Forbes, kurang dari empat tahun sejak pertama beroperasi di pasar global. Capaian ini jauh lebih cepat ketimbang Facebook dan Instagram, keduanya membutuhkan waktu sekitar 7-8 tahun untuk mencapai pencapaian tersebut.

Sementara dibandingkan dengan Twitter dan Snapchat, dua aplikasi media sosial besar yang tidak terafiliasi dengan Google ataupun Meta, TikTok bahkan mengungguli keduanya sejak tahun 2019.

Pada tahun 2022, tercatat pengguna aktif bulanan (monthly active user, MAU) TikTok mencapai 1,466 miliar pengguna, naik lebih dari 62 persen dibanding tahun 2021 saat rata-rata MAU belum mencapai angka 1 miliar.

TikTok juga tercatat sebagai aplikasi dengan pengguna aktif bulanan (monthly active user, MAU) paling banyak kelima di Indonesia per Januari sampai Desember 2022.

Sementara itu, berdasar catatan Sensor Tower, pada Juli 2021 lalu, TikTok menjadi aplikasi non-Facebook (yang bukan aplikasi game) pertama yang mencapai unggahan 3 miliar. Lembaga riset yang berfokus terhadap aplikasi smartphone itu menyebut, sejak tahun 2014, capaian 3 miliar unduhan di Google Play Store dan App Store, sebelumnya hanya pernah diperoleh WhatsApp, (Facebook) Messenger, Facebook, and Instagram.

Bahaya Kebocoran Data dan Ancaman Blokir

Pada Kamis (23/3/2023), CEO TikTok Shou Zi Chew dihadirkan untuk bersaksi di sidang Kongres Amerika Serikat. Proses yang berjalan sekitar lima jam itu berfokus menanyakan dan menekan Shou tentang perlindungan data pengguna aplikasi TikTok.

Pihak TikTok dan Shou dalam sidang parlemen telah menekankan kalau mereka tidak pernah memberikan data kepada Pemerintah Tiongkok dan tidak akan melakukannya jika diminta. Selain itu disebutkan kalau TikTok sendiri berkantor pusat di Los Angeles dan Singapura seperti dikutip CNN Indonesia. Tiongkok menganggap reaksi Amerika Serikat berlebihan dan mereka dianggap menyebarkan disinformasi untuk menekan TikTok.

Namun, perlu dicatat bahwa berdasar sebuah penelitian terbaru yang dilakukan URL Genius, aplikasi pelacak masih banyak ditemukan di berbagai platform. Dari 200 aplikasi di perangkat iOS (sistem operasi Apple) yang diteliti rata-rata sebuah aplikasi terhubung dengan 15 domain yang terhubung dengan pelacak. Dari jumlah tersebut terdapat 12 di antaranya yang merupakan domain pihak ketiga yang tidak dikenal.

Secara khusus untuk TikTok, disebutkan terdapat 14 domain pelacak dalam aplikasi tersebut, yang 13 di antaranya domain pihak ketiga. Kalau dibandingkan dengan platform media sosial lainnya, YouTube yang memiliki potensi pelacak terbanyak (14), hanya empat di antaranya yang merupakan domain pelacak pihak ketiga, sementara 10 sisanya, pelacak yang terhubung dengan jaringan internal mereka. Sementara Facebook, Snapchat, Messenger dan Whatsapp hanya terdapat satu potensi alat pelacakan dalam aplikasinya.

Sampai sejauh ini belum ada langkah blokir tegas yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap TikTok. Namun, sudah ada larangan bagi perangkat pemerintahan untuk menggunakan aplikasi asal Tiongkok ini.

Indonesia sendiri pernah punya urusan dengan TikTok. Pada tahun 2018 lalu Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) sempat memblokir TikTok karena mendapat banyak laporan negatif.

Blokir berlangsung selama 10 hari dan blokir dibuka kembali setelah pihak TikTok membersihkan konten-konten negatif dalam platform dengan cepat. Mereka juga kemudian mengembangkan sistem keamanannya dan juga kecerdasan buatan untuk membantu menyaring konten negatif.

Selepas kejadian tersebut, TikTok pun cenderung patuh dengan regulasi yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah saat Pemerintah Indonesia mewajibkan pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) sebelum 20 Juli 2022 lalu. TikTok menjadi salah satu perusahaan digital yang cepat-cepat mendaftarkan diri.

Terkait dengan polemik rencana blokir TikTok di Amerika Serikat baru-baru ini, Kominfo mengatakan belum menemukan indikasi aplikasi tersebut menjadi alat mata-mata ataupun mengambil data berlebihan di Indonesia.

"Kita tetap antisipasi dengan terus memperhatikan dan melakukan pemantauan. Jadi ada alert system yang harus terus kita bangun. Bukan cuman buat TikTok, tapi buat semua [platform]," ujar Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo Usman Kansong dikutip dari CNN Indonesia.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty