Menuju konten utama
5 Juli 1959

Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Titik Balik Otoritarianisme Sukarno?

Dekrit Presiden terbit 5 Juli 1959, hari ini 62 tahun yang lalu. Banyak sejarawan menganggap ini adalah salah satu noda hitam yang ditorehkan Sukarno.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Titik Balik Otoritarianisme Sukarno?
Ilustrasi Mozaik Dekrit Presiden 5 Juli 1959. tirto.id/Sabit

tirto.id - “Tidak ada seorang pun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan pro dan kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa.”

Kata-kata tersebut keluar dari mulut Sukarno ketika berada di puncak kekuasaan, antara 1961-1964, kepada seorang jurnalis perempuan bernama Cindy Adams untuk proyek penulisan buku berjudul Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat).

Sukarno, seperti revolusi yang dirintisnya, memang pribadi yang penuh paradoks. Jasa-jasanya kepada republik tidak akan pernah terganti. Siapa yang mampu mengobarkan semangat perlawanan rakyat dan menyatukannya dalam satu napas semangat revolusi kalau bukan Sukarno melalui pidato-pidato menggelegar di atas podium? Tapi, di sisi yang lain, tak bisa ditampik juga bahwa beberapa kebijakan yang pernah diambilnya menyisakan noda hitam sejarah.

Salah satunya adalah ketika Sukarno secara sadar—walaupun merupakan usulan dengan sedikit tekanan dari Angkatan Darat—mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, tepat hari ini 62 tahun yang lalu. Dekrit mengubah sama sekali sistem pemerintahan dari yang sebelumnya demokrasi parlementer ke sistem terpimpin yang cenderung otoriter.

Banyak peneliti dan sejarawan menyebutkan peristiwa ini adalah periode 'hitam' masa kepemimpinan Sukarno sekaligus menjadi titik mula kejatuhannya di kemudian hari. Akan tetapi, secara ironis Sukarno sendiri justru menyebutnya sebagai “tahun penemuan kembali revolusi kita.” Hal ini dia katakan dalam pidato di hadapan ribuan orang pada upacara peringatan ulang tahun ke-14 Indonesia, tepat satu bulan lebih dua belas hari setelah Dekrit terbit.

Ia melanjutkan, “Saya merasa seperti Dante dalam Divina Commedia. Saya merasa bahwa revolusi kita telah menderita semua jenis penderitaan Inferno! Dan kini, dengan kembalinya kita ke Konstitusi 1945, kita menjalani pemurnian untuk masuk surga!” (Sukarno: Paradoks Revolusi Indonesia, hlm. 10).

Hatta Berdiri di Seberang Jalan

Orang yang menjadi pengkritik paling keras kebijakan tersebut tidak lain adalah Mohammad Hatta. Hatta memang memposisikan diri sebagai pengkritik keras Sukarno melalui tulisan-tulisannya setelah memutuskan mundur secara resmi dari kursi wakil presiden pada 1 Desember 1956.

Kritik terhadap Sukarno dan Dekrit salah satunya lewat esai monumental yang berjudul Demokrasi Kita, dimuat di majalah Pandji Masjarakat pada 1960.

“Sejarah Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita. Idealisme yang bertujuan menciptakan suatu pemerintahan yang adil, yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya, dan kemakmuran yang sebesar-besarnya. Sementara realita saat ini pemerintah yang dalam perkembangannya kelihatan semakin jauh dari demokrasi yang sebenarnya,” tulis Hatta.

Hatta bahkan menyebut bahwa tindakan Sukarno “bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’etat.” Meski begitu, lanjutnya, “Dia dibenarkan oleh partai-partai dan suara terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat.”

“Tidak lama sesudah itu, Presiden Soekarno mengambil langkah lagi. Setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja, dengan suatu penetapan, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan, dan disusunnya suatu Dewan Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri,” tukasnya.

Pada waktu yang hampir bersamaan ketika Sukarno hendak membubarkan partai-partai oposisi seperti Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Hatta mendesak mereka “untuk tetap memperbaiki diri mereka sendiri.” Jangan sampai kepercayaan publik pada mereka dihancurkan.

Hatta mengusulkan agar hanya ada enam partai di Indonesia. Satu mewakili “arah demokrasi nasional” masing-masing untuk Islam, Katolik Roma, dan Protestan, satu untuk sosialis, dan satu lagi untuk komunis. Hatta juga mengulangi konsep awalnya tentang peran partai politik, yaitu bahwa partai “harus melatih dan mendidik massa dan mengolah rasa tanggung jawabnya terhadap kesejahteraan masyarakat” (Indonesia Raya (Djakarta) dan Jawa Bode, 31 oktober 1956, sebagaimana dikutip oleh Justus M. van der Kroef dalam Far Esater Survey, Vol. 26, No.8 (Aug., 1957), pp. 114).

Dua proklamator tersebut memang akhirnya berpisah sedemikian jauh. Ketika bekerja sama sebagai dwi tunggal, mereka saling melengkapi. Mereka berhasil menghadapi masa-masa sulit di awal kemerdekaan. Keduanya sukses menangkis tantangan serius dari dalam negeri mulai dari keresahan rakyat hingga pemberontakan yang muncul di berbagai daerah seperti DI/TII, PRRI, dan Permesta. Juga ancaman dari luar, yakni agresi militer yang dilancarkan Sekutu.

Dalam Serial Bapak Bangsa yang disusun oleh Tempo pada 2010, mereka digambarkan sebagai dua sisi mata uang yang saling memerlukan dan melengkapi. “Keduanya memang bisa berbuat banyak jika bekerja sama. Hatta memerlukan kehangatan dan kemampuan Sukarno untuk berkomunikasi dengan massa orang Jawa. Sukarno mengambil keuntungan dari disiplin, integritas, dan keterampilan Hatta di bidang ekonomi.”

Menuju Otoritarianisme?

Jika yang diinginkan oleh Sukarno adalah suasana harmoni tanpa konflik internal, maka Demokrasi Terpimpin jelas telah memenuhi obsesi tersebut. Tapi jelas pula kalau hal tersebut bukanlah demokrasi. Sukarno menyusun kabinet sendiri, menunjuk perdana menteri, dan mengangkat semua anggota parlemen (Sukarno: Paradoks Revolusi Indonesia, hlm. 12-14).

Dengan kekuasaan yang semakin tak terbatas, Sukarno menjadi semakin leluasa mengayuh roda “revolusi belum usai” yang telah lama didengung-dengungkan. Pidatonya masih tetap menggelegar dan panggungnya kian gemerlap. Segala macam tanda pangkat kemiliteran kini lengkap ia kenakan.

Infografik Mozaik Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Infografik Mozaik Dekrit Presiden 5 Juli 1959. tirto.id/Sabit

Tapi di sisi yang lain, kampanye untuk merebut Irian Barat, konfrontasi dengan Malaysia, dan 'pemberontakan' di Perserikatan Bangsa-Bangsa makin menjauhkannya dari masalah serius yang sedang dihadapi di dalam negeri: kemiskinan, kelaparan, dan inflasi yang melejit. Ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah juga semakin tak terjembatani. Pada saat yang sama ia semakin terobsesi untuk membangun patung-patung monumental dan gedung-gedung raksasa di seluruh penjuru kota Jakarta.

Selain itu, Sukarno juga semakin agresif menggasak lawan-lawan politik yang tak sejalan dengannya. Dia juga memberangus pers; wartawan yang menurutnya merupakan simpatisan PSI dan Masyumi turut dipenjara. Tak ayal lagi sikap ini menyemai bibit-bibit perlawanan yang maha hebat dari kalangan mahasiswa yang sering disebut dengan Angkatan 66.

Segala persoalan ini mencapai kulminasi pada Januari 1962. Ketika sedang berkunjung ke Sulawesi Selatan, Sukarno mengalami percobaan pembunuhan.

Sukarno naik pitam karena hal tersebut, lalu mendesak agar musuh-musuh politiknya dihukum. Pada bulan yang sama, Januari, Sjafrudin, Natsir, Simbolon, Burhanuddin, serta banyak pemimpin senior Masyumi dan PSI dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses peradilan. Musuh lamanya, Sjahrir, yang sedang sakit dan tidak lagi banyak terlibat dalam kegiatan politik, turut digasak.

“Dengan ditahannya para pemimpin islamis dan nasionalis yang sejak awal revolusi dan masa sebelumnya, maka politik Indonesia (pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959) tampak jelas semakin pahit,” kata Ricklefs dalam buku babonnya Sejarah Modern Indonesia, 1800-2008, (hlm. 559).

Baca juga artikel terkait DEKRIT PRESIDEN atau tulisan lainnya dari Mustaqim Aji Negoro

tirto.id - Politik
Penulis: Mustaqim Aji Negoro
Editor: Rio Apinino