Menuju konten utama

Deindustrialisasi Masih Bayangi Revolusi Industri 4.0 di Indonesia

Bob Azam menilai urgensi penerapan industri 4.0 penting dikaji karena akan berpengaruh besar pada perekonomian apabila dilakukan secara tepat dan terarah.

Deindustrialisasi Masih Bayangi Revolusi Industri 4.0 di Indonesia
Presiden Joko Widodo menyampaikan arahan saat pembukaan Industrial Summit 2018 serta Peluncuran Making Indonesia 4.0 di Jakarta, Rabu (4/4/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - “Apa strategi Anda menghadapi revolusi industri 4.0 di sektor pertanian, perikanan, dan peternakan?” demikian pertanyaan yang dilontarkan moderator debat jilid II Pilpres 2019, Anisha Dasuki, kepada capres petahana Joko Widodo, pada akhir pekan lalu.

Meski bukan tema utama, pertanyaan soal tantangan menghadapi era revolusi industri 4.0 menarik untuk diperbincangkan. Terutama, karena jawaban dari Jokowi ditanggapi Prabwo Subianto dengan pernyataan yang dinilai pesimistis.

Capres nomor urut 02 itu mengatakan bahwa era revolusi industri 4.0 perlu diwaspadai karena berpotensi mengurangi serapan tenaga kerja melalui automasi.

“Pak Prabowo ini kelihatannya ke depan kurang optimis gitu. Kalau saya melihat dengan pembangunan sumber daya manusia, yang tadi saya sampaikan, saya meyakini bahwa kita akan menyongsong revolusi industri 4.0 dengan optimis,” kata Jokowi.

Sayangnya, pembahasan yang berlangsung hampir 5 menit itu tidak menjabarkan pokok permasalahan secara utuh. Pertanyaan soal urgensi penerapan industri 4.0, serta sejauh apa kesiapan Indonesia menghadapinya juga belum terjawab.

Peneliti dari Institute for Development of Economies and Finance (Indef), Bhima Yudisthira mengatakan, pembahasan yang disampaikan dalam debat masih jauh dari substansi persoalan.

Sebab, kata Bhima, masalah mendasar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah deindustrialisasi.

Tantangan mendasar dunia industri, kata Bhima, seperti biaya energi, ongkos logistik yang kurang efisien, serta hal lain yang memengaruhi biaya produksi luput dari pembahasan, terutama oleh Jokowi selaku calon petahana.

“Terjadi pelacuran substansi industri 4.0 di Indonesia. Wacana 4.0 hanya latah tanpa ada kebijakan yang konkret khususnya bagi sektor industri yang masih berada di tahap 1.0 dan 2.0,” kata Bhima saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (21/2/2019).

Sektor pendidikan Indonesia, kata Bhima, juga tampak tidak mendorong industrialisasi. Hal ini terbukti dari tingginya angka pengangguran lulusan SMK dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Padahal SMK ini disiapkan untuk bekerja di sektor industri manufaktur.

Apa yang disampaikan Bhima sesuai dengan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari lalu, bahwa persentase penganggur muda yang berpendidikan SMA ke atas meningkatkan dari 60 persen pada 2014, menjadi 74 persen pada 2018.

Hal ini disebabkan oleh peningkatan penganggur muda dengan pendidikan SMK dari sekitar 23 persen (2014) menjadi 33 persen (2018), serta diploma dan sarjana dari 4,4 persen (2014) menjadi 10 persen (2018).

Penurunan kualitas tenaga kerja Indonesia juga terlihat dari tingginya pertumbuhan sektor jasa lainnya yang mencapai 9,84 persen pada triwulan IV 2018. Padahal, sektor ini hanya memberi sumbangsih sebesar 1,84 persen terhadap PDB.

Sebagai informasi, jasa lainnya merupakan kategori pekerjaan jasa di sektor informal atau pekerjaan dengan waktu dan upah yang fleksibel. Beberapa kalangan bahkan menyebut kategori "jasa lainnya" ini adalah eufimisme untuk pekerjaan, seperti tukang cukur rambut, ojek, becak, dan lain-lain.

“Kalau jasa lainnya naik cukup tinggi, jadi catatan bahwa kesempatan kerja di sektor formalnya cenderung rendah dan kualitas tenaga kerjanya menurun,” kata Bhima.

Ketua Penelitian dan Pengembangan Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam menyampaikan, urgensi penerapan industri 4.0 penting untuk dikaji karena akan berpengaruh besar pada perekonomian apabila dilakukan secara tepat dan terarah.

Namun, kata Azam, yang lebih penting saat ini adalah memperbaiki permasalahan yang ada di industri 2.0 dan 3.0.

“Makannya, banyak orang bilang kalau ada pengusaha mau masuk ke manufaktur, hebat banget. Sekarang, kan, lebih mudah usaha impor, dari pada harus ngolah,” kata Azam saat dihubungi reporter Tirto.

Menurut Azam, konsep industri 4.0 saat ini masih berantakan dan langkah pertama adalah mengembalikan dulu porsi manufaktur di atas 25 persen terhadap PDB. Sebab, saat ini kontribusi sektor industri terhadap PDB memang terus mengalami penyusutan.

Pada 2017, misalnya, sektor pengolahan berkontribusi sebesar 20,16 persen pada PDB dengan laju pertumbuhan 4,27 persen. Tahun ini, pertumbuhannya turun ke angka 4,25 persen dan mampu memberikan sumbangsih sebesar 19,82 persen terhadap PDB.

Padahal, pada 2001 kontribusi manufaktur pernah mencapai 29,1 persen. Jika setengah-setengah, Azam khawatir perkembangan industri 4.0 hanya muncul sebagai jargon dan ujungnya malah makin mendorong ketimpangan dengan industri kecil (IKM).

Meski demikian, Azam memaklumi bahwa kondisi pemerintah saat ini memang cukup dilematis. Sebab, jika tidak memulai penerapan industri 4.0, maka Indonesia akan jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.

Karena itu, ia mendorong agar pemerintah mempercepat pembenahan terhadap masalah-masalah yang dihadapi dunia industri, khususnya dalam hal efisiensi, seperti logistik.

Di samping itu, kata Azam, pertumbuhan investasi juga harus digenjot untuk memastikan para pekerja usia produktif dapat terserap. Hal itu bisa dilakukan berbarengan dengan menciptakan tenaga-tenaga kerja baru yang lebih terampil dan dibutuhkan dunia industri.

“Jadi lapangan kerja industri dan SDM ini seperti ayam sama telur. Kalau industri dikebut, SDM-nya enggak ada, kan, susah. Nah sekarang pekerja ada, tapi industri enggak menyerap," kata Azam,

Baca juga artikel terkait REVOLUSI INDUSTRI atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz