Menuju konten utama

Defisit Psikiater dan Psikolog, Sebarannya Terpusat di Jawa

Negara berpenduduk 264 juta jiwa ini cuma punya 48 rumah sakit jiwa.

Ilustrasi Psikolog Psikiater. tirto.id/Lugas

tirto.id - “Kamu punya kenalan psikolog yang murah?” tanya Adi.

Range berapa?” sahut kawannya.

“Kalau bisa di bawah yang kemarin. Lima ratus ribu sejam itu mahal!”

“Kutanya temanku dulu, ya.”

Percakapan itu terjadi di layar WhatsApp Adi, pegawai negeri sipil di Jakarta. Sejak dua tahun lalu, Adi kerap menggunakan jasa psikolog ketika sedang “penat”.

Awalnya, Adi mengalami insomnia, yang berefek kantuk di siang hari dan mengganggu waktu kerja. Pada saat yang sama, berat badannya naik. Seorang kawan dekat menyarankan Adi ke psikolog, khawatir ia mengalami gangguan jiwa ringan seperti depresi.

Saran itu sering ditampiknya sampai suatu malam ia menangis sesenggukan. Suasana sepi saat terjaga bikin Adi punya waktu lebih banyak berbicara dengan diri sendiri.

“Jadi punya banyak waktu memikirkan kekurangan diri sendiri. Mikirin masalah hidup,” kata Adi. Ia sering merasa sunyi dan sendiri. Pada saat-saat seperti itu, ia sering merindukan kedua orangtuanya yang sudah tiada.

“Kalau sudah gitu, pikiran untuk mati itu rasanya jadi pilihan mudah. Toh, sudah enggak punya siapa-siapa,” tambah Adi.

Namun, sejak konsultasi ke psikolog meski tak rutin, pikiran-pikiran mengakhiri nyawa itu berkurang. “Gue sering pindah karena dua alasan sih, biasanya enggak cocok sama psikolognya atau, kadang-kadang, enggak cocok sama harganya,” kata Adi. “Psikolog di Jakarta mahal!”

Selain jasa psikolog klinis, ia pernah mencoba layanan konseling gratis yang ditawarkan sejumlah lembaga nirlaba. Tapi, antrean panjang bikin Adi tak punya pilihan selain ikhlas mencari jasa psikolog lain. Jangkauan harga jasa konsultasi psikolog yang pernah dibayar Adi di Jakarta berkisar dari Rp550 ribu per satu jam, hingga yang termurah Rp450 ribu per satu setengah jam.

Minim Psikolog dan Masih Jawa-Sentris

Menurut Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), wadah berkumpulnya profesional psikologi (sarjana psikologi, magister psikologi, doktor psikologi, dan psikolog), jumlah anggotanya saat ini 11.500 orang.

Sebaliknya, jumlah psikolog klinis bahkan tak genap 10 persen dari angka itu. Menurut catatan Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia, jumlah psikolog klinis yang telah mereka verifikasi per 5 Mei adalah 1.143 orang.

Angka ini meningkat dari catatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, yang menyebut jumlah psikolog klinis hanya ada 451 orang. Prevalensi gangguan jiwa berat waktu itu mencapai 1,7 per mil. Artinya, 1-2 orang dari tiap seribu penduduk mengalami gangguan jiwa berat.

Sementara menurut Riskesdas 2018, prevalensi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mengalami depresi sebesar 6 persen, atau sekitar 14 juta orang. Sayangnya, hanya 9 persen orang dengan depresi yang minum obat atau menjalani pengobatan medis.

Prevalensi yang timpang ini membuat ongkos konsultasi psikolog relatif mahal. Persebarannya pun cuma terpusat di kota-kota besar, terutama di Jawa, masing-masing di Jakarta ada 321 psikolog klinis, Yogyakarta (246), Jawa Timur (228), Jawa Tengah (209), Jawa Barat (152);, dan Sumatera Barat (54).

Satu Psikiater Melayani 300 Ribu Orang

Tak cuma kekurangan tenaga psikolog klinis, negara berpenduduk 264 juta jiwa ini cuma punya 48 rumah sakit jiwa. Lebih separuhnya berada di empat provinsi dari keseluruhan 34 provinsi. Delapan provinsi tak punya rumah sakit jiwa; tiga provinsi tidak punya psikiater.

Sementara di seluruh Indonesia, hanya ada 600 hingga 800 psikiater. Dengan kata lain, satu psikiater terlatih harus melayani 300.000 hingga 400.000 orang.

“Ini sangat kurang,” kata Jiemi Ardian, residen psikiatri di RSUD Dr. Moewardi, Surakarta. Seperti psikolog klinis, kebanyakan psikiater juga terpusat di kota-kota besar terutama di Jakarta.

Salah satu faktor yang memengaruhi minimnya tenaga psikiater alias dokter spesialis kejiwaan adalah minat mahasiswanya, menurut Jiemi.

Tak banyak sarjana kedokteran mau ambil spesialisasi menjadi psikiater. “Sebenarnya ini ilmu yang familiar, tapi tidak sepopuler spesialisasi lain: bedah, penyakit dalam, kandungan,” kata Jiemi.

Profesi psikiater masih membawa stigma. “Kalau bahasa Jawanya, 'dokter wong edan.' Gila. Gila sendiri aja sudah ada stigmanya,” tambah Jiemi.

Pendapatannya juga tak sefantastis dokter spesialis lain, katanya. “Dibanding spesialisasi lain yang lebih sejahtera, pasti tidak.”

Biaya konsultasi psikiater di rumah sakit memang relatif lebih murah. “Rp75 ribu sampai Rp350 ribu, di luar resep obat,” kata Jiemi.

Namun, karena jumlah tenaganya terbatas dan persebarannya timpang, pasien tak mendapatkan layanan yang semestinya.

Infografik Psikolog Psikiater

Infografik Psikolog Psikiater Defisit

Padahal, situasi kesehatan Indonesia masih mengkhawatirkan. Selain stigma terhadap orang dengan kesehatan mental, praktik pasung di negeri ini masih tinggi. Laporan Human Rights Watch pada 2016 merekam kenyataan pahit itu dalam, “Hidup di Neraka: Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia”.

Laporan itu mendapati 65 kasus orang ditahan sewenang-wenang di rumah sakit jiwa, di panti sosial, dan di pusat pengobatan tradisional dan keagamaan atau yang dijalankan oleh lembaga nonpemerintah. Tak ada seorang penyandang disabilitas psikososial dari yang diwawancarai mengatakan ke sana secara sukarela.

Padahal, Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak-hal Penyandang Disabilitas (CRPD) pada 2011, salah satu poinnya Indonesia setuju menjamin hak setara bagi semua penyandang disabilitas termasuk menikmati atas kebebasan dan keamanan, dan bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk.

"Yang biasa datang ke rumah sakit, ke psikiater memang yang sudah parah. Perlu obat," kata Jiemi. Hal ini menurutnya harusnya juga bisa diatasi jika sosialisasi tentang kesehatan mental beres.

Sayangnya, isu ini memang cuma populer di media sosial dan lebih cepat related untuk umur tertentu. "Tiga tahun belakangan kita lihat emang ada tren awarness yang meningkat. Kemungkinan karena literasi, tapi saya cuma bisa bikin asumsi, karena belum ada penelitiannya yang bisa menjelaskan," tambahnya.

Jumlah psikiater yang kurang bukan cuma berpengaruh terhadap kondisi orang dengan kesehatan mental. Angka penelitian di ranah ini juga mampet.

Idealnya, tambah Jiemi, jumlah tenaga pemberi layanan kesehatan mental cukup: ada dokter yang fokus melayani pasien dan ada dokter-peneliti yang fokus bikin riset.

“Yang harus melayani pasien pasti punya waktu lebih sedikit untuk bisa bikin penelitian,” kata Jiemi.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN MENTAL atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam
-->