Menuju konten utama

Dear David dan Kenapa Berfantasi Dilarang?

Dear David dirilis menjelang momen Valentine 2023 dan menduduki posisi puncak di daftar film Netflix.

Dear David dan Kenapa Berfantasi Dilarang?
Dear David. youtube/netflix

tirto.id - “Tuhan Maha Pengampun

Bukan sama Tuhannya, Ma...”

Begitulah protes Laras (Shenina Cinnamon) kepada ibunya sebelum mengikuti ibadah perdana pasca cerita-cerita dewasa yang ia tulis tersebar ke seantero SMA Cahaya. Laras jauh lebih takut kepada manusia-manusia brutal dibanding menghadap Sang Penguasa Semesta.

Secuplik adegan di atas terangkum dalam karya teranyar Lucky Kuswandi berjudul Dear David. Berkisah tentang seorang siswi berprestasi cum Ketua OSIS yang mengisi waktu luang dengan menyalurkan gairah seksualnya ke dalam tulisan-tulisan vulgar.

Objek dalam tulisan-tulisan itu adalah David (Emir Mahira), teman sekelas dan kolega sepelayanan di komunitas pemuda gereja mereka. David menggeluti sepak bola dan sedang berupaya mendekati sahabat Laras bernama Dilla (Caitlin North Lewis).

Suatu hari, konten pribadi milik Laras tersebut tersebar akibat keteledorannya. Publik terkesiap, pihak manajemen sekolah tergagap. Alhasil Laras harus berpacu dengan waktu guna menaklukkan dilema personalnya: mengaku jujur atau konsisten berbohong.

Dirilis menjelang momen Valentine 2023 di kanal daring Netflix, Dear David merupakan salah satu film Indonesia terpenting tahun ini. Ia memotret represi kultural sistemik atas syahwat remaja, serta kemunafikan kolektif terhadap ekspresi libido secara terbuka.

Budaya sosial masyarakat kita meyakini berfantasi seksual adalah perbuatan pantang, terlebih bila dilakukan oleh perempuan. Lucunya, tatkala kepergok, pihak yang secara sepihak menyebarluaskan aset privat semacam itu selalu lolos dari lubang jarum.

Menghakimi Fantasi

Manusia adalah makhluk seksual. Tumbuh kembang gairah biasanya seturut dengan tumbuh kembang fisik, terlebih lagi tumbuh kembang pola pemikiran. Sayangnya ketiga aspek tersebut tidak selalu berjalan selaras.

Di mata guru dan teman-temannya, Laras adalah anak pintar yang hidup lurus. Namun tampaknya semua orang sengaja lupa atau pura-pura tidak tahu atau bahkan secara sadar menyangkal bahwa kepribadian Laras sedang bertransformasi dari state of teenager menuju fully functioning adult woman. Aspek seksualitas mengambil porsi krusial dalam tahapan ini.

Seluruh teman-teman Laras di SMA Cahaya, termasuk David dan Dilla, tak pelak mengalami kondisi serupa meskipun cara mereka mengekspresikannya berbeda-beda. Sebagian besar pasti bingung hendak berbagi dengan siapa sehingga memendam sendirian.

Laras mengambil jalan yang dianggapnya paling aman: menulis kumpulan fantasinya dalam blog daring anonim. Kegelisahannya persis seperti teman-temannya. Cemas akan penghakiman, disalahkan, target olok-olok, sampai terkucilkan dari lingkaran pergaulan.

Kegalauan itu pula yang memancing para anak muda ini serempak ‘melucuti’ David begitu cerita-cerita eksplisit tentangnya beredar luas. Perundungan yang mereka lakukan jadi bentuk pelarian logis dari ketidakmampuan mereka mengekspresikan seksualitas diri.

Yang menarik, tak hanya murid SMA Cahaya yang berperilaku demikian. Gestur Bu Indah (Jenny Zhang) selaku kepala sekolah saat menginterogasi David mengimplikasikan bahwa beliau juga ikut berfantasi.

Seandainya mereka mengesampingkan dorongan hawa nafsu dan fokus mendedah gaya penulisan Laras yang rinci, progresi imajinasinya, sampai pengembangan karakter dan latar lingkungan yang menyertai kehidupannya, mereka akan mendapati kreativitas yang luar biasa.

Infografik Misbar Dear David

Infografik Misbar Dear David. tirto.id/Fuad

Lucky Kuswandi bersama tim desain produksi Dear David bahkan memvisualisasikan setiap jengkal imajinasi Laras dengan amat ciamik tanpa mendegradasi buah tangan karakter protagonisnya itu. Sebuah penghormatan berkelas bagi seorang penulis muda berbakat!

Faktanya, prasangka khalayak seringkali lupa diri. Asumsi-asumsi sepihak, getol menghakimi karya inovatif hanya karena publik belum memahami esensi karya dimaksud. Atau lebih parah, karya tersebut telanjur dicap melawan tradisi konservatif.

Hal itu pula yang melanda keseharian Dilla. Sedari awal ia menerima cibiran akibat unggahan-unggahannya di media sosial yang dinilai terlalu mengumbar aurat. Tak heran ia menjadi tersangka utama penulis kisah-kisah Laras, padahal ia masih gamang bergumul dengan kesadaran seksualitasnya yang berpotensi membawa dampak yang jauh lebih kontroversial.

Di sini Dear David melempar sepasang pertanyaan menohok. Pertama, bagaimana caranya menghakimi imajinasi seksual seseorang? Bila kemampuan berfantasi merupakan talenta alamiah, maka fantasi Laras telah dipaksa berpindah ruang lingkup tanpa konsensus.

Kedua, siapa bilang dimensi sebentuk fantasi atau imajinasi harus bersifat hetero? Banyak kemungkinan-kemungkinan segar terkait sifat konstruktif fantasi seksual yang menjelajahi kawasan lintas gender, usia, bahkan kelas sosial hadir dalam film ini.

Harga Mati

Masyarakat yang terlalu taat pada agama tapi gagal berpikir jernih dan rasional akan melihat segala sesuatu yang berkorelasi dengan seks sebagai manifestasi dosa. Sialnya, perspektif itu terduplikasi dalam lingkungan pendidikan yang seharusnya senantiasa berupaya menyeimbangkan sifat materiil (nalar logika) dengan sifat metafisik (keyakinan batin).

Institusi sekolah dalam Dear David menjadi cerminan yang tepat atas situasi umum lembaga pendidikan yang timpang di republik ini, dimana mayoritas sekolah gagal menyediakan ruang aman bagi proses edukasi seksual secara holistik, akuntabel, dan egaliter.

Epistemologi yang sempit semacam itu justru membuat segenap generasi muda yang dididik di sana semakin terpenjara, padahal hakekat utama pendidikan adalah memanusiakan manusia secara bertanggung jawab.

Seksualitas bersifat universal. Akses pengetahuan mengenai seksualitas harus terbuka bagi semua kalangan tanpa memandang perbedaan umur. Dengan demikian, pendidikan seksual sejak dini adalah harga mati.

Bila lembaga pendidikan yang mempunyai otoritas menyelenggarakan edukasi seksual terus-terusan menyangkalnya, sudah barang tentu akan lahir ribuan Laras di seluruh pelosok negeri yang mungkin menerima sanksi sosial yang jauh lebih menyedihkan.

Intervensi Privasi

Saya menggarisbawahi metode mitigasi yang diambil SMA Cahaya terhadap dampak yang timbul dari produk kreativitas Laras. Dalam hal ini, sekolah terang-terangan bertindak super pragmatis sehingga melupakan perwujudan nilai edukatif yang lebih penting.

Langkah mitigasi pertama yang diambil pihak sekolah adalah menyita gawai masing-masing murid. Pelanggaran privasi sedemikian rupa nyatanya tidak banyak membantu selain menuai protes keras dari para siswa.

Tindakan selanjutnya berupa inspeksi seragam. Saya tidak melihat keputusan itu berkorelasi dengan penanganan kasus Laras. Terkesan sekolah hendak menunjukkan ketegasan namun caranya menyimpang sehingga menghasilkan sikap penundukan yang tak perlu.

Aksi terakhir merupakan poin mitigasi yang paling problematis. Tatkala menyaksikan sekuens dimaksud, mau tak mau memori saya berkelana kembali kepada kasus penyebaran video intim musisi dan selebriti di Indonesia yang sempat ramai satu dekade silam.

Alih-alih membebankan tanggung jawab kepada pelaku pendistribusian konten pribadi secara ilegal, pembuat konten justru menjadi pesakitan tunggal. Pola yang sama kemudian berulang lewat kelakuan Arya (Michael James) yang menyalahgunakan tulisan-tulisan personal milik Laras.

Berfantasi seksual di ruang privat bukan dosa. Yang jelas-jelas dosa adalah ketika kanal privasi diintervensi tanpa izin lantas segenap isinya dibocorkan begitu saja ke ruang publik. Kasus tersebut menjadi preseden berharga dalam konteks ini.

Perempuan berfantasi seksual? Lumrah, kok. Ia memiliki kebebasan berfantasi mengenai lawan jenis, sesama jenis, atau yang tidak berjenis apa-apa. Penyaluran semacam itu lebih berdaya guna daripada melakukan tindakan seksual agresif yang merugikan orang lain.

Berfantasi seksual juga sangat manusiawi. Babak penutup Dear David telah melakukan hal yang benar: mengakui dorongan alamiah dalam diri tiap-tiap manusia lalu mempelajari cara mengelola fantasi yang timbul secara tepat guna.

Oleh karena itu, berfantasi seksual sejatinya adalah hak setiap orang. Selama berada dalam ranah privat, hal ini bukanlah objektifikasi.

Baca juga artikel terkait MISBAR TIRTO atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Film
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi