Menuju konten utama

Daya Saing Indonesia: Terbata-bata & Kian Ditinggal Negara Tetangga

Di tengah persaingan global yang semakin ketat, daya saing Indonesia malah melempem. Peringkat daya saing global Indonesia pun menurun.

Ilustrasi ekonomi Global. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Di tengah persaingan global yang semakin ketat, Indonesia justru mendapat kabar kurang menggembirakan. Peringkat daya saing Indonesia 2019 menurun lima level dari posisi 45 pada tahun lalu, ke peringkat 50. Hal itu berdasarkan data World Economic Forum (WEF).

Jorjoran pemerintah membangun infrastruktur hingga menerbitkan paket kebijakan berjilid-jilid dalam lima tahun terakhir, terasa sia-sia. Posisi daya saing Indonesia di Asia Tenggara tak berubah, masih di belakang Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Pada 2014, Indonesia secara global berada pada peringkat ke-38. Saat itu posisi Indonesia di belakang Singapura dan Malaysia, masing-masing peringkat ke-2 dan peringkat ke-24. Adapun Thailand berada pada peringkat ke-37.

Selang lima tahun, posisi Indonesia di Asia Tenggara tidak berubah. Indonesia masih pada peringkat ke-4. Namun, secara global, daya saing Indonesia semakin tertinggal dibandingkan Singapura, Malaysia dan Thailand.

Menurut laporan WEF bertajuk Global Competitiveness Index (GCI), daya saing Singapura secara global pada 2019 menempati peringkat ke-1. Sementara Malaysia peringkat ke27 dan Thailand ke-40.

Skor Daya Saing Membaik Tapi Kalah Cepat

Lantas, mengapa daya saing Indonesia makin tertinggal ?

Sebenarnya, skor daya saing (competitive index) Indonesia terus meningkat. Ke-16 paket kebijakan ekonomi sampai saat ini, termasuk menggencarkan pembangunan infrastruktur, berdampak terhadap perbaikan daya saing Indonesia.

Hanya saja, kenaikan skor daya saing Indonesia tidaklah seberapa. Terlebih kalah cepat dengan negara-negara lain. Pada 2014, skor daya saing Indonesia tercatat 4,53 dan naik tipis ke 4,53 pada 2015. Namun, pada 2016, skor itu turun tipis ke 4,52.

Pada 2017, perhitungan skor daya saing berubah. Skor daya saing Indonesia kala itu 63,49 dan meningkat menjadi 64,94 pada 2018. Namun, skor Indonesia melempem ke level 64,6 pada 2019. Dalam tiga tahun terakhir, skor Indonesia hanya naik 1,11 poin.

Di lain pihak, skor Malaysia dan Thailand justru tumbuh lebih tinggi. Skor Malaysia mencapai 74,6 persen pada 2019 atau naik 1,36 poin dari 73,24 pada 2017. Sementara Thailand naik 1,86 poin menjadi 68,11 pada 2019.

Posisi Indonesia terancam manakala Vietnam dan Filipina gencar menaikkan daya saingnya. Dalam tiga tahun terakhir, skor daya saing Vietnam naik 3,0 poin ke 61,54 dan skor Filipina naik 2,07 menjadi 61,87.

Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri menilai Indonesia memang kurang cepat memperbaiki indikator daya saing ketimbang negara-negara tetangga. Parahnya, daya saing Indonesia malah melempem pada 2019.

“Penurunan peringkat Indonesia bukan hanya karena negara-negara lain mengalami kenaikan skor, melainkan juga karena skor daya saing Indonesia memburuk,” kata Faisal, mengutip blog pribadinya.

Dari 12 pilar indikator yang diukur WEF, Faisal mencatat Indonesia cukup unggul pada bidang kestabilan makro ekonomi (macroeonomics stability) dengan skor 90. Sayangnya, skor tinggi itu belum cukup mengerek daya saing Indonesia lantaran skor pada beberapa pilar lain buruk.

Skor terburuk Indonesia pada pilar kemampuan inovasi (innovation capability) dengan nilai 37,7 dari skor tertinggi 100. Lalu diikuti pilar-pilar lain seperti pasar tenaga kerja, ICT adoption, sampai institusi.

Menurut Faisal, pilar-pilar dengan skor rendah itu harus segera diperbaiki jika Indonesia tak ingin tertinggal dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand, atau malah tersusul negara-negara tetangga lain seperti Vietnam.

“Perbaikan Indonesia perlu segera diakselerasi agar tidak disusul Vietnam yang belakangan menunjukkan perbaikan pesat di berbagai bidang,” sebut Faisal.

Persoalan Tidak Hanya Infrastruktur

Pendapat yang sama diutarakan Direktur Riset dari Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah. Dia menilai menaikkan daya saing Indonesia memang tidak bisa dari sisi infrastruktur saja.

“[Genjot] infrastruktur itu benar. Setelah pembangunan, ada perbaikan dan membaik. Tapi, sayangnya, lima pilar lain menurun. Seharusnya ini [juga] menjadi perhatian,” kata Piter, Jumat (11/10/2019).

Lima pilar yang dimaksud Piter antara lain ICT adoption, kesehatan, keahlian, pasar produk (product market), dan pasar tenaga kerja (labour market).

Piter memiliki catatan khusus terkait pasar produk. Menurutnya, iklim persaingan domestik di Indonesia saat ini belum cukup kondusif lantaran kebijakan pajak dan subsidi pemerintah saat ini dinilai masih meresahkan pelaku usaha.

Untuk pasar tenaga kerja, lanjut Piter, Indonesia dianggap masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya terkait kemudahan merekrut dan memutus hubungan tenaga kerja di Indonesia.

Adapun terkait kesehatan dan keahlian, Piter menilai pemerintah sebenarnya sudah memiliki program yang baik dalam memperbaiki kedua pilar tersebut. Hanya saja, realisasi di lapangan kerap tidak sesuai harapan.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui Indonesia kurang cepat memperbaiki diri. Karena itu wajar jika Indonesia disalip hingga terpaksa harus turun 5 peringkat.

"Penyebabnya memang [negara] yang lain perbaikannya lebih cepat. Kami juga menyiapkan perubahan yang besar dan akan diumumkan pada awal pemerintahan baru. Kita tuntaskan dulu periode pertama," ucap Darmin.

Indonesia, sambung Darmin, seharusnya meniru langkah Singapura dalam menaikkan daya saing. Menurut Darmin, Singapura berhasil menempati peringkat pertama lantaran mampu meniru cara-cara yang dilakukan negara-negara Eropa dan AS.

Karena itu, lanjut Darmin, pemerintah akan perombakan besar pada periode pemerintahan berikutnya. Tidak hanya aspek ekonomi seperti infrastruktur, tapi juga dari sisi kelembagaan dan sebagainya.

Baca juga artikel terkait PERSAINGAN GLOBAL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang