Menuju konten utama
RUU Perlindungan Data Pribadi

Data Pribadi Nilainya Melebihi Minyak Bumi, Penting Dilindungi

Penyalahgunaan data pribadi di Indonesia marak, sementara aturan yang ada masih parsial. RUU Perlindungan Data diharapkan cepat disahkan.

Data Pribadi Nilainya Melebihi Minyak Bumi, Penting Dilindungi
Ilustrasi Internet. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Perlindungan data pribadi semakin mendesak di era pesatnya perkembangan teknologi digital. Data pribadi disebut-sebut sebagai jenis kekayaan baru yang nilainya melebihi minyak bumi, kata Anggota Komisi I DPR RI Abdul Kadir Karding.

"Data adalah jenis kekayaan baru dan nilainya melebihi minyak. Sehingga kita harus tanggap menghadapai perang cyber dan menjaga kedaulatan data kita," kata Karding dalam webinar 'Pentingnya Perlindungan Data Pribadi di Kala Pandemi' yang digelar Tirto.id dan BNPB, Rabu (23/12/2020).

Di era digital, kata dia, data menjadi primadona yang bisa digunakan untuk apa saja. Dan bagi negara, data berkaitan dengan keamanan negara dan ekonomi nasional.

Oleh sebab itu Karding bilang undang-undang perlindungan data menjadi syarat mutlak perdagangan antarbangsa. Sehingga mau tidak mau Indonesia harus memiliki UU perlindungan data pribadi.

Sejumlah negara di Asean, kata Karding, mayoritas telah memiliki UU perlindungan data pribadi ini. Sementara di Indonesia mengenai perlindungan data pribadi masih diatur secara parsial.

Oleh karena itu nantinya, kata Karding, akan ada UU tersendiri mengenai perlindungan data pribadi. Rancangan UU tersebut saat ini sedang dibahas dan masuk tahap pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM).

RUU tentang perlingdungan data pribadi ini menurut Abdul Aziz, redaktur Tirto.id dalam kesempatan yang sama penting untuk segera disahkan. UU ini mendesak sebab data pribadi masyarakat rentan disalahgunakan. Terlebih sejak ada ketentuan setiap pengguna sim card seluler harus mendaftarkan nomor kartu keluarga dan nomor induk kependudukan.

Menurut Aziz, hal itu sangat rentan lantaran UU data pribadi belum disahkan meski sudah masuk prolegnas sejak 2016. Sementara penyalahgunaan data pribadi terus marak, baik yang dilakukan oleh individu maupun yang melibatkan institusi.

"Sejak awal 2020 hingga saat ini saja setidaknya sudah ada lima kasus besar penyalahgunaan data pribadi ini yang melibatkan institusi," kata Aziz.

Aziz menambahkan, jika penyalahgunaan data dilakukan oleh pribadi, maka mereka yang dirugikan bisa menuntut. Ia mencontohkan soal data kependudukan yang telah diatur UU Administrasi Kependudukan.

Berdasarkan UU tersebut, yang berhak menggunakan data pribadi tersebut hanya Kemendagri dan kepolisian. Artinya, kata dia, individu yang menyebarkan data pribadi orang lain bisa dituntut secara pidana. Namun praktik di lapangan seringkali tak sesuai harapan.

Bagaimana dengan data konsumen? Aziz bilang hal ini diatur dalam Permenkominfo 20/2016. Namun masalahnya, data pribadi yang dikelola Penyelenggara Sistem Transaksi Elektronik (PSTE) ini mentok-mentok hanya bisa menuntut penghentian kegiatan PSTE tersebut.

Dengan demikian misalnya jika sebuah penyedia layanan belanja online menyalahgunakan data pribadi konsumen dan mereka berdalih sudah memiliki sistem keamanan, maka konsumen tidak bisa berbuat apa-apa. Konsumen tidak bisa menuntut atas kerugian data yang disalahgunakan.

"Harapanya kemudian di RUU tentang Perlindungan Data Pribadi yang sedang dibahas Komisi I DPR RI itu mengakomodir itu semua," kata Aziz.

Sebab tidak adanya aturan yang jelas mengenai perlindungan data pribadi membuat konsumen layanan belanja online menjadi cemas. Padahal saat ini layanan belanja online sudah menjadi bagian dari tak terpisahkan dari kegiatan ekonomi.

Baca juga artikel terkait RUU PERLINDUNGAN DATA PRIBADI atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri