Menuju konten utama
Periksa Data

Data Pahit di Belakang Minuman Manis

Menimbang dampak kesehatan yang ditimbulkan, minuman manis yang beredar di pasaran perlu mencantumkan kandungan gula di dalamnya.

Data Pahit di Belakang Minuman Manis
Header Periksa Data Minuman Manis. tirto.id/Quita

tirto.id - Baru-baru ini, cuitan seorang pengguna Twitter dengan akun @gandhoyy yang mengeluhkan soal salah satu produk buatan Esteh Indonesia, yang ia nilai terlalu manis, menjadi viral di media sosial. Meski pemilik akun tersebut kemudian mengunggah surat permintaan maaf kepada Esteh Indonesia setelah perusahaan tersebut melakukan somasi, cuitan tersebut memantik diskusi mengenai tingginya kadar gula di minuman-minuman yang kini beredar di tengah masyarakat.

Minuman berpemanis memang sudah menjadi bagian dari gaya hidup di Indonesia. Beberapa jenis minuman manis, seperti kopi dalgona dan teh boba, sangat populer di tengah kalangan anak muda.

Minuman berpemanis atau sugar-sweetened beverages (SSB) dikategorikan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat sebagai jenis minuman yang diberi pemanis dalam berbagai bentuk tambahan gula, mulai dari gula merah, gula berbasis jagung, fruktosa, sukrosa, gula pasir, madu, laktosa, maltosa, dan sebagainya. Contoh dari SSB misalnya soda, minuman buah, minuman energi, minuman olahraga, atau juga minuman teh dan kopi yang ditambah dengan gula.

CDC memperingatkan bahwa meminum SSB dalam frekuensi tinggi berhubungan dengan peningkatan berat badan, obesitas, diabetes tipe 2, penyakit jantung dan ginjal, penyakit hati, kerusakan gigi, dan artritis.

Namun, seperti apakah tingkat konsumsi minuman berpemanis masyarakat Indonesia? Sejauh apa hal ini mempengaruhi kesehatan masyarakat?

Tertinggi Ketiga di Asia Tenggara

Menurut data yang dihimpun oleh Fabrizio Ferretti dan Michele Mariani dalam penelitian mereka soal minuman berpemanis yang dipublikasikan di jurnal Globalization and Health pada April 2019, Indonesia menempati posisi ketiga untuk tingkat konsumsi minuman berpemanis per orang selama setahun di kawasan Asia Tenggara menurut region WHO pada tahun 2015.

Menurut data tersebut, rata-rata orang Indonesia meminum 20,23 liter minuman berpemanis setiap tahunnya pada 2015. Indonesia hanya kalah dari Thailand yang penduduknya rata-rata minum 59,81 liter minuman berpemanis setiap tahunnya menurut penelitian pada tahun tersebut.

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri menunjukkan bahwa secara umum, konsumsi minuman jadi, terutama yang berpemanis, ada kecenderungan turun tipis dari 2018 ke 2021. Untuk minuman jadi, seperti kopi susu dan susu cokelat, jumlah konsumsi rata-rata orang per minggu pada 2021 adalah 0.77 gelas, turun tipis dari 0.88 gelas pada 2018.

Adapun untuk sari buah kemasan, minuman kesehatan, dan sejenisnya, jumlah rata-rata konsumsi per orang seminggu secara nasional turun tipis pula dari 0.18 kotak 200 ml pada 2018 menjadi 0.16 kotak 200 ml per 2021.

Untuk air teh kemasan, rata-rata konsumsi nasional per orang per minggu, juga turun ke 0.17 kotak 250 ml per minggu pada 2021 dari 0.23 kotak per minggu pada 2018.

Tingginya Gula di Minuman Kemasan

Sebanyak apa gula pada minuman-minuman kemasan ini dibanding rekomendasi dari badan-badan kesehatan?

Walaupun minuman dari gerai kebanyakan belum mencatat jumlah gula di dalamnya, namun minuman kemasan yang mudah ditemukan di berbagai tempat penjualan mencatatkan kadar gula di dalamnya.

Yang perlu diingat, pada tahun 2015, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuat panduan yang menyatakan bahwa orang dewasa dan anak-anak direkomendasikan untuk mengurangi konsumsi harian dari gula bebas menjadi hanya 10 persen dari total energi yang masuk ke tubuh. Lebih jauh lagi, pengurangan konsumsi gula bebas menjadi di bawah 5 persen dari total energi masuk, atau sekitar 25 gram (sekitar 6 sendok teh) per hari, disebut akan membawa manfaat-manfaat kesehatan.

Perlu diketahui pula bahwa gula bebas yang dimaksud ini adalah monosakarida seperti glukosa dan fruktosa dan disakarida seperti sukrosa atau gula pasir yang ditambahkan ke makanan dan minuman serta gula yang secara natural ada pada madu, sirup, jus buah dan konsentrat jus buah. Jadi, tak termasuk gula pada buah dan sayuran.

Lebih jauh lagi, sebuah artikel Alodokter yang dipublikasikan pada Oktober 2020 dan telah ditinjau dokter juga menyebut bahwa orang dewasa sebaiknya tak mengonsumsi lebih dari 7 sendok teh gula per hari (30 gram), sementara anak-anak 7-10 tahun perlu membatasi konsumsi gula pada 24 gram atau 6 sendok teh per hari dan anak-anak 2-6 tahun 19 gram atau 4 sendok teh per hari.

Lantas, bagaimana isi gula pada minuman kemasan?

Salah satu minuman teh kemasan yang dijual bebas di berbagai gerai disebut memiliki 25 gram gula dalam satu takaran sajiannya, yakni 350 ml. Artinya itu sudah mencakup seluruh kebutuhan konsumsi gula sehari. Teh kemasan lainnya juga mengandung 22 gram gula dalam satu takaran sajiannya yaitu 250 ml.

Satu botol Coca Cola ukuran 250 ml bahkan mengandung 27 gram gula.

Jadi, bahkan konsumsi satu minuman berpemanis ini saja sudah hampir melewati rekomendasi konsumsi gula harian dari badan kesehatan.

Celakanya, berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, pola konsumsi minuman manis orang di Indonesia yang cukup tinggi. 61,3 persen responden mengaku mengonsumsi minuman manis lebih dari 1 kali per hari. Ada 30,2 persen responden juga yang mengonsumsi minuman manis sebanyak 1-6 kali per minggu.

Hanya 8,5 persen yang mengaku mengkonsumsi minuman manis kurang dari 3 kali per bulan.

Risiko Diabetes

Bahaya dari konsumsi gula dalam jumlah besar bisa berujung ke penyakit diabetes.

Bahaya penyakit diabetes, secara khusus di Indonesia, juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Berdasarkan data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), diabetes masuk dalam 10 besar penyebab kematian di Indonesia.

Diabetes hanya kalah dari stroke dan penyakit jantung iskemik sebagai penyebab kematian paling besar di tanah air. Fakta yang lebih menyeramkan, kenaikannya dalam 10 tahun -- antara 2009-2019, mencapai 49,9 persen. Paling besar dibanding sebab kematian lain.

Berbanding lurus, IHME juga mencatat faktor risiko yang paling banyak menyebabkan kematian dan kecacatan. Hasilnya kadar gula darah tinggi dan indeks massa tubuh tinggi (obesitas) menempati peringkat empat dan lima. Kembali kenaikan keduanya pada periode 2009-2019 menjadi yang tertinggi di antara 10 besar faktor risiko, 50 persen (gula darah tinggi) dan 66,1 persen (obesitas).

Sementara data Kemenkes pada Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi diabetes melitus sebesar 2 persen, naik dari 2013, 1,5 persen.

Sementara prevalensi diabetes menurut hasil pemeriksaan gula darah mencapai 8,5 persen. Angkanya juga meningkat dibanding tahun 2013 yang sebesar 6,9 persen. Masih menurut data Kemenkes, baru sekitar 25 persen penderita diabetes yang mengetahui dirinya menderita penyakit tersebut.

Selain itu Kemenkes juga mencatat obesitas sebagai salah satu faktor risiko. Data Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi obesitas selaras dengan kenaikan penyakit gula darah di Indonesia. Tahun 2018, prevalensi obesitas mencapai 21,8 persen, naik dibanding 2013, 14,8 persen.

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, jumlah kasus diabetes di Indonesia juga terbilang banyak. Data International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan Indonesia berada di peringkat kelima paling banyak, dengan 19,47 juta pengidap diabetes pada tahun 2021.

Jumlah ini setara dengan 2,5 persen jumlah pengidap diabetes di dunia yang berjumlah 537 juta orang dewasa (usia antara 20-79 tahun). Catatan IDF, 1 dari 10 orang di dunia hidup dengan diabetes.

IDF juga menyebut sekitar 44 persen atau 240 juta orang pengidap diabetes yang tidak terdiagnosis. Dampak secara ekonomi, diabetes menghabiskan 966 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pengeluaran kesehatan global. Peningkatannya sebesar lebih dari 4 kali lipat dalam 15 tahun terakhir.

Selain itu diabetes juga disebut menyebabkan 6,7 juta kematian pada 2021, 1 kematian setiap 5 detik. Di Indonesia jumlah kematian akibat diabetes mencapai 236 ribu jiwa. Hal ini menempatkan Indonesia di peringkat keenam, di bawah Cina, Amerika Serikat, India, Pakistan, dan Jepang.

Melihat trennya memang jumlah kasus diabetes selaras dengan banyaknya jumlah penduduk di satu negara. Namun, hal ini tidak bisa menjadi alasan untuk tidak setidaknya melakukan pencegahan maupun penanggulangan.

Antara Pengaturan Konsumsi dan Cukai

Kemenkes sebenarnya juga tidak pernah bosan memberikan imbauan dan anjuran bagi masyarakat agar terhindar dari diabetes. Berbagai informasi soal bahaya konsumsi gula dalam jumlah besar kerap mereka bagikan.

Dalam Infodatin Diabetes Militus 2020, Kemenkes merekomendasikan pengaturan pola makanan untuk mengatur berat badan ideal dan gula darah yang terkontrol. Selain itu disarankan juga aktivitas fisik yang dilakukan minimal 30 menit/hari atau 150 menit/minggu dengan intensitas sedang, artinya dengan denyut jantung maksimum 50-70 persen.

Sementara dari sisi regulasi, pemerintah sebenarnya sudah punya rencana penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang telah diinisiasi sejak tahun 2016.

Pada Februari 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sempat kembali membawa bahasan ini.

“Kami usulkan minuman yang siap dikonsumsi. Termasuk konsentrat yang dikemas dalam bentuk penjualan eceran dan konsumsinya masih perlu pengenceran,” ucap Sri Mulyani dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XI di DPR RI, Rabu (19/2/2020), dikutip Tirto.

Tarif yang diusulkan akan berdasar banyaknya kandungan gula dan pemanis buatan yang ada dalam satu produk. Semakin tinggi kandungan gula, cukainya akan semakin mahal.

Penjabarannya, akan ada tiga kelompok tarif. Kelompok pertama mencakup teh kemasan akan dikenakan tarif Rp 1.500/liter. Kelompok kedua, minuman berkarbonasi akan dikenakan tarif Rp 2.500/liter. Kelompok terakhir, mencakup minuman saset seperti energy drink dan kopi kemasan, tarifnya juga Rp 2.500/liter.

Sementara dalam laporan World Bank (Bank Dunia) terkait cukai minuman manis ini, bertajuk "Taxes on Sugar-Sweetened Beverages: International Evidence and Experiences", disebut pula skenario perhitungan dampak positif cukai terhadap kesehatan dan ekonomi Indonesia.

Menurut perhitungan Bourke dan Veerman pada 2018, jika Indonesia menerapkan cukai sebesar 30 sen dolar AS per liter pada setiap minuman berpemanis, maka kasus obesitas dan kelebihan berat badan bisa berkurang sebanyak sekitar 832 ribu orang. Selain itu, kebijakan ini diperkirakan bisa mencegah hampir 1,5 juta kasus diabetes dalam kurun waktu 25 tahun.

Di sisi ekonomi, Bourke dan Verman juga menghitung potensi pemasukan 920 juta dolar AS setidaknya bisa dikantongi pada tahun pertama, ditambah 27 miliar dolar AS dalam periode 25 tahun.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Farida Susanty & Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Farida Susanty & Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty