Menuju konten utama

Data Korban Nduga dari Veronica dan BEM UI Itu Penting, Pak Mahfud

Alih-alih sebut data tidak jelas, sebaiknya Mahfud memverifikasi nama-nama yang tertera dalam dokumen yang diserahkan Veronica dan BEM UI.

Data Korban Nduga dari Veronica dan BEM UI Itu Penting, Pak Mahfud
Puluhan massa dari #SaveNduga menggelar aksi lilin "Biarkan Dorang Natal dengan Damai" di Taman Aspirasi, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (26/12/18). tirto.id/Bhagavad Sambadha

tirto.id - Ada dua pejabat Indonesia yang mendapatkan langsung data korban peristiwa Nduga, Papua. Pertama Presiden Joko Widodo, dan kedua Menkopolhukam Mahfud MD.

Krisis kemanusiaan di Nduga berawal dari kekerasan bersenjata oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) pada Desember 2018. Pemerintah lantas merespons dengan menggelar operasi militer tanpa batas waktu. Ribuan warga sipil terpaksa mengungsi.

Data yang dihimpun oleh Tim Kemanusiaan mencatat sedikitnya 241 warga meninggal baik karena terbunuh oleh aparat maupun karena sakit dan kelaparan dalam pengungsian per 27 Desember 2019. Sementara yang mengungsi tak kurang dari 37 ribu.

Jokowi memperoleh dokumen yang menyebut nama-nama korban saat berkunjung ke Australia, Senin (10/2020) lalu. Dalam dokumen tersebut juga tertera nama-nama tahanan politik Papua yang dipenjara di beberapa kota. Pihak yang menyerahkan dokumen itu adalah tim dari seorang pegiat HAM yang banyak membahas isu Papua, Veronica Koman.

Sementara Mahfud MD mendapat dokumen yang sama dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Senin (17/2/2020) lalu, saat berkunjung ke kampus tersebut.

Kepada reporter Tirto, Ketua BEM UI Fajar Adi mengatakan mereka menyerahkan ulang dokumen tersebut "karena buruknya respons Mahfud." Ia mengatakan pernyataan Mahfud menyakiti hati orang Papua sekaligus menunjukkan abainya pemerintah.

Saat merespons aksi kelompok Veronica, Mahfud bicara soal "sampah." Awalnya media massa menafsirkan bahwa yang dianggap sampah itu adalah dokumen yang diserahkan, tapi Mahfud lantas mengklarifikasi kalau yang ia maksud adalah klaim Veronica yang menyerahkan dokumen itu ke Jokowi.

"Veronica waktu itu tidak bertemu Presiden," katanya di Kemenkopolhukam, Jakarta, Kamis (13/2/2020).

Veronica sedari awal tidak menyebut kalau dia sendirilah yang menyerahkan dokumen itu, tapi "tim."

Pernyataan Mahfud setelah mendapat dokumen dari para mahasiswa tetap saja tidak seperti yang diharapkan. "Itu enggak ada apa-apanya. Dokumennya hanya ini lho. Coba di-close up, cuma kayak gini," katanya. "Ini daftar nama orang tidak jelas, pasti polisi sudah punya kalau yang kayak gini."

Pentingnya Data

Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem berpendapat pernyataan Mahfud sangat tidak etis. "Kalau dibilang sampah, [artinya] seluruh korban di Papua dianggap sampah. Nduga mengalami krisis kemanusiaan yang luar biasa," kata Theo kepada reproter Tirto, Senin (17/2/2020).

Theo mengatakan data yang disampaikan Veronica benar--243 korban meninggal berdasarkan data terbaru per 2 Februari 2020. Ia mengatakan ada tiga jenis korban: yang berada di hutan, di pengungsian, dan diserang langsung. Dingin dan kelaparan jadi musabab anak dan lansia meregang nyawa. Sementara yang tewas karena penyerangan itu orang dewasa.

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan dokumen itu penting. Maka alih-alih langsung bicara ngawur, Mahfud sebaiknya berjanji melakukan verifikasi.

"Verifikasi dilakukan oleh aparat keamanan dan juga aparat sipil negara. Kalau diperlukan bisa mengajak organisasi masyarakat sipil sehingga proses verifikasi terbuka dan transparan," ujar Beka kepada reporter Tirto.

Meski demikian, Beka juga sadar daftar nama saja tidak cukup. "Harus didetailkan informasi dan kronologisnya, sehingga memudahkan aparat keamanan untuk memverifikasi dan menindaklanjutinya. Komnas HAM juga akan meminta keterangan dari aparat keamanan tentang hal ini kalau kami memperoleh data dan informasi yang disampaikan oleh Veronica," jelas Beka.

Hal serupa dikatakan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, bahwa pemerintah sebaiknya menginvestigasi situasi di Nduga. "Terlalu penting data itu untuk diabaikan, apalagi dianggap sampah," tegas Usman ketika dihubungi reporter Tirto.

Hal ini semakin penting karena menurutnya, dokumen yang diserahkan ke Jokowi dan Mahfud itu hanya satu dari sekian banyak laporan soal jumlah kematian. Amnesty saja tahun lalu mencatat 182 kematian "yang sudah diverifikasi," kata Usman. "Banyak yang mati karena akses air, makanan, cuaca. Tentu ada juga akibat langsung dari operasi militer."

Mahfud sendiri mengaku "akan pelajari" dokumen yang diberikan BEM UI.

Terkait tudingan pembunuhan, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Argo Yuwono mengatakan polisi yang ada di sana justru membantu masyarakat. "Tanyakan ke Veronica, apakah [dia] ada di lokasi saat kejadian? Yang ada polisi membantu warga," kata Argo ketika dihubungi reporter Tirto.

Veronica membenarkan kalau dia memang tidak ada di lokasi. Namun menurutnya, jika polisi memang membantu, pemerintah sebaiknya "buka akses ke Nduga" termasuk untuk jurnalis--baik asing atau lokal--dan tim independen seperti PBB.

"Tapi kenyataannya tidak boleh toh? Jadi apa yang disembunyikan?" katanya kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait KONFLIK NDUGA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino