Menuju konten utama

Data Ketenagakerjaan Jelek, Bagaimana Pemerintah Susun Kebijakan?

BPS harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan digital, karena datanya digunakan pemerintah sebagai rujukan susun kebijakan.

Data Ketenagakerjaan Jelek, Bagaimana Pemerintah Susun Kebijakan?
Kantor badan pusat statistik (bps). tirto/andrey gromico.

tirto.id - Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution meminta Badan Pusat Statistik (BPS) memperbaiki sejumlah data, salah satunya soal ketenagakerjaan. Menurutnya, beberapa jenis pekerjaan sudah tidak relevan, tapi tetap masuk perhitungan BPS.

Sementara jenis pekerjaan yang menjamur di era digital belum dapat terekam secara utuh dalam data BPS.

Job seseorang dalam bekerja, di mana digital mulai dinamikanya sangat tinggi itu memerlukan review terhadap job yang mestinya disajikan,” kata Darmin, Rabu (26/9/2018).

“Banyak job hilang tidak ada lagi dalam kenyataan, tapi dalam statistik kita masih ada. Saya enggak usah bilang apa saja,” kata Darmin menambahkan.

Kritikan Darmin juga diakui Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Khairul Anwar. Ia menyebut data ketenagakerjaan BPS masih keteteran dalam mengikuti perkembangan digital.

"Terkait dengan data ketenagakerjaan sudah dua tahun lalu keinginan Kemnaker untuk meminta BPS dalam melakukan sensus memasukkan variabel ketenagakerjaan. Namun satu dan lain hal, itu belum bisa terakomodir,” kata Khairul kepada Tirto, Kamis (27/9/2018).

Sejak 2016, Khairul menuturkan, Kemnaker telah meminta BPS bisa menyediakan data detail kebutuhan tenaga kerja di era perkembangan digital. Data itu meliputi jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran hingga ke tingkat kabupaten/kota.

“Secara makronya ada, tapi detail hingga di tingkat provinsi/kabupaten gambaran tersebut belum didapatkan, belum tercermin di BPS,” kata Khairul.

Data detail terkait perkembangan kebutuhan tenaga kerja di era digitalisasi industri, kata dia, sangat penting untuk pemerintah mempersiapkan SDM di tengah persaingan keterbukaan ekonomi global. Ini seperti yang diminta Presiden Joko Widodo bahwa pemerintah harus meningkatkan kapasitas SDM.

“Atas dasar permintaan presiden terkait dengan penyiapan SDM, bergulir koordinasi dengan Kemenko Perekonomian untuk menyiapkan SDM untuk bisa bersaing secara global. Kemudian masalah pelatihan pendidikan vokasi, dalam merencanakan perlu suatu data akurat dan detail,” kata dia.

Akan tetapi, Khairul menduga koordinasi antara BPS dengan kementerian terkait, kurang terbangun. Sehingga jenis pekerjaan yang sudah tidak ada di lapangan, masih terdata dalam data BPS.

“Terkait jabatan kerja, pengantar surat di BPS ada, tapi di lapangan nyatanya sudah enggak ada. Itu yang mungkin dimaksud oleh Pak Menko Darmin. Itu contoh yang validitasnya perlu dicek lagi. Perubahan yang terjadi mestinya bisa disesuaikan dalam variabel data yang disensus oleh BPS,” kata Khairul.

Infografik CI Data Ketenagakerjaan Buruk

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Pieter Abdullah Redjalam mengatakan, data ketenagakerjaan BPS memang harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan digital. Ini penting karena BPS adalah basis data untuk rujukan pemerintah dalam menyusun kebijakan.

“Kebijakan yang baik adalah kebijakan berdasarkan data. Kajian yang dihasilkan berdasarkan data-data yang cukup valid, lengkap. Kalau kita tidak punya data yang lengkap, bahan untuk mengkaji, menganalisis yang baik, sulit bagi pemerintah membuat kebijakan yang tepat,” kata Pieter kepada Tirto.

Dengan demikian, Pieter mengharapkan BPS dapat progresif untuk mengantisipasi perkembangan data ketenagakerjaan di era digital. "Ini kan arah dari ekonomi digital, ini kan tidak sebulan, dua bulan, tapi sudah berlangsung sekitar 5 tahun. Setidaknya, jika tidak sangat antisipatif bahkan progresif, setidaknya bisa mengikuti,” kata dia.

Pieter sependapat dengan kritik Darmin. Menurutnya, data BPS memang harus diakui masih sangat terbatas, masih banyak data yang dibutuhkan, tapi justru tidak ada. “Yang terasa sekali dan sangat perlu diberi perhatian sebetulnya adalah data produksi pertanian. Itu tidak ada yang akurat, yang bisa dipegang,” kata Pieter.

Terkait masalah ini, Tirto sudah berusaha menghubungi Kepala BPS Suhariyanto dari Rabu kemarin. Sayangnya, hingga artikel ini ditulis, ia belum merespons.

Baca juga artikel terkait KETENAGAKERJAAN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz