Menuju konten utama

Dasar Hukum Membayar Zakat Fitrah dengan Uang

Membayar zakat fitrah dengan uang memiliki dasar hukum, termasuk dari pendapat Yusuf Qardhawi dalam Fiqh al-Zakah.

Dasar Hukum Membayar Zakat Fitrah dengan Uang
Ilustrasi Zakat. FOTO/IStockphoto

tirto.id - Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dibayarkan untuk setiap jiwa muslim baik laki-laki perempuan, baik dewasa maupun anak-anak, yang waktu pembayarannya selama bulan Ramadan hingga menjelang salat Idul fitri. Terdapat dua pendapat tentang metode pembayaran zakat fitrah ini, yaitu dengan bahan makanan pokok atau dengan uang.

Zakat fitrah pada dasarnya dibayarkan dengan makanan pokok sejumlah satu sha'. Makanan pokok untuk zakat fitrah ini disesuaikan dengan wilayah umat Islam berada. Di Indonesia, pembayaran zakat fitrah lazimnya menggunakan beras sebanyak 2,5 kilogram atau 3,5 liter.

Dalam artikel "Menunaikan Zakat Fitrah Menggunakan Uang" di laman NU Online, kebanyakan ulama mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali menekankan pentingnya zakat fitrah dibayarkan dalam bentuk bahan makanan pokok.

Rujukan bahwa zakat fitrah harus diberikan dalam bentuk makanan pokok ada hadis riwayat Abu Said al-Khudri, "Pada masa Rasulullah SAW, kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ makanan, dan pada waktu itu makanan kami berupa kurma, gandum, anggur, dan keju” (H.R. Muslim).

Namun, terdapat pendapat lain dari mazhab Hanafi yang membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang seharga makanan pokok satu sha'. Landasannya dapat merujuk firman Allah dalam Surah at-Taubah:103, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka."

Ulama-ulama yang membolehkan zakat fitrah dibayar dengan uang, menafsirkan, dalam ayat tersebut, zakat awalnya diambil dari harta, dalam hal ini uang termasuk dalam kategori harta tersebut.

Sementara itu, dalam artikel "Beda Pendapat Ulama soal Hukum Zakat Fitrah dengan Uang" yang diterbitkan NU Online, Husnul Haq menyebutkan, pedoman mazhab Hanafi adalah Surah Ali Imran:92, "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan [yang sempurna], sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai."

Pada masa Nabi Muhammad SAW, harta yang paling dicintai adalah makanan. Ini berbeda dengan harta yang paling dicintai dalam dunia modern seperti ini, yaitu uang. Atas dasar itulah, zakat fitrah dapat disetorkan dala bentuk uang seharga satu sha' atau kalau di Indonesia sekitar 2,5 kilogram.

Sugianto dalam Analisis Pendapat Empat Mazhab Tentang Zakat Fitrah dengan Uang Tunai (2017) menyitir pendapat Imam Abu Hanifah bahwa jika dirasa bahwa uang lebih bermanfaat bagi mustahik (penerima zakat) berhak menerima zakat, maka zakat fitrah yang diberikan dalam bentuk uang tunai yang lebih baik, karena lebih dekat dengan kepentingan orang miskin.

"Mengeluarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang hukumnya diperbolehkan. Pada intinya, tujuan zakat itu adalah untuk memberi kecukupan pada orang fakir, sedangkan dengan uang, maka para mustahik dapat menggunakannya untuk membeli [kebutuhan] yang lain, seperti pakaian dan yang lainnya, serta menutup kebutuhan orang yang membutuhkan dan menegakkan kemaslahatan bersama bagi agama dan umat." (Hlm. 102).

Di Indonesia, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sebagai badan resmi pengelolaan zakat, infak, dan sedekah di tingkat nasional, merujuk pendapat Shaikh Yusuf Qardawi yang membolehkan zakat fitrah ditunaikan dalam bentuk uang setara dengan 1 sha’ beras, gandum, atau kurma. Sebagai catatan, dengan beragamnya jenis beras di Indonesia, jumlah uang yang dibayarkan untuk zakat fitrah menyesuaikan harga jenis beras yang menjadi konsumsi sehari-hari.

Dikutip dari Analisis Pendapat Yusuf Al-Qaradhawi tentang Diperbolehkannya Zakat Fitrah dengan Uang dalam Kitab Fiqhu Al-Zakah (2012) oleh Upi Paramita, pendapat Yusuf Qardhawi ini tercantum dalam kitab Fiqih al-Zakah, "Pemberian dengan harganya ini lebih mudah di zaman kita sekarang ini, dan terutama di lingkungan negara industri, tempata orang-orang tidaklah bermuamalah, kecuali dengan uang. Dan sebagaimana pula di sebagian besar negara dan pada biasanya, lebih bermanfaat bagi orang-orang fakir."

Dalam laman Baznas sendiri, perincian jumlah uang untuk membayar zakat fitrah dibedakan berdasarkan wilayah. Misalnya, pada Ramadan dan Idulfitri tahun 2020 ini. Di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), berdasarkan SK Ketua BAZNAS Nomor 27 Tahun 2020 tentang Nilai Zakat Fitrah dan Fidyah untuk wilayah Jabodetabek, nilai zakat fitrah di wilayah tersebutsetara dengan uang sebesar Rp40.000/jiwa.

Ketentuan harga berbeda diterapkan untuk wilayah lain, misalnya DI Yogyakarta. Baznas Yogya menetapkan besaran zakat fitrah pada tahun 2020 sebesar Rp30.000 perjiwa. Sementara itu, untuk wilayah Jawa Barat, terdapat rincian tersendiri berdasarkan kabupaten/kota di provinsi tersebut.

Waktu Pembayaran Zakat Fitrah

Terdapat lima waktu pembayaran zakat fitrah, dari yang wajib, diperbolehkan, waktu paling utama, waktu makruh (sebaiknya dihindari), hingga waktu haram dengan rincian sebagai berikut.

Waktu boleh, yaitu sejak awal bulan Ramadan sampai masuknya waktu wajib. Artinya, seseorang diperbolehkan membayar zakat fitrah terlebih dahulu meskipun belum menemui akhir Ramadan atau magrib menuju 1 Syawal.

Waktu wajib pembayaran zakat fitrah, berlangsung sejak akhir bulan Ramadan hingga awal 1 Syawal. Batasnya adalah magrib hari terakhir Ramadan memasuki 1 Syawal. Jika seseorang meninggal setelah 1 Syawal, maka ia tetap wajib membayar zakat fitrah. Ini berbeda jika ada bayi yang lahir setelah magrib malam 1 Syawal. Bayi tersebut tidak wajib membayar zakat fitrah, karena tidak menjumpai bulan Ramadan.

Waktu sunah, yaitu waktu yang disunahkan untuk distribusi zakat fitrah kepada mustahik (penerima zakat fitrah). Dalilnya adalah riwayat dari jalur Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar membayar zakat fithrah sebelum manusia berangkat menunaikan salat Id (H.R. Bukhari).

Waktu makruh yaitu setelah salat Idulfitri sampai menjelang magrib 1 Syawal, atau pergantian hari. Makruh artinya tidak apa-apa jika dikerjakan, tetapi sebaiknya dihindari.

Waktu haram, setelah matahari terbenam pada 1 Syawal, kecuali jika ada uzur yang memberatkan.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Fitra Firdaus