Menuju konten utama

Darurat Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

RUU PKS penting disahkan karena selain memihak korban, ia juga mengatur tindak hukuman pidana yang lebih luas dan berat bagi pelaku.

Darurat Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Masa Kolaborasi Nasional yang didominasi perempuan menggelar aksi yang mendesak DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) pada hari Selasa (17/9/19) di depan gerbang Gedung DPR-MPR, Jakarta. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2001-2010, Komnas Perempuan melaporkan bahwa banyak bentuk kekerasan seksual tidak diatur dalam undang-undang. Komnas Perempuan merasa perlu ada Undang-Undang yang bisa memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual, juga identifikasi detail berbagai jenis kekerasan seksual —sesuatu yang tidak ada dalam perundang-undangan di Indonesia.

“Komnas Perempuan melihat minimnya proses hukum pada kasus kekerasan seksual, menunjukkan aspek substansi hukum yang ada tidak mengenal sejumlah tindak kekerasan seksual, dan hanya mencakup definisi terbatas, aturan pembuktian yang membebani korban, budaya menyalahkan korban, serta terbatasnya daya dukung pemulihan korban yang menjadi kendala utama,” ujar Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan.

Pada 2012, Komnas Perempuan resmi menggagas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang populer dikenal sebagai RUU PKS. Sejak itu, dimulailah jalan panjang nan terjal untuk membuat RUU itu menjadi UU.

Sepanjang 2010-2014, Komnas Perempuan aktif melakukan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Tujuannya jelas: perlahan membangun kesadaran publik tentang aneka jenis kekerasan seksual —yang mungkin selama ini tak dianggap sebagai kekerasan seksual. Pada 2014 pula, Komnas Perempuan mulai membangun rumusan RUU PKS. Mereka mengajak berbagai pihak guna membangun draft RUU dan draft Naskah Akademiknya, mulai dari berbagai Kementerian, Kepolisian, juga para akademisi.

Selain Komnas Perempuan, Forum Pengada Layanan (FPL) —himpunan dari 125 organisasi pengada layanan bagi korban kekerasan seksual di 32 provinsi— juga aktif melakukan konsultasi untuk menyempurnakan draft RUU PKS. Mereka aktif melibatkan pemerhati isu disabilitas, juga pemerhati isu hak asasi manusia, pemulihan korban, juga rehabilitasi pelaku.

Pada 2016, draft RUU masuk ke DPR. Pemerintah dan DPR sepakat memasukkan RUU PKS dalam Prolegnas Prioritas 2016. RUU ini juga didukung oleh Presiden Jokowi. Namun pada 2017, terjadi perpindahan komisi yang membahas RUU ini. Dari yang awalnya akan dibahas di Pansus Komisi III (bidang hukum dan keamanan), menjadi dipegang oleh Komisi VIII (agama dan sosial). Dari sini, prosesnya melambat.

Hingga sekarang, belum ada titik terang RUU ini. Pada Juni 2020, Komisi VIII mengusulkan untuk menarik RUU PKS dari Prolegnas prioritas. Alasannya: pembahasannya agak sulit.

“Kesulitan pembahasan itu, menurut kami dikarenakan masih banyak anggota legislatif di DPR yang belum memahami subtansi RUU-PKS,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad.

Fuad menambahkan, penundaan berulang RUU PKS sejak beberapa tahun lalu dapat menimbulkan dugaan bahwa sebagian besar anggota DPR RI belum memahami dan merasakan situasi genting persoalan kekerasan seksual. Sebab itu, Komnas Perempuan mendorong agar DPR RI melaksanakan komitmennya untuk dengan sungguh-sungguh membahas RUU PKS, demi kepentingan terbaik korban kekerasan seksual, khususnya perempuan.

“Komnas Perempuan berharap DPR dapat memastikan RUU PKS menjadi Program Prioritas Legislasi Nasional dan menjadi RUU yang pertama dibahas di tahun 2021”, imbuh Fuad.

Mengakomodasi Kalangan Disabilitas

Fuad menerangkan, kasus kekerasan seksual juga rentan menimpa penyandang disabilitas. Oleh sebab itu, menurutnya, diperlukan seperangkat aturan khusus untuk melayani para korban dari kalangan disabilitas, mulai dari proses pelaporan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual.

“Akomodasi yang layak tersebut meliputi pelayanan dan sarana yang ramah terhadap penyandang disabilitas,” kata Fuad.

Pada aspek pelayanan paling sedikit meliputi: perlakuan nondiskriminatif; pemenuhan rasa aman dan nyaman; komunikasi yang efektif; pemenuhan informasi terkait hak penyandang disabilitas dan perkembangan proses peradilan; penyediaan fasilitas komunikasi audio visual jarak jauh; penyediaan standar pemeriksaan Penyandang Disabilitas dan standar pemberian jasa hukum; serta penyediaan Pendamping Disabilitas dan/atau Penerjemah.

Adapun sarana yang ramah disabilitas meliputi kelengkapan yang harus disediakan untuk memfasilitasi kemudahan penyandang disabilitas dalam menjalankan proses peradilan, mulai dari pelaporan kasus, penanganan, hingga pemulihan kasus kekerasan yang dialami oleh penyandang disabilitas. Seperti alat komunikasi yang ramah disabilitas, bangunan Gedung, dll

Dalam RUU PKS, kebutuhan korban dan penyandang disabilitas diperjuangkan. Antara lain lewat program pencegahan kekerasan yang ramah disabilitas; Sistem Peradilan Pidana Terpadu – Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) yang ramah dan mengakomodasi kebutuhan khusus penyandang disabilitas; Pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas

Lantas bagaimana jika dalam kondisi terburuk, RUU PKS tak kunjung disahkah?

“Terkait dengan perlindungan perempuan disabilitas dari kekerasan seksual, saat ini Komnas Perempuan sedang melakukan kajian tentang Kekerasan terhadap Perempuan dengan disabilitas. Hasil kajian ini akan dapat memberikan gambaran terhadap situasi kekerasan yang dialami oleh perempuan dengan disabilitas yang nantinya dapat dijadikan acuan bagi Komnas Perempuan untuk menyusun program perlindungan perempuan dari kekerasan seksual,” sambung Fuad.

Kasus Naik Terus

Penarikan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas—serta alasan penarikannya— bikin banyak pihak marah. RUU ini sudah melewati nyaris delapan tahun, dan ditarik dari Prolegnas karena alasan yang bikin publik geleng-geleng kepala: “Pembahasannya agak sulit.”

Penundaan berulang pengesahan RUU PKS dapat menimbulkan dugaan bahwa sebagian besar anggota DPR RI belum memahami dan merasakan situasi genting persoalan kekerasan seksual. Karenanya, Komnas Perempuan mendorong DPR RI agar melaksanakan komitmennya untuk dengan sungguh-sungguh membahas RUU PKS pada tahun 2021 demi kepentingan terbaik korban kekerasan seksual, khususnya perempuan.

Bagaimanapun, angka kekerasan seksual terus naik dari tahun ke tahun, dan belum ada payung hukum yang benar-benar bisa melindungi korban.

Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan, tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 800 persen, atau 8 kali lipat. Selain itu, ada 55.273 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan langsung. Sebanyak 8.964 kasus dicatatkan sebagai tindak perkosaan. Mirisnya, kurang dari 30 persen laporan kasus perkosaan yang diproses hukum.

“Di kasus kekerasan seksual, banyak korbannya yang depresi, harus ke psikiater. Bahkan juga ada yang bunuh diri karena kasusnya tak bisa diproses hukum. Kadang di aparat hukum, kasusnya dianggap suka sama suka,” ujar Veni Siregar, Koordinator Sekretariat Nasional FPL.

Kasus kekerasan seksual yang terus naik adalah satu dari banyak alasan untuk segera mengesahkan RUU PKS. Alasan lain yang juga amat penting: KUHP tak bisa mencakup semua jenis kekerasan seksual. Di KUHP, kekerasan seksual hanya terbagi jadi dua jenis: perkosaan dan pencabulan. Itupun belum sepenuhnya menjamin hak dan perlindungan pada korban. Di KUHP juga tidak ada pasal yang mengatur tentang unsur ancaman atau relasi kuasa.

RUU PKS lebih detail dalam menjabarkan tindakan kekerasan seksual, dengan menguraikan secara jelas definisi 9 kekerasan seksual. Selain itu, RUU PKS juga punya aspek yang memihak korban, serta mengatur tindak hukuman pidana yang lebih luas dan berat bagi pelaku. Contohnya, akan ada pemidanaan terhadap korporasi, pidana tambahan berupa restitusi, pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, dan juga pencabutan hak asuh. Semuanya itu tak ada dalam KUHP.

“RUU PKS memiliki enam elemen kunci yaitu: pencegahan, sembilan bentuk kekerasan seksual, ketentuan pidana, hukum acara pidana, pemulihan dan pemantauan. Hal-hal tersebut tidak dimiliki undang-undang lainnya secara komprehensif. Sehingga ketika RUU PKS disahkan maka hak korban atas keadilan, perlindungan dan pemulihan dapat diwujudkan,” ujar Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan.

RUU yang berpihak pada korban itulah yang sekarang darurat untuk disahkan. Sebab, selama ini hukum yang ada nyaris tak bisa berbuat apa-apa dalam melindungi korban kekerasan seksual. Salah satu contoh yang bikin banyak orang meradang adalah kasus BN, mantan guru honorer di Nusa Tenggara Barat medio 2018. Kepala Sekolahnya melakukan pelecehan seksual berulang kali sejak 2012, BN merekam percakapan itu, dan melaporkannya. Si Kepala Sekolah balik melaporkannya, dan BN diputuskan bersalah oleh MA.

“Kasus BN berpotensi membuat korban kekerasan seksual lainnya akan takut melapor ketika perlindungan negara minim terhadap korban. Jika RUU PKS disahkan, maka hukum acara pidana melarang mengkriminalkan korban. Dan aspek Pemulihan sebelum dan setelah proses pengadilan akan dilakukan sehingga korban dibantu untuk melewati proses trauma karena kondisi korban akan berbeda saat sebelum terjadi kasus dan setelah adanya kasus, bahkan ketika pelaku sudah dihukum,” tambah Very.

Infografik Advertorial Grab x KP

Infografik Advertorial Grab x KP. tirto.id/Mojo

Terus Optimis, Terus Bergerak

Jelang akhir tahun 2020, RUU PKS tak jua disahkan. Berbagai pihak terus mengupayakan agar RUU ini bisa diketok sembari terus melakukan kerja-kerja pendampingan dan advokasi. Tahun ini, Komnas Perempuan mendapat dukungan lebih dari 167 organisasi dan masyarakat sipil untuk menggelar 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) sepanjang 25 November - 10 Desember 2020.

“Kita tidak boleh pesimis ya. Teman-teman di lapangan juga terus melakukan pendampingan dan advokasi seperti biasa,” tambah Veny.

Salah satu institusi yang mendukung 16HAKTP adalah Grab Indonesia. Perusahaan teknologi superapp yang menyediakan berbagai layanan daring ini tidak tiba-tiba dalam mendukung penghapusan kekerasan seksual.

Salah satu pendiri Grab adalah Hooi Ling Tan, seorang perempuan muda yang pernah bekerja sebagai konsultan bisnis. Tak jarang, Hooi Ling harus pulang dini hari, dan seringkali pula tidak merasa aman ketika menaiki transportasi umum. Untuk sedikit memupus kekhawatiran itu, Hooi Ling selalu menelpon ibunya untuk mengabari bahwa ia sedang di taksi menuju pulang.

Karena pengalaman itu, Hooi Ling dan segenap tim Grab menyadari betapa penting faktor keamanan dan kenyamanan dalam bisnis transportasi.

“Karena itu Grab didirikan dengan menjadikan faktor keselamatan sebagai DNA layanan kami. Grab didirikan untuk memberikan layanan yang aman untuk semua, terutama perempuan,” ujar Neneng Goenadi, Managing Director of Grab Indonesia.

Ucapan Neneng tidak sekadar lips service belaka. Grab melakukan investasi besar-besaran untuk membuat berbagai fitur keamanan dan keselamatan penggunanya. Dari Verifikasi Wajah, Penyamaran Nomor Telepon, juga Fitur Pusat Bantuan (Tombol Darurat).

“Semua sudah ada di aplikasi Grab sejak 2018, bahkan sejak sebelum jadi kewajiban dari sisi regulasi,” tutur Neneng.

Bersama Komnas Perempuan, Grab juga menandatangani kerja sama pada 2019. Pakta itu berisi penyusunan kebijakan perusahaan, pembuatan modul pelatihan untuk mitra pengemudi, juga pengumpulan donasi dari pengguna Grab untuk perempuan penyintas lewat Pundi Perempuan.

Selain bergabung pada gerakan 16HAKTP, Grab juga berkolaborasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, juga Forum Pengada Layanan untuk memberikan layanan yang aman untuk semua.

Sejalan dengan komitmen GrabForGood, Grab akan selalu mendukung gerakan untuk menghapus kekerasan seksual. Dengan kampanye #GerakBersama, #SahkanRUUPKS, dan #JanganTundaLagi, Grab dan Komnas perempuan berharap RUU PKS bisa segera disahkan dan menjadi ujung tombak penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.

“Mari kita galakkan kampanye bersama secara serentak selama 16 hari untuk hentikan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia,” ajak Komnas Perempuan.

Untuk mendapat informasi rangkaian program dan acara kampanye 16HAKTP 2020, kamu bisa mengakses tautan ini.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis