Menuju konten utama

Dario Dubois, 'Badut' Penyuka Musik Metal dari Lapangan Hijau

Mari berkenalan dengan pesepakbola paling nyentrik yang pernah dilahirkan Argentina

Dario Dubois, 'Badut' Penyuka Musik Metal dari Lapangan Hijau
Dario Dubois, pemain sepak bola Argentina di era 90-an yang bertanding dengan tata rias muka layaknya musisi metal. FOTO/the versed.com

tirto.id - Beberapa pesepakbola memiliki hobi (serta ciri khas) masing-masing yang justru bertolak belakang dengan dunia yang mereka geluti.

Pat Nevin, mantan gelandang Chelsea, amat tertarik dengan sinema Perancis dan genre musik post-punk. Graeme Le Saux, eks bek kiri Inggris (ralat: sebelumnya tertulis Perancis), adalah seorang pembaca Financial Times yang taat. Kasey Caller dan Marcus Hahnemann--keduanya eks pesepakbola asal Amerika Serikat--merupakan penggemar berat Tool, band art-rock legendaris (yang juga dari AS) dan sering hadir langsung nonton konser mereka.

Masih banyak nama lain dengan ragam hobi yang juga nyeleneh. Tapi pesepakbola yang satu ini layak ditempatkan di level atas untuk hobi nyeleneh. Ia adalah Dario Dubois, pesepakbola Argentina.

Nama pria yang lahir pada 1970 ini tentunya tidak sepopuler, katakanlah, Kun Aguero, lebih-lebih Lionel Messi, duo megabintang Argentina sepanjang satu dekade terakhir. Kariernya juga hanya mentok di beberapa klub lokal ecek-ecek divisi Primera C dan D. Mulai dari Yupanqui, Lugano, Ferro Carril Midland, Deportivo Laferrere, Deportivo Riestra, Cañuelas, Deportivo Paraguayo hingga Victoriano Arenas.

Dubois dikenal orang memang bukan karena skill individu yang menawan atau gol legendaris. Lebih jauh, ia dikenang karena pendiriannya yang sukar diganggu-gugat. Dan ia menunjukkan itu semua dengan cara yang sekonkret mungkin. Mulai dari suka mengecat wajahnya sebelum bertanding, hingga kerap menutup sponsor di baju seragam dengan selotip sebagai bentuk kritik. Mengenai ritual mengecat wajah yang biasa dilakukannya, Dubois sempat membocorkan "motivasinya".

“Mengecat wajah sendiri itu memberikan saya kenikmatan, lalu pergi berperang untuk membunuh lawan."

Ia juga sempat mengutarakan niatnya untuk menjajal karier di Portugal setelah mengetahui Mario Jardel dan Ljubinko Drulovic, dua penggawa FC Porto saat itu, juga mengecat wajah mereka dalam laga terakhir di liga melawan Estrela Amadora dan tidak mendapat kartu.

Terlepas dari itu, tabiat mengecat wajah yang dilakukan Dubois sejatinya bukan hadir begitu saja. Ia terinspirasi dari stage act band-band rock dan metal yang ia gemari. Dubois adalah penggemar berat KISS dan Alice Cooper. Itulah kenapa pola coretan di wajahnya juga menyerupai Paul Stanley dkk: cat putih di seluruh wajah dengan maskara hitam di mata dan bibir.

Dubois memang cukup totalitas dalam bermusik. Bahkan inilah “dunia” yang sebenarnya buat Dubois.

Tiga Band dan Sederet Kontroversi

“Saya tidak suka bermain sepakbola. Saya melakukannya karena ada suasana kompetitif dan saya juga dapat menghabiskan waktu untuk latihan. Saya tidak makan daging merah, tidak merokok, minum minuman keras, apalagi obat-obatan. Sama sekali tidak pernah. Lagipula, uang yang dihasilkan (sebagai pesepakbola) juga lumayan membantu. Kondisi ekonomi berantakan. Walau saya tidak suka sepakbola, saya pendukung Midland,” ujar Dubois seperti dilansir salah satu situsweb Argentina, En Una Baldosa.

Dubois memang pendukung Midland, klub divisi Primera C di Argentina yang berada di Libertad, Buenos Aires. Hanya saja, tidak demikian dengan petinggi klub tersebut. Mereka justru berharap Dubois segera cari klub baru. Beberapa minggu usai wawancara di atas, pemilik Midland, Rodolfo Marchioni, memberi tanggapan sinis: “Dia tidak bisa terus menerus seperti itu. Selama satu setengah bulan terakhir dia selalu melucu.”

Dubois membalas balik tanggapan itu dan menyebut bahwa “Marchioni hanya cemburu lantaran perhatian pers selalu tertuju kepada saya”. Dubois juga meledek Marchioni dengan bilang “akan bermain telanjang”. Pelatih Midland kala itu, Jorge Canova, ikut memberi komentar dan mengatakan kepada Dubois “akan sangat sulit bertahan di sini”.

Di luar kariernya sebagai pemain bola, Dubois sempat bermain di tiga band sekaligus. Band pertama dinamakan Tributo Rock yang juga beranggotakan sesama pemain bola Argentina seperti: Carlos Garcia sebagai gitaris (Deportivo Paraguay), Perico Falco di drum (Midland), Eduardo Paredes sebagai vokalis (Deportivo Paraguay), Maxi pemain harmonika, lalu ada Dubois sendiri yang berposisi sebagai pemain bass.

Band ini banyak membawakan ulang lagu-lagu dari Vox Dei, band hardrock legendaris Argentina, yang juga menjadi favorit para personel Tributo Rock. Bahkan mulanya band tersebut hendak dinamakan Dubois Dei.

Band kedua dinamakan Corre Guachin. Band ini memainkan genre musik tradisi Kolombia yang disebut ‘Cumbia’ (genre ini juga diadopsi dari lingkungan kumuh Argentina dan dikenal dengan musik ‘Cumbia Villera’) dengan sentuhan modifikasi bebunyian elektronik dan sedikit grunge. Lalu band terakhir dibentuk sebagai bentuk tribute kepada Reef, band alternatif rock asal Inggris yang pada medio 1990-an cukup sering mencetak lagu-lagu hits.

Terkait kebiasaannya kerap menutup logo-logo sponsor di seragam, Dubois juga punya alasan serius. Semua bermula pada 1995, ketika Lugano bertanding melawan Acasusso di Boulogne. Kala itu, sebuah perusahaan yang menyeponsori Lugano berjanji akan membayar para pemain 40 peso untuk tiap satu kali kemenangan. Lugano tak hanya berhasil menang sekali, tapi tiga kali berturut-turut. Sial, perusahaan tersebut tidak membayarkan apapun.

Mengetahui hal itu Dubois, yang bermain untuk Lugano, memutuskan ambil sikap: menutup logo perusahaan tersebut di seragamnya. Kepada Walter Marini dan Marcelo Massarino, dua jurnalis asal Argentina, Dubois menceritakan kisahnya tersebut.

"Ternyata sejak dari kemenangan pertama kami mereka tidak membayarkan apapun, jadi saya memutuskan untuk menutup logo mereka di seragam dengan selotip warna hitam. Di lapangan, saya berpura-pura berdoa dengan membentuk tanda salib di dada (semua pemain melakukannya, tapi saya sih tidak percaya agama apapun). Ketika hujan, saya menutupi logo tersebut dengan lumpur. Dua kali saya melakukan hal itu, dan beberapa minggu kemudian, perusahaan bangsat itu mengancam akan menuntut saya. Mereka tidak pernah melakukan apapun,” ujarnya.

Lagak bengal Dubois di lapangan bukan hanya itu saja. Saat memperkuat Midland, ia pernah mendamprat wasit yang memberikannya kartu kuning kedua dalam laga kontra Excursionistas di Bajo Belgrano, hingga ia harus dikeluarkan.

“Saat pelanggaran kedua yang saya lakukan, wasit Juan Carlos Moreno mengacungkan kartu kuning keduanya, dan persis ketika ia hendak menarik kartu merahnya, tercecer selembar uang 500 peso dari saku seragamnya. Dengan segera saya mengambil uang tersebut, lalu mengatakan kepadanya, ‘ini untuk saya karena anda telah mengeluarkan saya, bajingan!’,” ungkap Dubois. Ia pun segera berlari menuju ruang ganti dan dikejar oleh wasit, pemain lawan, hingga staf kepelatihan tim lawan. Dubois kemudian mengembalikan uang tersebut.

Dubois juga membuat kontroversi lain pada tahun 2003. Dalam sebuah siaran langsung di Radio Belgrano (dan dikutip dalam esai Chris Kelo di In Bed With Maradona), ia mengungkap aib seorang politikus yang juga presiden suatu klub lokal, Juan Jose Castro. Dubois sendiri sempat coba disogok uang oleh si presiden agar bermain buruk

“Presiden United Youth, Juan Jose Castro, menawarkan sejumlah uang supaya mereka bisa mendapatkan hasil yang lebih banyak. Lalu ketika pemilihan umum, dia datang (dan melakukan hal yang sama) di St. Miguel. Dasar tikus, dia cuma mau menang dan memberikan kami perak. Hal itu tidak pernah terjadi, tapi dia politikus, apalah yang bisa diharapkan?”

Infografik Dario Dubois

Pada 1999, Dubois pernah ditanya tentang rencana pensiun pensiun. Ia mengatakan: "Saya suka golf, tapi saya tidak bagus. Saat ini saya adalah seorang musisi dan seorang pemain bola. Jika di masa depan saya harus bekerja sebagai bocah sewaan di rumah bordil gay, itulah yang akan saya lakukan."

Tiga tahun berselang, dalam sebuah pertandingan melawan Liniers, Dubois mengalami cedera serius usai bertabrakan dengan pemain Liniers. Ia pun segera dilarikan ke rumah sakit karena mengalami pendarahan di telinga kanan dan gegar otak. Setelah meninggalkan rumah sakit sekitar seminggu kemudian, Dubois mengeluh lantaran Asosiasi Sepakbola Argentina (AFA) tidak membantu biaya pengobatannya.

“Mereka semua adalah sekelompok tikus. Untungnya saya baik-baik saja, tetapi saya hampir mati di lapangan dan mereka tidak melakukan apa pun untuk membantu,” ucapnya.

Dua tahun setelahnya, saat memperkuat Victoriano, Dubois harus pensiun karena cedera ligamen dan, lagi-lagi, tidak mendapatkan biaya pengobatan apapun dari AFA. Dia telah mengajukan permohonan ke AFA untuk bantuan, tetapi mereka menolaknya. Kariernya telah berakhir.

Pada Maret 2008, ketika asyik berboncengan dengan pacarnya sepulang kerja, Dubois mesti berhadapan dengan komplotan perampok. Ia melawan dan karena itu dua peluru menembus kaki dan perutnya. Perampok tersebut pun kabur dengan membawa motor, ransel, serta ponsel. Di rumah sakit, Dubois masih sempat sadar selama satu minggu, namun seminggu kemudian ia koma, lalu akhirnya meninggal dunia. Usianya 37 tahun.

Dalam wawancara terakhirnya sebelum meninggal dengan Ole, sebuah harian olahraga di Argentina, Dubois sempat mendeskripsikan dirinya: “Seorang badut yang mengecat wajahnya, tapi terbunuh oleh seragamnya…”

Sebagaimana badut, Dubois sudah menunaikan tugasnya dengan baik: ia bisa menyenangkan bagi sebagian orang, tapi juga menyebalkan bagi sebagian lainnya. Dan, sepakbola, bisa jadi, membutuhkan badut-badut lain seperti Dubois.

Baca juga artikel terkait ATLET SEPAKBOLA atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Nuran Wibisono