Menuju konten utama

Dari Sosrowijayan ke Ciburial, Pengalaman Menyimak Mata Irlandia

"Mata Irlandia" menelisik hal-ihwal yang membentuk identitas individu sekaligus identitas kolektif di dunia kontemporer yang terpolarisasi.

Dari Sosrowijayan ke Ciburial, Pengalaman Menyimak Mata Irlandia
Pameran Mata Irlandia. FOTO/Selasar Sunaryo Art Space (SSAS)

tirto.id - Sekira Juni-Juli 2022, timeline media sosial saya, terutama Instagram, berkali-kali memunculkan sejumlah konten yang serupa: bermacam-macam potret mirror selfie aesthetic dengan latar lukisan berupa garis-garis membentuk sidik jari plus sebuah bola mata di tengah-tengah, lengkap dengan alis dan bulu matanya. Perkara yang membedakan mirror selfie itu dengan mirror selfie kebanyakan: objek yang tecermin di situ tidaklah tunggal—sebagaimana kita ambil foto di cermin lift atau toilet—tapi bisa jadi dua, tiga, bahkan tak terhingga.

Kelak, saat saya menyambangi Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) pada Jumat (8/7), barulah saya tahu bahwa itu adalah “The Infinity”, karya perupa Sunaryo tahun 2019. Adapun perangkat yang membuat siapa pun yang melakukan mirror selfie di situ tampak jamak adalah cermin besar yang ditempatkan di sekitar lukisan: atas-bawah, kiri-kanan. Efeknya, ke mana pun kamu membidikkan mata lensa, gambar tubuhmu sudah pasti berpantulan.

Hanya, bukan karya Sunaryo itu saja yang kemudian membetot perhatian saya—“The Infinity” adalah bagian dari pameran Sunaryo “Kertas Puisi & Refleksi” di Ruang A SSAS. Di Ruang Sayap, tak jauh dari Kopi Selasar, berlangsung juga “Mata Irlandia” (Ireland’s Eye), pameran enam perupa asal negeri Roy Keane dan James Joyce.

Saya tertarik dengan “Mata Irlandia” bukan semata karena tujuh tahun sebelumnya pernah iseng-iseng belajar menerjemahkan beberapa puisi Joyce, atau karena buku berbahasa Inggris pertama yang saya miliki berjudul “The Irish Jokes”. Saya tiba-tiba tertarik dengan “Mata Irlandia” sebab teringat akan satu-satunya pertemuan saya dengan orang Irlandia, entah siapa namanya, kira-kira satu dasawarsa silam.

“Untuk merayakan pertemuan kita, saya kasih kalian bir,” kata si Irlandia, sambil membagikan lima botol bir kepada saya dan empat teman lain—Rozi Kembara, Dea Anugrah, Langgeng Prima Anggradinata, dan Saut Situmorang—pada suatu malam di sebuah bar di bilangan Sosrowijayan, Yogyakarta. Berhubung saat itu saya tidak (atau belum berani) minum bir, saya berikan jatah bir saya kepada teman lain yang baru datang, Faisal Kamandobat.

Si Irlandia melirik dan memberi saya satu botol lagi. Tidak enak hati, diam-diam saya edarkan botol bir baru itu kepada Rozi—bir kepunyaannya tinggal separuh. Melihat gelagat saya, alih-alih tersinggung, si Irlandia malah ketawa. “Kamu benar-benar orang baik. Saya kasih kamu bir tapi kamu kasihkan lagi bir itu kepada teman-temanmu. Ini, saya kasih kamu bir lagi karena kamu orang baik.”

Tawa kami pecah dan salah seorang teman—mungkin Langgeng sebab kala itu ia gemar menenteng kamera—mengabadikan momen tersebut. Tangan kiri saya menyentuh dagu, gigi-gigi saya kelihatan begitu putih di hadapan latar yang gelap, mata mantap menatap kamera. Sedangkan si Irlandia, kedua tangannya bersidekap, senyumnya tak kalah lebar, wajahnya memerah, dan matanya merem menanggung kesenangan.

Rasa-rasanya, seperti halnya pertemuan di Sosrowijayan itu, pertemuan pertama saya dengan karya-karya Anishta Choorman, Jamie Cross, Louis Haugh, Vanessa Jones, Bara Palcik, dan Ciara Roche dalam “Mata Irlandia” juga berlangsung menyenangkan.

“Iya, setelah melihat-lihat karya Sunaryo yang sarat simbol dan metafor—dan sebagian lukisannya dipenuhi warna-warna gelap—menyaksikan ‘Mata Irlandia’ benar-benar terasa segar. Fresh aja gitu, lebih mudah dinikmati,” ujar Kupi Arif, pengunjung pameran yang mendatangi “Mata Irlandia” setelah melihat-lihat karya Sunaryo di Ruang B SSAS (di ruang itu digelar juga pameran Sunaryo bertajuk “Mencari Asal”).

Melukis Cahaya, Identitas, Sejarah, dan Lingkungan Sekitar

Pendapat Kupi tidak berlebihan. Karya Ciara Roche, misalnya, 9 lukisan cat minyak di atas kertas seukuran kartu pos, menampilkan suasana di sebuah pusat perbelanjaan. Mulai dari basement tempat parkir hingga ruang utama yang menjajakan aneka benda (mobil mainan, perhiasan, perabot rumah tangga, etalase, manekin berbalut pakaian, dan seterusnya) dibuat dengan amat teliti lewat sapuan warna-warna cerah: putih, kuning, pink, biru muda, dan semacamnya.

Kemewahan yang gemerlapan mengemuka dari lukisan-lukisan itu; kesan yang muncul tidak hanya dari objek-objek yang ditampilkan, tapi juga dari kepekaan dan keterampilan pelukisnya dalam mengolah detail pada komposisi ruang dan pencahayaan.

“Aspek lain dalam pusat perbelanjaan yang saya sukai adalah cahaya dan saya sangat menyukai melukis cahaya—saya berusaha mencari tahu bagaimana melukis macam-macam cahaya. Tidak ada tempat lain yang palsu (artifisial) dan tidak realistis seperti pusat perbelanjaan. Betapa cahayanya adalah cahaya buatan dan betapa (saya berusaha agar) hal tersebut terlihat dalam lukisan,” ungkap Ciara, dalam sesi artist talk yang rekamannya diputar di ruang pameran.

Pameran Mata Irlandia Karya Jamie Cross

Pengunjung Pameran berdiri di Depan Karya Jamie Cross. FOTO/Selasar Sunaryo Art Space (SSAS)

Meski sekilas karya Ciara seperti asyik sendiri (menggarap cahaya berarti bertungkus lumus dengan salah satu aspek dasar seni rupa; seni untuk seni) karya-karya itu juga tidak luput menyampaikan kritik, terutama terhadap kapitalisme. “Ada lukisan saya yang di dalamnya memuat gambar manekin dengan pose yoga, bentuk tubuh yang tidak realistis yang tidak pernah menjadi diri Anda dalam kehidupan nyata.”

Meski begitu, kritik yang disampaikan oleh Ciara pada dasarnya merupakan kritik yang menyasar kesadarannya juga. Ciara mengakui bahwa sebagai perempuan, baginya, mendatangi pusat perbelanjaan adalah kegiatan yang menyenangkan —jika bukan urusan yang tidak terhindarkan.

“Penting bagi saya untuk mengetahui bahwa ketika saya melukis sesuatu, saya tidak menghakimi orang lain. …dan alasan yang bisa saya katakan adalah karena saya juga menginginkan hal-hal tersebut, tempat-tempat (objek-objek) yang saya pilih ini juga harus mencerminkan sesuatu yang saya temukan sebagai konflik internal dalam diri saya. Jadi, Anda tidak menghakimi orang lain karena Anda menghakimi saya juga.”

Dalam pengantarnya, kurator pameran Mark Joyce dan Sarah Durcan menjelaskan, “Mata Irlandia” menelisik hal-ihwal yang membentuk identitas individu sekaligus identitas kolektif di dunia kontemporer yang terpolarisasi.

Memori masa kanak, bahasa yang digunakan bersama, benda-benda dan tempat-tempat yang berjejak dalam ingatan, tubuh yang didefinisikan berdasarkan gender, serta pola pengasuhan adalah segelintir entitas yang membentuk identitas kita sebagai manusia. Semua itu digali dan dimaknai kembali oleh para perupa dengan cara pandang kritis terhadap (atau bertolak dari) lingkungan, pribadi, tubuh, serta hal-hal di sekitar yang lumrah dijumpai setiap hari.

(Bersambung ke bagian 2) []

Baca juga artikel terkait PAMERAN SENI atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Nuran Wibisono