Menuju konten utama

Dari Politikus ke Profesor: Kapan Boleh Jujur, Kapan Boleh Bohong?

Etika yang mengikat seorang profesor jelas: bicara hanya atas nama kebenaran dan menjaga integritas akademik. Politisi tidak demikian.

Dari Politikus ke Profesor: Kapan Boleh Jujur, Kapan Boleh Bohong?
Avatar Sri Lestari Wahyuningroem. tirto.id/Teguh

tirto.id - Siapa yang tak kenal Fernando Henrique Cardoso, ilmuwan besar yang mempopulerkan teori ketergantungan dalam kajian-kajian ekonomi politik?

Cardoso lahir dan besar dari keluarga terhormat, ayahnya seorang jenderal dan berjasa bagi negaranya. Cardoso sendiri bersekolah dan menjadi dosen sosiologi di Universitas Sao Paolo, Brasil. Pada 1964, pasca kudeta oleh militer, Cardoso terpaksa menjadi eksil di Chile, lalu Paris, karena kritis terhadap rezim saat itu. Cardoso mengembangkan kemampuan akademiknya dari mengajar, meneliti, hingga menulis, khususnya untuk kajian sosiologi dan politik.

Cardoso sempat pulang ke tanah airnya pada 1968 dan mendirikan pusat studi yang mengembangkan kajian-kajian kiri. Pada masa ini, ia mengembangkan pemikirannya tentang teori ketergantungan ekonomi politik negara-negara di dunia (teori dependensia). Karya-karyanya diakui dunia, sehingga tidak mengherankan jika kemudian dia mendapatkan posisi sebagai profesor di Universitas Sao Paolo pada 1969.

Dinamika sosial politik di Brasil masa itu sangat meresahkan Cardoso sehingga membuatnya mempertimbangkan untuk aktif berpolitik. Pada 1985, ia maju sebagai walikota Sao Paolo. Delapan tahun kemudian, ia menjadi Menteri Keuangan pada 1993. Akhirnya, ia terpilih menjadi presiden Brasil pada 1995 hingga 2002. Ia merupakan presiden pertama di alam demokrasi Brasil yang terpilih menjabat selama dua periode.

Apa yang menarik dari perjalanan karir Cardoso?

Tentu saja pilihan karirnya dari akademisi (profesor) menjadi politisi (presiden) lalu kembali menjadi akademisi. Cardoso suatu kali pernah berucap: "If you're committed to change, you cannot turn an ethical position into an obstacle for action. The problem is that, as an academic, you're trained to tell the truth, but a politician is taught to lie, or at least to omit. As a politician, if you say everything you want, you never get everything you want." (Jika Anda berkomitmen untuk perubahan, Anda tidak bisa menjadikan etika sebagai hambatan untuk bertindak. Masalahnya, sebagai seorang akademisi, Anda dilatih untuk mengatakan kebenaran, namun seorang politisi diajarkan mengatakan kebohongan, setidaknya mengamini kebohongan. Sebagai politisi, jika Anda mengatakan apa yang Anda inginkan, Anda tidak akan mendapatkan apa yang Anda inginkan”.

Pernyataan ini merupakan penegasan pilihannya untuk mundur sebagai profesor di kampusnya dan banting setir menjadi politisi yang membawa perubahan kepada negaranya (meskipun kita bisa berdebat secara terpisah tentang perubahan yang ia kemudian lakukan). Setelah jabatannya selesai, Cardoso kembali ke dunia akademik pada 2004 dan menerima beberapa tawaran menjadi profesor tidak tetap (visiting professor) di sejumlah universitas bergengsi dunia.

Megawati Sukarnoputri juga seorang sosok tenar di Indonesia. Ia seorang politisi dari keluarga terpandang dengan ayah yang bergelar pahlawan nasional. Setelah Sukarno, sang ayah, dikudeta merangkak oleh militer di bawah jenderal Suharto, Megawati dan keluarganya dikucilkan, tapi tidak menjadi eksil melainkan ‘tahanan’ di dalam negeri (saat itu, pemerintah yang berkuasa justru tidak membolehkan keluarga Sukarno untuk meninggalkan Indonesia). Tidak hanya itu, Megawati juga harus menahan getirnya kehidupan menjadi keturunan Sukarno. Ia gagal menyelesaikan sekolah di dua universitas negeri dan memilih mengelola sejumlah bisnis keluarga.

Dinamika sosial-politik pada masa Orde Baru meresahkan Megawati dan membulatkan tekadnya untuk mencoba melakukan perubahan dengan bergabung ke dalam partai politik: Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Pada 1987 pertama kalinya Megawati, dan adiknya Guruh, tampil terbuka berkampanye sebagai calon anggota legislatif PDI. Kemunculan keduanya mendapat banyak dukungan dari masyarakat, terutama karena nama belakang Sukarno yang melekat. Jumlah kursi PDI di DPR meningkat tajam, dari 24 menjadi 40 kursi. Ini tentu merupakan ancaman bagi rejim hari itu yang direpresentasikan oleh Golkar, satu-satunya partai berkuasa sepanjang Orde Baru.

Pada 1993, melalui Kongres Luar Biasa di Surabaya, Megawati secara telak memenangkan kursi kepemimpinan PDI dan mengalahkan ketua sebelumnya, Soerjadi, yang pro-Suharto. Kita tahu perjalanan berikutnya; PDI terbelah menjadi PDI di bawah Soerjadi dan PDI Perjuangan di bawah Megawati. Perpecahan ini bahkan berujung kerusuhan yang menewaskan banyak warga sipil pada 1996.

Mundurnya Suharto yang seringkai dianggap sebagai era bubarnya Orde Baru (tentu klaim ini juga menjadi perdebatan panjang hingga hari ini), memberi perubahan signifikan bagi karir politisi Megawati. Dalam pemilu 1999, Megawati harus kembali menelan kepahitan karena hanya diposisikan sebagai wakil presiden mendampingi Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Padahal, PDIP memenangkan suara mayoritas.

Megawati baru memegang kekuasaan tertinggi sebagai presiden setelah Gus Dur disingkirkan pada 2001. Sayangnya, kekalahan terus melekat dalam dirinya. Tak pernah ada kemenangan-kemenangan lain dalam pemilu yang bisa menghantarkannya menjadi presiden. Namun begitu, posisinya sebagai penguasa atau orang nomor satu di partai tak tergantikan. Inilah kemenangan mutlak Megawati di partai politik.

Tidak seperti Cardoso, perjalanan karir Megawati sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan dunia intelektual atau akademisi. Megawati tak pernah melakukan penelitian intens dan menuliskannya sebagai bentuk pencerahan, mengajarkan kepakarannya kepada mahasiswa, atau terlibat dalam komunitas akademik yang berdiskusi panjang lebar dmei mengembangkan kajian-kajian yang bermanfaat bagi peradaban manusia.

Tiba-tiba, Universitas Pertahanan (Unhan) mengangkat Megawati sebagai profesor di kampus bela negara tersebut. Di sini kemudian gonjang-ganjing dimulai. Apakah layak Megawati menjadi profesor? Atas dasar apa Unhan mengangkatnya sebagai profesor? Apakah muatan politis lebih kental daripada akademis, terutama menjelang 2024?

Tentu masih banyak pertanyaan lainnya.

Profesor Bukan Gelar Akademik

Saya tidak akan menjawab secara hitam putih, tapi silahkan Anda menilai dari tiga argumen yang saya sampaikan berikut.

Pertama, ‘Profesor’ adalah sebuah jabatan akademis, bukan gelar. Gelar akademis tertinggi adalah doktor (S3), sedangkan jabatan akademis di luar negeri dimulai dari assistant professor, associate professor, dan full professor. Di Indonesia, jabatan ini disetarakan dengan Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, dan Guru Besar. Jabatan memiliki masa berlaku, bukan seumur hidup. Seperti halnya presiden, jabatan akademik juga dibatasi. Layaknya Presiden, pejabat akademik juga punya kewajiban dan bisa dievaluasi kelayakannya jika tidak memenuhi kewajiban. Bukan hal yang aneh ketika seorang profesor dipecat atau mengundurkan diri seperti yang dilakukan Cardoso.

Kesalahan pemahaman kebanyakan akademisi dan masyarakat umum di Indonesia adalah menganggap profesor sebagai gelar akademis tertinggi yang akan disandang sepanjang hayat. Sesungguhnya, beban dan tanggung jawab seorang profesor sangat berat. Sebagaimana disebutkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, seseorang yang dapat diangkat dalam jabatan akademik profesor adalah yang memiliki gelar akademik tertinggi yaitu doktor. Tugas profesor adalah membimbing calon doktor, menulis buku dan karya ilmiah, serta menyebarluaskan gagasan untuk mencerahkan masyarakat.

Ketika Anda menjadi profesor, tidak berarti tugas Anda meneliti dan menulis selesai. Sebaliknya, Anda punya kewajiban utama untuk terus menulis dan meneliti. Publish or perish, menulis (menerbitkan) atau lenyap. Jika kewajiban tidak dilakukan, sang profesor akan dievaluasi.

Faktanya, tidak semua orang bisa dan punya kualifikasi untuk meneliti, menulis, menyampaikan pemikirannya atau bahkan membimbing calon doktor. Itulah sebabnya ada mekanisme kajian yang mendalam untuk menilai dan memutuskan layak atau tidaknya seseorang menjadi profesor. Selain kelayakan akademis dan administratif, tentu saja yang utama adalah kelayakan substansi: apakah yang bersangkutan punya kontribusi terhadap perkembangan keilmuan atau disiplinnya? Sejauh mana ia menyumbangkan pemikiran dan karyanya terhadap pengetahuan manusia?

Ini mengantarkan saya pada argumen kedua: tanggung jawab universitas.

Menilai dan memutuskan seseorang menjadi profesor tentulah tanggung jawab dari universitas yang bersangkutan, dengan melibatkan ahli-ahli di bidang ilmu tersebut. Sesungguhnya, pengangkatan profesor di sebuah perguruan tinggi merepresentasikan kewibawaan dan kemajuan atau kualitas universitas tersebut. Di dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, universitas, institut, atau sekolah tinggi dapat mengangkat guru besar atau profesor.

Pengangkatan ini tentunya disertai dengan komitmen yang jelas terhadap sang profesor, termasuk menyediakan fasilitas, kompensasi, hingga dana penelitian yang bisa digunakan si profesor untuk mengembangkan bidang keilmuannya. Seseorang tidak diangkat menjadi profesor untuk mendatangkan dana atau nama—atau yang lebih parah, akses kekuasaan—bagi universitas. Sebaliknya, universitas harus berinvestasi besar pada sang profesor untuk memastikan kemajuan lembaga dan ilmu pengetahuan. Tentu saja, di beberapa negara seorang full-professor diharapkan untuk bisa mendatangkan dana riset bagi universitas. Tapi pekerjaan ini bukan kewajiban utama si profesor.

Argumen ketiga saya terkait batasan profesi. Profesor adalah sebuah profesi di bidang akademis. Sebuah profesi memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan dan diikat oleh etika tertentu. Kewajiban profesor adalah melayani pengetahuan bagi manusia: menghasilkan kebenaran yang teruji secara ilmiah dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan orang banyak. Etika yang mengikat seorang profesor juga jelas: bicara hanya atas nama kebenaran dan menjaga integritas akademik.

Politisi bukan sebuah profesi. Tidak ada kewajiban untuk melayani orang banyak dan tidak ada etika khusus yang harus ditaati. Seorang politisi, apalagi ketua partai politik, tidak mungkin bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang profesor. Ini bukan saja soal teknis bagaimana ia mendedikasikan waktunya secara penuh untuk membimbing calon doktor, meneliti, dan menulis, tapi juga karena ia akan kesulitan memisahkan kapan waktunya bicara kebenaran dan kapan waktunya berbohong demi kekuasaan.

Seperti kata Cardoso: “Sebagai politisi, jika Anda mengatakan apa yang Anda inginkan, Anda tidak akan mendapatkan apa yang Anda inginkan”.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.