Menuju konten utama

Dari Panama ke Pandora Papers, Orang Kaya Memang Emoh Bayar Pajak

Selebritas, politikus, pengusaha, pemimpin negara, mereka semua dipertemukan dalam Pandora Papers sebagai orang-orang pengemplang pajak.

Dari Panama ke Pandora Papers, Orang Kaya Memang Emoh Bayar Pajak
Ilustrasi Pandora Papers. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Apa satu kata paling tepat untuk mendeskripsikan orang-orang kaya yang tidak membayar pajak? Presiden ke-45 Amerika Serikat yang juga salah satu orang terkaya di dunia, Donald Trump, dengan ringan menjawab: “pintar.”

Ucapan ini terlontar dalam acara debat Pilpres 2016 antara Trump-Hillary Clinton. Awalnya Hillary mengungkap dugaan bahwa pesaingnya tidak membayar pajak seperti seharusnya. Kemudian Trump menjawab, enteng saja: “Itu membuat saya pintar.” Trump percaya bahwa apa yang diberikannya pada pemerintah pada akhirnya “akan disia-siakan juga.”

Trump akhirnya menang pemilihan dan menjadi Presiden AS terburuk sepanjang sejarah.

Pemikiran seperti ini bukan hanya milik Trump saja. Orang-orang kaya memang cenderung tidak peduli dengan redistribusi kekayaan atau membayar pajak dibanding mereka dengan status sosial lebih rendah. Salah satu yang satu kubu dengan Trump adalah Bernie Marcus dan John Catsimatidis, pebisnis asal AS dengan total kekayaan hampir 10 miliar dolar AS.

“Kami berdua cukup kaya,” Marcus dan Catsimatidis membuka pemikirannya dalam opini berjudul Making Money is a Patriotic Act (2019). “Kami mendapatkan uang lebih dari yang bisa kami bayangkan untuk dihabiskan sendiri sampai anak-cucu kami.”

“Menjadi kaya hari-hari ini seakan hampir seperti sebuah kejahatan. Tapi kami tidak akan meminta maaf, dan kami pikir pemerintah tidak seharusnya mendapat lebih dari kekayaan kami,” kata mereka.

Keduanya tidak mempermasalahkan orang-orang kaya yang mau merogoh kantong lebih dalam untuk membayar pajak, tapi mereka sendiri bersikap “menolak aturan pajak lebih bagi orang kaya.” Alasannya serupa dengan Trump: tidak percaya dengan pemerintah. Marcus dan Catsimatidis, yang sering berdonasi pada yayasan kanker, museum, dana pensiun, sekolah, dan tuna wisma merasa “lebih bijak dalam menghabiskan uang” dibanding pemerintah yang dikontrol oleh politikus.

Bahkan tanpa aturan pajak lebih tinggi pun kaum 1 persen (sebutan bagi orang-orang super kaya) terus berupaya mengemplang pajak. Salah satu upaya yang kerap dilakukan adalah memakai jasa perusahaan offshore (di luar yurisdiksi negara terkait).

Namun, mereka juga tidak luput dari ketajaman kerja-kerja jurnalistik. Pandora Papers yang baru-baru ini terbit berhasil membongkar lebih dari 100 nama miliuner dunia dari 29 ribu akun offshore, 300 pejabat publik, dan 30 pemimpin dunia yang kedapatan menghindar dari kewajiban membayar pajak.

Diperkirakan totalnya bisa mencapai 32 triliun dolar AS. Angka yang jika dirupiahkan hanya membuat kepala para pekerja upahan pusing belaka.

Berawal dari Panama Papers

“Halo.

Ini John Doe.

Tertarik dengan data? Aku dengan senang hati membagikannya.”

Pesan itu sampai di layar ponsel Bastian Obermayer pada 2015. Obermayer adalah reporter di Süddeutsche Zeitung (SZ), salah satu koran terbesar di Jerman.

Obermayer tidak mengungkap dari mana John Doe bisa memiliki nomor gawainya atau bagaimana mereka berkenalan dan yakin bahwa yang bersangkutan adalah seseorang dengan kredibilitas. Namun, yang pasti, sang whistleblower ‘peniup peluit’ telah menggondol 11,5 juta dokumen milik firma hukum di Panama, Mossack Fonseca, dan meminta Obermayer memublikasikannya di media massa.

“Aku akan membantu, tapi ada beberapa syarat. Kamu harus paham betapa sensitif dan bahayanya informasi ini. Nyawaku dalam bahaya jika identitasku sampai terbongkar. Aku sudah menimbang keputusan ini selama berminggu-minggu. Kita hanya akan berbincang lewat saluran yang sudah terenkripsi. Tidak ada pertemuan, sama sekali. Bagaimana mengemas beritanya, itu terserah kau,” demikian instruksi John Doe kepada Obermayer.

Isi dari dokumen itu adalah tentang bagaimana orang-orang kaya di berbagai belahan dunia menyembunyikan kekayaannya. Cara yang paling mudah adalah mengalihkan aset ke negara bebas pajak atau tagihan pajaknya minim–negara tax haven.

Laporan pertama dengan nama Panama Papers dipublikasikan setahun kemudian.

Salah satu nama yang terdapat dalam dokumen tersebut adalah Presiden Rusia Vladimir Putin. Ada berbagai dugaan bagaimana Putin mengelola uang di belakang mata publik. Salah satu yang diceritakan Obermayer adalah adanya setoran 500 juta dolar AS dalam bentuk logam mulia ke orang bernama Hans-Joachim K di Société Générale Bahamas. Setelah ditelusuri, nama Hans-Joachim muncul sebagai pemilik Siemens, salah satu perusahaan manufaktur besar di Jerman.

Dari mana uang itu datang? Mata Obermayer menggasak lagi dokumen-dokumen di hadapannya dan menemukan uang itu berasal dari perusahaan cangkang yang pemiliknya bernama Sergei Roldugin yang tidak lain sahabat Putin.

Tentu Putin berang dan menyebut laporan tersebut sebagai “provokasi”. “Siapa yang melakukan provokasi itu? Kita tahu bahwa di antaranya ada orang dari institusi resmi Amerika Serikat,” kata Putin.

Karena data yang didapat begitu masif hingga mencapai 2,6 terabita, SZ akhirnya meminta bantuan ke International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) yang melibatkan lebih dari 400 jurnalis dari 100 media di 80 negara, termasuk Tempo yang berasal dari Indonesia.

Data yang paling tua terlacak hingga 1970-an. BBC menganalogikan, jika jumlah temuan Wikileaks adalah seluruh penduduk San Francisco, maka Berkas Panama adalah total penduduk India, yang terbanyak kedua di dunia setelah Cina.

Meskipun ICIJ sudah dibentuk sejak 1997, namun baru kali ini mereka berhasil merilis laporan yang melibatkan banyak politikus, sampai 143 orang, bahkan termasuk mereka yang merupakan pemimpin negara. Sekejap, Panama Papers jadi simbol keberhasilan investigasi ICIJ. Penerbitan Paradise Papers pada 2017 pun belum mampu membuat keberhasilan Panama Papers tergeser dari benak publik.

Tahun ini, beberapa waktu lalu, cara orang-orang kaya menyembunyikan kekayaannya dibeberkan lagi oleh ICIJ dalam laporan bernama Pandora Papers.

Terobosan Pandora

Salah satu yang serius menggarap investigasi soal pajak orang kaya adalah organisasi non-profit Propublica. Mereka mengungkap pebisnis terkemuka seperti Jeff Bezos (pemilik Amazon), Elon Musk (pendiri Tesla), dan Michael Bloomberg (mantan Wali Kota New York) tidak membayar pajak atau hanya membayar sebagian.

Propublica tidak menggunakan sumber primer, tapi membandingkan berapa besaran pajak yang diterima Internal Revenue Service (IRS) AS dengan kekayaan orang-orang tersebut yang tercatat di media ekonomi terkemuka Forbes. Pengusaha Warren Buffet, misalnya, diketahui membayar 23,7 juta dolar AS selama 2014-2018 padahal kekayaannya meningkat 24,3 miliar dolar AS sepanjang itu. Artinya, Buffet hanya membayar 0,1% dari setiap 100 dolar AS yang dia hasilkan.

Aksi-aksi mengemplang pajak seperti ini juga melibatkan tidak hanya orang kaya itu sendiri. Banyak orang, yang daripada membongkar aksi-aksi ingkar bayar pajak, justru membantu orang-orang kaya untuk melindungi hartanya. Pembukaan rekening offshore adalah salah satu cara yang paling mudah ditemukan.

Infografik Pandora Papers

Infografik Pandora Papers. tirto.id/Fuad

Pam Reicks, mantan manajer di IRS yang pensiun akhir 2017, mengaku saat masih aktif sangat frustrasi dengan keadaan. Begitu banyak rekening offshore yang tersebar tapi tidak semuanya bisa diselidiki. “Kamu bisa melihat semua pelanggaran dan penggelapan yang ada dan mereka tidak membayar pajak, tapi kamu tidak bisa menangkapnya,” katanya dilansir TheAtlantic.

Sekarang, dengan berbagai dokumen yang bocor, tak hanya orang-orang seperti Reicks saja yang bisa melihat kebusukan para pengemplang pajak, tapi juga semua orang. Sesuai namanya, Pandora–dalam mitologi Yunani adalah guci/kotak terlarang yang berisi dosa dan segala iblis–memuat cara-cara licik orang kaya mengamankan harta. Dosa-dosa itu dulu tertutup, tapi ICIJ kini membukanya, sesuai dengan pembukaan manifesto mereka: “Kebenaran dalam bahaya. Sekarang adalah waktu untuk memperjuangkannya.”

Pandora Papers membuat gebrakan lain yang lebih besar dibanding Panama. Dokumen yang terlibat mencapai lebih dari 11,9 juta dengan kapasitas data 2,9 terabita dan melibatkan 14 perusahaan jasa keuangan didukung oleh 600 jurnalis.

Pertanyaannya sekarang, apa yang akan dilakukan otoritas berwenang kepada mereka yang termaktub dalam dokumen tersebut?

Baca juga artikel terkait PANDORA PAPERS atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino