Menuju konten utama
Miroso

Dari Lumpia hingga Soto: Semerbak Bawang Putih di Semarang

Aneka kuliner Semarang punya benang merah: kuatnya aroma dan rasa bawang putih.

Dari Lumpia hingga Soto: Semerbak Bawang Putih di Semarang
Header Miroso Semarang dan Aroma Bawang Putih. tirto.id/Tino

tirto.id - Keramaian Pasar Semawis selalu melatarbelakangi ingatan saya akan kota Semarang. Semarak lampu terang benderang. Nyaring lagu berdentum kuat dari lapak-lapak karaoke sederhana. Aneka santapan kuliner Tionghoa. Semua terjalin jadi satu di kawasan Pecinan.

Kota Semarang merupakan kota dengan sejarah komunitas Tionghoa yang sangat panjang. Keberadaan kota ini menjadi dikenal bangsa luar sejak kedatangan Cheng Ho dengan misi dagangnya pada abad ke-13. Mulai saat itu, hubungan dagang terus berkembang seiring berjalannya waktu. Perantauan dari daratan Cina pun berdatangan dan menetap di Semarang. Akibatnya, pengaruh-pengaruh budaya Tionghoa ikut masuk dan menjadi bagian kuat dari identitas Semarang kini.

Hal ini dapat dilihat dari menjamurnya makanan-makanan bercirikan masakan Cina di ibukota Jawa Tengah ini. Tak hanya sebagai makanan yang dinikmati hanya oleh kalangan masyarakat Tionghoa dan peranakan, tapi juga diterima oleh segala lapisan masyarakat.

Berkat kuatnya sejarah komunitas Tionghoa, mencari masakan Cina yang orisinil di Semarang bisa dikatakan sangat mudah. Mulai dari restoran-restoran besar hingga warung-warung yang menyajikan kuliner peranakan versi makanan rumahan. Yang paling populer tentu saja lumpia, yang sekarang sudah jadi ikon kuliner Semarang dan punya ciri khas dibandingkan dengan lumpia dari daerah lain, yaitu rebung sebagai bahan inti.

Sebelumnya perlu diketahui bahwa masakan Cina memiliki tiga bahan kunci: bawang putih, jahe, dan daun bawang. Dalam dunia masak-memasak, seringkali ketiga bahan ini disebut sebagai trinitas suci dalam masakan Cina (holy trinity of Chinese cooking). Ketiga bahan kunci tersebut kemudian menjadi dasar dari kreasi kuliner yang tak ada habisnya.

Saya sendiri punya anggapan, kalau makanan di Semarang punya jejak rasa bawang putih yang kuat karena pengaruh ini. Uniknya, rasa bawang putih kuat yang merupakan tradisi kuliner Cina, berpadu dengan rasa Jawa yang punya sentuhan rasa manis.

Kedatangan saya di Semarang terakhir kalinya, kembali menguatkan kesan saya tentang teori bawang putih ini. Contohnya saja, semangkok mie kopyok yang saya nikmati di siang hari, memiliki sensasi bawang putih yang kuat. Bahkan, sejak sebelum kuahnya saya sruput pelan-pelan. Resep kuahnya memang cukup sederhaha, yaitu bawang putih, kecap dan cabai rawit saja, sehingga rasa yang muncul pun tidak terlalu rumit.

Sejurus dengan mie kopyok, tahu gimbal yang identik dengan kota Semarang memiliki dasar rasa yang mirip – kuah dengan rasa dan aroma bawang putih kuat. Begitu juga lumpia rebung yang saya sebutkan sebelumnya. Untuk menikmati jajanan ini, biasanya ditemani dengan saus yang dibuat khusus dari bawang putih.

Dominasi bawang putih ini saya temukan pula pada seporsi soto gagrak Semarang. Soto yang memang jenis hidangan yang merespons identitas sekitarnya, rupanya turut bersemangat membawa gelora bawang putih. Kaldunya sendiri memang sudah kuat dengan aroma bawang putih. Dan, itu semua tak berhenti di sana.

“Kurang mantap kalau nggak pakai taburan bawang putih,” ujar kawan saya, orang asli Semarang yang menemani saya hari itu.

Ia lantas mengambil sejumput irisan bawang putih goreng kering dan menaburkannya di atas mangkok sotonya. Bawang putih goreng yang kemampul di atas kuah soto kawan saya itu berhasil mempertegas semua rasa.

Infografik Miroso Semarang dan Aroma Bawang Putih

Infografik Miroso Semarang dan Aroma Bawang Putih. tirto.id/Tino

Perihal betapa kuat rasa bawang putih di kuliner Semarang ini pernah diulas Bondan di salah satu artikelnya, "Gang Pinggir". Artikel itu menuliskan tentang Bondan yang baru saja ditinggal sang Ibu, dan mengenangnya dengan cara napak tilas kuliner.

Salah satu hidangan dengan aroma bawang putih yang kuat di Semarang, tulis Bondan, adalah swiekee yang terbuat dari katak atau kodok, dan pimbak yang bahannya adalah bulus, alias kura-kura sungai. Beberapa warung yang menjual hidangan ini sudah buka sejak pagi dan kerap dijadikan tujuan sarapan andalan bagi sebagian orang.

"Keduanya disajikan dengan kuah tauco yang sama. Ditaburi bawang putih goreng dalam porsi yang sangat generous. Pokoknya akan segera ketahuan apakah Anda baru makan swiekee dan pimbak Semarang dari napas Anda yang bau bawang putih. Karena bulusnya sering sulit didapat, para pedagang biasanya menempatkan papan pengumuman di depan warung: “Ada Pimbak”," tulis Bondan.

Berlanjut ketika malam menjelang dan jajanan kaki lima berganti shift, dominasi bawang putih ini tetap terasa kuat. Dari setiap warung, tercium aroma kuat bawang putih. Di warung-warung tenda babat gongso yang menggoda, asap putih menjulang setiap tukang masak memasukkan bumbu-bumbu dan babat ke dalam wajan besar, membawa semerbak wangi bawang putih hingga ke jalanan.

Aroma ini diperkuat oleh warung mie Jawa yang juga menghidangkan nasi goreng dengan dasar rasa yang sama. Sebenarnya, perkenalan saya dengan mie Jawa versi Semarang inilah yang membawa saya pada kesimpulan adanya dominasi bawang putih pada jajanan-jajanan di Semarang. Dikenalkan oleh Pakdhe, saya awalnya tak punya ekspektasi apapun pada seporsi bakmi goreng di sana.

“Paling ya sama seperti di Yogya,” batin saya saat itu.

Akan tetapi, ternyata dominasi bawang putihnya mengejutkan saya. Sepiring mie yang terhidang warnanya coklat pucat, dengan rasa manis yang samar, tapi jangan ditanya tentang aroma bawang putihnya: menendang kuat di hidung dan meninggalkan jejak di lidah. Tak seperti yang biasa saya santap di Yogyakarta.

Sejak saat itu, setiap aroma bawang putih di jajanan Semarang, selalu membawa ingatan saya pada momen itu. Saya yang waktu itu masih remaja, duduk di warung berdiding kayu di malam hari, menyantap bakmi goreng dan jeruk nipis hangat ditemani Pakdhe yang kini sudah almarhum.

Hangat.

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Rizkie Nurindiani

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Rizkie Nurindiani
Editor: Nuran Wibisono