Menuju konten utama

Dari Lidah Sampai Vagina, Hikayat Cabai Memedaskan Nusantara

Harga cabe melambung. Jika harga cabe masih tak terkendali, akan ada konversi lebih massif dari cabe ke saus curah.

Dari Lidah Sampai Vagina, Hikayat Cabai Memedaskan Nusantara
Petani memperlihatkan cabai merah yang dipanen lebih awal di areal persawahan Desa Meuria Paloh, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (9/11). Menurut petani setempat harga cabai merah besar di tingkat petani mencapai Rp80 ribu per kilogram, sementara di tingkat pedagang harga melonjak Rp100 ribu hingga Rp120 ribu per kilogram dari harga normal Rp40 ribu per kilogram. ANTARA FOTO/Rahmad/kye/16

tirto.id - Tanpa cabai, makanan Indonesia sering dianggap belum lengkap. Jangankan sambal, sayur saja butuh cabai. Bisa dibayangkan betapa tercekiknya ibu-ibu atau orang lain yang doyan memasak ketika harga cabai melambung. Seperti halnya manis, asin, juga asam, pedas pun harga mati bagi sebagian orang Indonesia.

Sebelum ada tanaman cabai yang kini harganya makin melangit hingga Rp 120 ribu per kilo, orang Indonesia sudah terbiasa dengan pedas. Dahulu kala, menurut Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016), cabai jawa, yang bernama latin piper retrofractum adalah bahan pemedas makanan asli Nusantara. cabai jawa kini tergusur oleh cabai alias lombok yang bernama latin capsicum Annnum. cabai jawa ini sekarang sudah langka dan tidak lagi populer sebagai pemedas.

Cabai, alias lombok ini, berasal dari Amerika Selatan. Setelah Christoforus Columbus membuang jangkarnya di perairan sekitar Amerika Latin, maka orang-orang Portugis dan Spanyol membawa tanaman itu ke belahan lain dunia ini setelah abad ke-16. Sejak ribuan tahun silam, cabai yang bermacam jenis itu sudah dibudayakan penduduk asli Amerika.

Menurut Lizzie Collingham dalam Curry: A Tale of Cooks and Conquerors (2006), penduduk asli benua Amerika menggunakan tanaman sejenis cabai sebagai bumbu-bumbu dalam makanan mereka. Menurut Maguelonne Toussaint Samat dalam A History of Food (1992), bagi orang-orang asli Amerika, cabai sangat membantu mereka yang kekurangan vitamin. Seperti paprika, cabai juga mengandung vitamin A dan C. Menurut Andrew Dalby dalam Dangerous Tastes: The Story of Spices (2000), cabai sudah dikonsumsi di Amerika latin sejak 7000 SM, dan sengaja dibudidayakan sejak 4000 SM.

Orang-orang Portugis yang kemudian memperkenalkan cabai ke Nusantara.

“Portugis membawa dari Brazil tomat, mandioc, seledri air, selada, cabai rawit, nenas, pepaya dan ubi jalar,” tulis António d'Oliveira Pinto da França dalam Pengaruh Portugis di Indonesia (2000).

Ada banyak jenis cabai. Namun cabai jenis mana yang paling pedas? Simak data Tirto: Inilah cabai Paling Pedas Sedunia.
Orang-orang Portugis hanya membawa dan memperkenalkan cabai ke Indonesia. Tujuan utama orang-orang Portugis datang ke Nusantara tentu bukan untuk berdagang cabai, melainkan hendak membeli murah lada dan rempah-rempah lain di Indonesia, lalu menjualnya di Eropa. Lada juga pemedas lainnya sebelum cabai populer di Nusantara. Tentu saja kepedasannya berbeda.

Orang Indonesia cenderung lebih menyukai pedas di lidah daripada pedas di perut. Karena itu cabai lebih jadi pilihan. “Kalau sifat lada sebagai jenis rempah lebih panas ke perut, sedangkan cabai impor dari benua Amerika itu pedas di lidah dan tak panas di perut. Inilah alasan kenapa lada berkurang konsumsinya sebagai bahan pemedas dalam budaya makan pribumi,” ujar Fadly Rahman kepada Tirto. “Sejak abad ke-16 kita sudah serba bergantung dengan capsicum alias cabai-cabaian yang asalnya dari benua Amerika,” ujar Fadly Rahman.

Setidaknya, banyak sekali makanan di Indonesia yang memakai cabai sebagai bahan bumbu wajibnya. Baik sebagai sambal, maupun sebagai sayur. Bahkan di daerah Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ada sayur lombok yang berbahan cabai. Bayangkan jika harga cabai makin tak terkendali dan cabai tak terbeli, sayur lombok barangkali terancam punah.

Infografik Cabai

Sudah pasti sambal, yang selama ini jadi pelengkap banyak hidangan makanan Nusantara, pun terancam. Belum lagi sambal goreng, dengan cabai jadi pelengkap utama. Dalam bukunya Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 (2011), setidaknya Fadly mendata ada 30an jenis sambal dan 6 sambal goreng di zaman kolonial. Banyak di antaranya masih disantap di Indonesia.

Fadly Rahman, yang di kalangan sejarawan Indonesia dikenal sebagai pakar sejarah kuliner, pun khawatir. “Harga cabai melambung selangit, itu pertanda. Kiamat bakal melanda industri kuliner kita yang banyak lekat dengan sensasi pedas.”

Fadly melihatnya dari kasus-kasus yang paling kecil. Tanda-tandanya sudah tampak dari tukang-tukang gorengan yang tidak lagi memberi cabai rawit, tapi saos curah. Ini serius. Ini contoh kecil saja.

"Dampaknya bisa lebih besar melanda industri kuliner kita,” ujar Fadly. Lama-kelamaan, kata Fadly, jika harga cabai masih tak terkendali, akan ada konversi lebih massif dari cabai ke saus curah. Hingga kenikmatan makan gorengan dengan cabai pun bisa terancam. (Dalam banyak kesempatan, harga cabai memang sering melambung tinggi, bahkan bisa lebih mahal daripada beras. Simak analisis Tirto yang lain: Drama Kenaikan Harga cabai yang Selalu Berulang)

Di balik keakrabannya dengan lidah orang-orang Indonesia, cabai juga pernah menjadi bagian pilu dari derita kuli-kuli di perkebunan Sumatra. Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli (1997) menuliskan bagaimana cabai atau sambal menjadi alat siksa bagi kuli perempuan di perkebunan. Jika ada kuli perempuan dihukum maka perempuan malang itu diikat di tonggak salib, lalu kemaluannya diolesi cabai.

Begitulah secuplik cerita cabai memedaskan lidah Indonesia. Jika dihitung sejak kedatangan orang Portugis pada abad ke-16, setidaknya hampir setengah milenium cabai telah memedaskan Nusantara.

Baca juga artikel terkait CABE atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS