Menuju konten utama

Dari Lantai Pabrik ke Ojek Online: Perubahan Makna Buruh dan Kerja

Benarkah Anda lebih bebas ketika pemerintah ingin semua warganegara menjadi wirausahawan?

Dari Lantai Pabrik ke Ojek Online: Perubahan Makna Buruh dan Kerja
Ratusan buruh melakukan aksi unjuk rasa saat peringatan hari Buruh Internasional di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/5/2019). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/ama.

tirto.id - Sekitar 85 tahun yang lalu, ekonom Belanda J.H. Boeke mencetuskan konsep dual economy. Kaki kanan orang Hindia Belanda (Indonesia) berada di perkebunan yang terhubung dengan ekonomi global sementara kaki kirinya di sawah, masih terikat pada dunia pra-kapital.

Kondisi Indonesia kini lebih kompleks dengan ekonomi yang lebih digerakkan sektor informal. Tercatat, hampir 70 juta orang yang bergerak di usaha jasa dan perdagangan kecil. Jumlah tersebut lebih dari 50% dari total angkatan kerja di Indonesia. Karena itu, kaki kanan pekerja di Indonesia bukan lagi di semata perkebunan dan pabrik, melainkan sektorinformal. Inflasi, tingginya hasrat konsumsi, jeratan hutang, dan rendahnya jaminan sosial dari negara menyebabkan para pekerja sektor informal merangkap dua hingga tiga jenis pekerjaan. Sangat umum ditemukan penjual makanan sekaligus jual pulsa dan membuka jasa tambal ban dalam. Atau yang paling umum orang yang bekerja di pabrik pada siang hari dan menarik ojek online pada malamnya.

Buruh di Era Pasca-Fordisme

Dunia mengalami sebuah transformasi yang disebut sebagai “pasca-fordisme”. Istilah ini mengacu pada situasi di mana buruh tidak lagi bekerja dengan pengawasan penuh dari pukul 8 pagi sampai 5 sore untuk memproduksi mobil Ford. Saat ini buruh bertransformasi menjadi individu wirausahawan atomis, otonom, dan bebas—meski rentan. Buruh tidak lagi melihat dirinya sebagai agen produksi namun juga pelaku konsumsi.

Dengan berakhirnya masa industri yang menekankan pada produksi massal dari lantai pabrik, negara mendesak setiap warganegaranya (citizen) untuk beralih fungsi menjadi wirausahawan (entrepreneur). Sebagai wirausahawan, warganegara dapat dipajaki alih-alih diberi subsidi.

Seiring dengan tingginya angka harapan hidup, pemerintah mempunyai kepentingan untuk menghapuskan masa pensiun demi menghemat beban fiskal golongan masyarakat yang tidak produktif lagi. Rata-rata warga dari negara-negara anggota organisasi kerjasama dan pembangunan ekonomi (OECD), termasuk Indonesia, akan menghabiskan waktu yang sangat lama dalam masa pensiun. Laki-laki menghabiskan masa pensiun antara 14 dan 24 tahun, sedangkan perempuan antara 21 dan 28 tahun. Angka ini 50% lebih tinggi ketimbang pada tahun 1970.

Itulah kenapa pemerintah berkepentingan untuk mengubah status warganegara ke wirausahawan. Pemerintah mencari cara untuk mempertahankan warga negara senior agar tetap bekerja, yakni dengan menjadikan mereka entrepreneur karena jenis pekerjaan ini hampir tidak mengenal kata pensiun.

Sementara di perkantoran, pabrik, dan berbagai institusi telah mengubah sistem pekerjaan dengan menitikberatkan pada kinerja dan produktivitas alias meritokrasi. Sistem ini mengubah kerja menjadi berdasarkan jenjang senioritas dan loyalitas seumur hidup atau yang disebut gerontokrasi (gerontocracy). Meritokrasi menendang mereka yang berusia tua dan lebih mengedepankan mereka yang berusia muda, gesit, dan fleksibel. Di Indonesia, sistem ini semakin mulus dengan munculnya Undang-Undang Cipta Kerja yang otomatis mengubah mekanisme legal terkait rekrutmen dan pemecatan di perusahaan.

Banyak sektor pekerjaan publik dan formal dengan kontrak jangka panjang hari ini mulai menghilang. Lalu, muncul satu kelas sosial dengan jenjang di bawah buruh, yakni kelas prekariat—yang dalam istilah aslinya, dalam bahasa Italia, disebut precariato. Istilah ini mengacu pada jenis pekerjaan kasual, fleksibel dan berpendapatan rendah. Posisi kelas prekariat ini mirip dengan lumpenproletariat dalam perspektif Marxis. Mereka adalah pekerja yang terpisah dari arus utama pertumbuhan ekonomi yang cepat namun tidak mempunyai kesadaran kelas karena tidak mempunyai serikat kerja, kurang dukungan secara sosial, dan masa depannya tak dijamin negara.

Sektor Informal dan Paradoks Kebebasan

Kebebasan individu adalah aspirasi tertinggi yang ditekankan dalam sistem pekerjaan pasca-fordisme. Ini berbeda dengan generasi buruh sebelumnya yang mendudukkan kebebasan sebagai motivasi yang paling diinginkan. Kini pekerja berhak mempunyai pilihan atas hidup dan menyelaraskan keinginan mereka dengan dengan konfigurasi baru kapitalisme yang lebih menekankan pada hasrat konsumsi dan utang daripada produksi massal (sebagaimana jaman Fordisme).

Salah satu janji utama dalam pekerjaan pasca-fordisme adalah fleksibitas dan kebebasan. Pekerja tidak harus loyal seumur hidup. Kebebasan pekerjaan juga membongkar sistem patron-klien dan menjanjikan egalitarianisme antara pekerja dan pelanggan. Contohnya adalah sopir ojek online. Pelanggan bukan tetangga rumah atau kenalan yang dilayani secara reguler, melainkan secara acak datang dari pemesan online. Para pengangguran maupun pekerja pabrik kemudian juga mengambil pekerjaan ojek online sebagai sampingan. Alasan utamanya, ojek online lebih bebas dibanding pekerja konvensional yang bekerja delapan jam di kantor atau pabrik. Pekerja dapat pergi ke mana pun ia suka dan tidak harus bekerja ketika sakit atau dalam keadaan mabuk.

Infografik Perubahan Makna Buruh dan Kerja

Infografik Perubahan Makna Buruh & Kerja. tirto.id/Quita

Namun demikian, kebebasan ini menemukan paradoksnya. Fleksibilitas kerja dalam bentuk sektor informal, pekerja temporer, pekerja lepas, pekerja subkontrak menggiring mereka ke dalam apa yang disebut Guy Standing dalam bukunya The Precariat: The New Dangerous Class (2011) sebagai perangkap kerentanan (precarity trap).

Pekerja temporer memiliki kehidupan yang penuh risiko. Seorang pekerja lepas, misalnya, akan menyesuaikan biaya hidupnya dengan upah yang dia peroleh selama kontrak kerja. Kemudian ketika kontrak kerjanya berakhir. Dia akan memiliki tabungan selama beberapa waktu untuk mendapatkan pekerjaan baru kembali. Pada saat jeda kerja (menganggur sementara), ia menurunkan standar hidupnya karena harus tetap membayar uang sewa rumah/kos. Para pekerja lepas juga biasanya tidak mendapatkan tunjangan kesehatan, tunjangan anak, dan pesangon yang besar. Upahnya hanya cukup untuk dirinya sendiri sehingga tidak mempunyai kemampuan membantu keluarga secara signifikan. Ketika kesulitan datang di tengah jeda kerja, pekerja temporer cenderung berutang kepada kerabat, teman, tetangga atau kredit online yang mengintai. Utang adalah bensin bagi mesin ekonomi pasca-fordisme. Kondisi jeda inilah yang membuat pekerja temporer sangat rentan terjebak dalam perangkap kerentanan.

Jebakan kerentanan juga membuat pekerja fleksibel seperti sopir ojek online (ojol) miskin mobilitas ekonomi meski mobilitas secara fisik mereka sangatlah tinggi. Sopir ojol tak punya kans untuk dipromosikan jabatannya meskipun keahliannya meningkat—misalnya dalam menguasai jalan tikus dan cekatan bermanuver. Sebaliknya, mobilitas sopir ojol yang tinggi justru mempertinggi resiko kecelakaan mereka—dan perusahaan tempatnya bekerja tidak menyediakan asuransi.

Dalam laporan etnografi terbaik di Asia Tenggara, Owners of the Map: Motorcycle Taxi Drivers, Mobility, and Politics in Bangkok (2017), Claudio Sopranzetti menunjukkan bahwa sopir ojol adalah infrastruktur yang tidak terlihat. Mereka berperan menghubungkan orang di jalanan Bangkok yang macet dan mengantarkan komoditas barang di dalam kota. Seperti wirausahawan, sopir ojol melihat dirinya sebagai agen ekonomi yang bebas daripada sebagai seorang buruh. Selayaknya di Indonesia, sopir ojol tidak mempunyai serikat kerja dan tidak menganggap diri mereka sebagai kelompok yang bersatu. Setiap pekerja sepenuhnya otonom dan beroperasi hampir tanpa koordinasi dengan rekannya.

Prekariat: Kelas Pekerja yang Berbahaya

Guy Standing mewanti-wanti bahwa prekariat ini adalah kelas baru yang berbahaya karena jumlahnya semakin banyak, tidak terkoordinasi dengan baik, frustasi karena tidak punya masa depan. Walhasil, dengan mudah mereka akan terjebak ke dalam gerakan politik identitas yang dimainkan oleh politisi pro-kapitalis. Pandangan Standing ini tentu mengingatkan pada karya klasik Karl Marx, The Eighteenth Brumaire of Louis Napoleon (1852). Marx mencatat Louis Napoleon (keponakan Napoleon Bonaparte) menggambarkan dirinya sebagai perwakilan massa tani dan lumpenproletariat yang berhasil menggulingkan aristokrat Louis Philippe. Meski demikian, nasib kaum tani dan lumpenproletariat tak lebih baik di bawah Louis Napoleon.

Di tingkatan bawah, Gaston Gorrido, dalam studi etnografinya The Patchwork City: Class, Space, and Politics in Metro Manila (2019) menunjukkan bagaimana kelas prekariat terkagum-kagum pada tokoh populis. Pada zamannya, presiden Filipina Joseph Etrada dicitrakan sebagai pemimpin populis dan sangat dicintai oleh kaum miskin kota yang tinggal di perkampungan kumuh. Alasannya sederhana, Estrada adalah mantan aktor yang selalu berperan sebagai sopir truk atau angkutan umum di hampir semua filmnya. Ia juga seorang pemabuk yang sangat sembrono. Pekerjaan dan tingkahnya ini dianggap mewakili kehidupan kelas bawah masyarakat Manila. Meski demikian, apa yang dilakukan Estrada tidak benar-benar revolusioner. Ia dipenjara karena membegal dana pensiun dan suap dari judi ilegal. Kaum kumuh yang mengidolakannya tetaplah tertinggal.

Sopranzetti menunjukkan bagaimana Perdana Menteri Thaksin Thaksinawarta menggunakan Sopir ojol ini menjadi kendaraan politik populisnya di Bangkok. Thaksin dianggap sebagai perdana menteri yang melegalkan status pengemudi online sehingga para sopir ojol tidak harus bersitegang dengan pengemudi resmi lainnya. Meski demikian, haluan politik Thaksin sebagai pengusaha tulen tetaplah menempatkan model ekonomi pro-pasar sebagai panglima tertinggi. Ia masih mengurangi intervensi negara dalam soal urusan pasar dan tidak menekankan pajak progresif terhadap pengusaha besar.

Berbeda dengan gerakan buruh di abad ke-20 yang lebih berdekatan dengan ideologi kiri, saat ini gerakan prekariat justru bersifat apolitis dan tidak terkoordinasi. Hal ini membuat mereka lebih rentan dijadikan kendaraan politisi populis. Perbedaan pandangan ini di ranah mikro sebenarnya berawal dari kondisi buruh yang tidak sama.

Meneliti buruh Pelabuhan Calcutta, India, Laura Bear, antropolog dari London School of Economics, menunjukan dalam Navigating Austerity (2015) bahwa buruh dalam sistem lama yang bekerja dengan kontrak penuh mempunyai hak lebih istimewa. Sedangkan buruh sistem kontrak (outsourcing) tidak mempunyai jaminan seperti yang dimiliki buruh lama. Tahun 1998 adalah puncaknya rekruitmen pekerja kontrak. Jenis pekerja tetap dikurangi dan yang direkrut adalah pekerja temporer dengan tanpa jaminan kecelakaan kerja dan pensiun. Terjadinya perubahan sistem rekrutmen pekerja dari yang permanen ke outsourcing tak jarang menimbulkan banyak iri hati dan perpecahan antara pekerja yang mapan dengan tenaga kerja kontrak. Para pekerja lama yang mapan dilindungi oleh serikat (union) di saat pekerja kontrak mengalami de-unionisasi. Perbedaan kasta pekerja ini menyebabkan kelas buruh permanen dipandang lebih “aristocrat” sedangkan tenaga kerja kontrak mengalami kerentanan. Buruh dengan sistem kerja lama dapat bebas berekspresi melakukan demonstrasi, sedangkan para pekerja kontrak tidak.

Perubahan sistem ekonomi dan perbedaan perlakuan para pekerja ini nantinya membuat pilihan politik antara buruh yang mapan dengan pekerja kontrak cenderung berbeda. Hilangnya jaminan sosial menyebabkan para buruh prekariat frustasi dan marah dengan keadaan. Tak heran jika mereka kemudian memilih partai-partai konservatif dan pemimpin populis di saat buruh lama yang mapan, mempunyai privilese untuk tetap progresif dan mengesankan dirinya sebagai “kiri” seolah dunia masih di jaman Fordisme abad ke-20.

============

Hatib A. Kadir adalah dosen Antropologi Universitas Brawijaya dan Visiting Professor di School of Foreign Languages, Peking University.

Baca juga artikel terkait BURUH atau tulisan lainnya dari Hatib A Kadir

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Hatib A Kadir
Penulis: Hatib A Kadir
Editor: Windu Jusuf