Menuju konten utama
Miroso

Dari Gudeg Hingga Bagel: Sulitnya Mencari Rasa yang Persis

Dalam dunia masak memasak, resep yang sama belum tentu menghasilkan rasa yang sama.

Dari Gudeg Hingga Bagel: Sulitnya Mencari Rasa yang Persis
Header Miroso Jalan Panjang Mematenkan Resep. tirto.id/Tino

tirto.id - Suatu hari, bapak mertua yang tinggal di Surabaya pergi berkunjung ke Jakarta. Mungkin agar merasa ada di rumah, kerabatnya mengajak beliau untuk makan di cabang sebuah restoran yang pusatnya ada di Surabaya. Ternyata pengalaman itu membekas bagi bapak. Sayangnya, bukan pengalaman yang baik.

"Di Surabaya rasanya enak sekali, tapi yang di Jakarta kok nggak enak, ya," ujarnya.

"Mungkin airnya beda, Pak," ujar saya mencoba ikut menalar. Antara bercanda, tapi juga serius.

Kisah tentang air yang berbeda dan menghasilkan rasa makanan yang berbeda pula ini pernah saya dengar dari seorang kawan yang lama merantau di Jakarta. Dia menceritakan tentang kenapa di Jakarta tidak bisa mendapat gudeg dengan cita rasa persis seperti di Yogyakarta, alasannya ya karena air berbeda.

Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia, lho.

Perkara air, pernah dibahas serius oleh Kenji Lopez di Serious Eats. Ia menguji seberapa besar pengaruh kadar mineral pada air dalam menghasilkan pizza yang lezat. Memang, ada banyak faktor yang menentukan kelezatan sebuah pizza, tapi, "...dua porsi yang dibuat dengan Evian --air dengan mineral tertinggi yang kami coba-- menghasilkan crust yang paling renyah, meski tidak ada tren yang cukup di dalam data untuk memberikan kesimpulan yang tegas."

Sedangkan menurut Matt Blitz dari Food and Wine, air memang ambil peran dalam makanan-makanan paling populer dari New York: bagel dan pizza. Maka secara alami, bagel dari New York dan Florida jelas akan berbeda karena kandungan airnya pun berbeda meski mereka memakai resep yang sama.

Hal ini kemudian membawa pada kesimpulan: resep yang sama tak melulu menghasilkan rasa yang persis. Ada banyak faktor yang memengaruhi rasa.

Rumah makan yang sama tapi di kota yang berbeda, juga bisa menghasilkan rasa yang berbeda pula. Seperti yang dialami bapak mertua saya. Bahkan ada rumah makan keluarga yang begitu turun waris ke beberapa anaknya, jadi menghadirkan rasa yang berbeda pula – padahal resep yang digunakan sama. Untuk perkara ini, salah satu solusi yang dipakai adalah makanan dimasak di satu dapur utama, lalu disebar ke warung-warung yang berfungsi jadi outlet mereka.

"Tangannya beda, hasilnya beda," begitu Ibu saya sering berkata tentang perihal masak-memasak dan resep masakan.

Cara mengaduk, ukuran genggaman tangan, atau sensitivitas lidah bisa jadi berbeda. Gudeg Yu Djum membuka paket pengalaman memasak gudeg dengan resep yang mereka pakai. Apakah dengan ikut kelas ini lantas masakan kita sama dengan mereka? Tentu tidak.

Dalam tulisannya yang berjudul "Cooking Skills, the Senses, and Memory", David Sutton menjelaskan bahwa praktik (memasak) ini tidak melulu bersifat terlatih atau terencana --seperti membaca resep. Namun juga ada pengaruh dari pikiran dan badan. Yang Sutton maksudkan di sini, dalam kondisi yang mungkin mirip, indera seseorang memainkan peran yang sangat penting sebagai penuntun ketika memasak.

Sensitifitas indera dan kebiasaan kita jelas memberikan perbedaan dalam cara pengolahan masakan – meski kita sangat berhati-hati dalam membaca dan mengikuti resepnya. Muscle memory, begitu kadang disebutnya, hanya bisa didapatkan dengan pengulangan aktifitas terus-menerus.

Selain hal-hal yang terkait dengan ketubuhan itu, faktor lain yang turut berpengaruh pada rasa makanan terletak pula pada bahan yang dipakai.

Kualitas bahan atau asal muasal suatu bahan punya pengaruh besar pula. Sayuran di tanah Pasundan katanya lebih segar dari yang ada di Yogyakarta. Bawang putih impor dan bawang putih lokal dari lahan sendiri, nyata beda rasanya. Ukuran bahan yang berbeda menjadikan kita harus menerka-nerka pula, seberapa banyak yang dibutuhkan. Dan juga mungkin rasa air, seperti yang diceritakan kawan saya tadi.

Salah satu elemen yang sering dipakai dalam membuat rasa yang sama adalah standarisasi dan otomatisasi, seperti yang dilakukan banyak restoran waralaba. Meski begitu, waralaba pun bukan jaminan sepenuhnya. Seorang kawan yang pernah tinggal di Kalimantan Tengah, bercerita bahwa di sana pun restoran waralaba tak memiliki rasa yang sama dengan di kota lain.

“Air di sini keasamannya tinggi,” ujarnya.

Infografik Miroso Jalan Panjang Mematenkan Rese

Infografik Miroso Jalan Panjang Mematenkan Resep. tirto.id/Tino

Susahnya menjiplak rasa meski memiliki resep yang sama ini menjadi poin penting dalam urusan paten-mematen suatu resep. Beberapa kali pertanyaan "Bisakah kita mematenkan resep?" dilontarkan pada saya dalam obrolan-obrolan ringan.

Jawabannya: bisa dan tidak.

Dalam koridor hukum, salah satu alasan utama yang membuat suatu resep bisa dipatenkan adalah adanya suatu kebaruan, suatu hasil yang "tidak biasa" dari resep tersebut. Maksudnya adalah adanya teknik baru yang memiliki pengaruh, yang dapat mengatasi suatu masalah dalam dunia masak memasak saat ini. Salah satu contoh yang sering digunakan adalah formula mengawetkan makanan lebih lama.

Urusan resep atau formula yang bisa dipatenkan ini biasanya melibatkan teknologi hingga penelitian panjang. Biayanya tinggi dan prosesnya lama serta berliku, belum lagi kontrol setelah paten diraih. Karena itulah, biasanya yang mengajukan paten adalah produsen makanan besar dengan formula spesifik.

Jika sekadar menambahkan bahan baku baru untuk mengubah rasa atau tekstur, atau bahkan menciptakan makanan baru, resep tersebut tidak dapat dipatenkan. Salah satu alasannya adalah karena tidak ada “kebaruan” dan bisa ditebak hasilnya.

Kita bisa menambahkan kayu manis pada putu ayu dan membuatnya menjadi kudapan baru, tapi hal itu mudah ditiru karena bahan tambahan bisa ditebak dari rasanya sehingga tak dapat dipatenkan. Banyaknya keripik dengan rasa yang mirip adalah contoh yang lain. Selama merk dagang tidak digunakan, sah-sah saja menjual makanan dengan rasa yang sama.

Kalaupun bisa mematenkan resep masakan, saya membayangkannya akan butuh proses yang sangat rumit. Penggantian satu bahan baku, membelokkan prosesnya sedikit, atau mengubah takarannya sesuai selera, sudah dapat menjadi pembeda yang melepaskannya dari hukum paten.

Maka itu kenapa KFC dan Krusty Krab lebih memilih menyembunyikan resepnya, ketimbang mematenkannya.

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Rizkie Nurindiani

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Rizkie Nurindiani
Editor: Nuran Wibisono