Menuju konten utama

Dari Garut Menuju Stasiun Kereta Api Tertinggi di Indonesia

Dibuka mulai Agustus 1930, jalur kereta api Garut-Cikajang akhirnya berhenti beroperasi pada November 1982 karena sepi penumpang.

Dari Garut Menuju Stasiun Kereta Api Tertinggi di Indonesia
Header Mozaik Jalur KA mati Garut-Cikajang. tirto.id/Ecun

tirto.id - Pada tahun 1975, rombongan turis asal Selandia Baru menumpangi kereta api jurusan Cicalengka-Cibatu-Cikajang. Sekitar 30 di antaranya menggunakan gerbong wisata produksi tahun 1912 yang ditarik lokomotif produksi tahun 1927.

Pemandangan sungai, gunung, dan lembah khas Priangan menjadi suguhan yang memanjakan mata mereka. Perjalanan tersebut berakhir setelah kereta api kembali ke Stasiun Garut dan para turis beristirahat di pemandian Cipanas.

Jalur kereta api Priangan, termasuk Garut-Cikajang, mempunyai potensi untuk dijadikan jalur wisata. Dalam laporan Harian Bataviaasch Nieuwsblad tahun 1930 disebutkan, para penumpang yang naik kereta akan disuguhi pemandangan yang memanjakan mata dan tak terlupakan.

Pesona wisata di Garut memang sudah terkenal sejak dulu. Dalam dua kunjungannya ke Hindia Belanda tahun 1932 dan 1936, misalnya, Charlie Chaplin dua kali mengunjungi kota yang berjuluk Swiss van Java tersebut.

Dalam kunjungan pertama, Chaplin yang menginap di Grand Hotel Ngamplang sempat mengunjungi Cipanas, Situ Leles, dan Situ Bagendit. Sementara pada kunjungan kedua kalinya, bintang film terkenal itu mengunjungi Kawah Kamojang.

Selain potensi wisata, wilayah Garut selatan khususnya di sekitar Cikajang menyimpan potensi ekonomi yang besar. Para pengusaha khususnya dari Belanda sudah berinvestasi di Cikajang sejak menjelang akhir abad ke-19.

Dalam buku Garoet Kota Intan, Kunto Sofianto menyebut lima perkebunan teh yang dibuat di sekitar Cikajang, yaitu Giriawas, Cisaruni, Cikajang, Papandayan, dan Darajat.

Jumlah ini meningkat pada awal abad ke-20, ketika para pengusahan Belanda, Italia, Jerman, Inggris, dan Cina membuka perkebunan di Cilawu, Cisurupan, Pakenjeng, Cisompet, Cikelet, dan Pemeungpeuk.

Dalam buku Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992 disebutkan, Staatsspoorwegen (SS) mendapatkan ijin untuk membangun jalur kereta api baru dari Garut menuju Cikajang berdasarkan Indische Staatsblad no. 204, tanggal 18 Maret 1921. Tujuannya untuk membuka isolasi Cikajang dan mempermudah transportasi baik penumpang maupun hasil alam.

Sebelumnya, sikap pro kontra sempat mewarnai rencana pembangunan jalur ini. Salah satu pihak yang menentang adalah para anggota dewan rakyat. Mereka menganggap jalur ini tidak akan menguntungkan karena akan kalah bersaing dengan angkutan darat lain yang jumlahnya meningkat di pertengahan 1920-an.

Akan tetapi, Staatsspoorwegen sebagai perusahaan kereta api negara keukeuh untuk membangun jalur ini. Mereka yakin, jalur Garut-Cikajang akan berguna karena tingginya antusiasme masyarakat untuk menggunakan jasa kereta api.

Jalur Kereta Api Cibatu Cikajang

Jalur kereta api Cibatu-Cikajang. FOTO/Wikicommon

Pelabuhan dan Durian Runtuh

Tarik ulur rencana pembangunan jalur ini ditentukan oleh batalnya pembangunan pelabuhan samudra di Cilaut Eureun, Pameungpeuk. Pelabuhan di kota bagian paling selatan Garut ini rencananya akan dijadikan pelabuhan penyalur hasil bumi seperti teh, kopi, dan kina.

Namun, rencana ini gagal karena menurut J. W. J. BEEK, seorang insinyur dari Staatsspoorwegen, kegiatan pelabuhan selalu diganggu oleh keadaan laut yang tidak stabil, seperti turbulensi dan sulitnya kapal-kapal untuk merapat.

Menurut Susanto Zuhdi dalam buku Cilacap (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa, Cilaut Eureun merupakan salah satu pelabuhan di selatan Jawa Barat yang mempunyai hubungan dengan pelabuhan sekitar seperti Pelabuhan Ratu dan Cilacap.

Kondisi alam membuat pelabuhan di Cilaut Eureun tidak berkembang. Pelabuhan ini hanya melayani transportasi antar pantai, terbatas, dan berskala kecil. Salah satu penyebabnya adalah perahu-perahu yang digunakan sangat bergantung pada musim angin tenggara.

Kondisi alam yang tidak menguntungkan di Pantai Selatan Garut ini membuat pemerintah bersikeras untuk membangun jalur kereta api dari Garut ke Cikajang.

Selain faktor di atas, pembangunan jalur ini juga terlaksana karena pemerintah Hindia Belanda baru mendapatkan durian runtuh. Mereka mendapat keuntungan besar saat harga salah satu barang ekspor meroket.

Keuntungan ini mendorong Staatsspoorwegen untuk membangun beberapa jalur kereta api, termasuk jalur Garut-Cikajang, juga melakukan elektrifikasi di jalur sekitar Bogor dan Batavia.

Dengan diiringi penampilan kesenian Sunda berupa gamelan dan tayub, jalur kereta api Garut-Cikajang dibuka dengan cukup meriah pada 1 Agustus 1930. Upacara ini dihadiri oleh perwakilan dari Gouvernement Bedrijven Bandung, Residen Priangan Timur, dan Bupati Garut.

Acara pembukaan mampu menarik perhatian warga sekitar. Mereka berbondong-bondong menonton pergelaran dan mengosongkan Pasar Cikajang.

Jalur dengan panjang 23 kilometer itu melewati sejumlah halte dan stasiun seperti Pamoyanan, Cireungit, Ciroyom, Kamojan, Cioyod, Dangdeur, Bayongbong, Cipelah, Cisurupan, Cisero, Cidatar, dan Patrolgirang.

Pada awal operasionalnya, para penumpang jalur ini harus membayar 1,30 gulden untuk dapat duduk di gerbong kelas satu. Para penumpang gerbong kelas dua dan tiga harus membayar masing-masing 80 dan 42 sen. Sementara harga tiket termurah disediakan di gerbong khusus Pribumi seharga 28 sen.

Nahas, keberadaan jalur ini ternyata benar-benar jadi cibiran para anggota dewan karena prediksi mereka akhirnya terbukti. Harian Bataviaasch Nieuwsblad menyebut, jalur kereta api Garut-Cikajang ternyata sepi. Keadaan ini ditambah oleh resesi ekonomi dunia yang sangat hebat pada tahun 1930-an.

Stasiun Cikajang

Stasiun Cikajang. (FOTO/Hevi Riyanto)

Perang Kemerdekaan dan Penutupan

Cerita jalur kereta api antara Garut dan Cikajang berlanjut di masa perang kemerdekaan, khususnya peristiwa Bandung Lautan Api. Ultimatum pihak Inggris untuk mengosongkan Kota Bandung pada bulan Maret 1946 direspons dengan berbagai cara.

Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) memilih untuk mengungsikan kantor mereka dari Balai Besar Bandung ke luar kota, termasuk ke Stasiun Cisurupan.

Keputusan tersebut diambil oleh pimpinan DKARI, Djuanda Kartawidjaja. Pria kelahiran Tasikmalaya ini memberi perintah untuk memindahkan Dinas Administrasi dan Dinas Lalu Lintas ke Cisurupan.

Namun pindahnya kedua dinas tersebut ke Cisurupan tidak bertahan lama. Serangan Belanda ke daerah Garut pada tahun 1947 membuat dinas-dinas dipindahkan lagi dari Cisurupan ke Gombong dan Kebumen.

Infografik Mozaik Jalur KA mati Garut-Cikajang

Infografik Mozaik Jalur KA mati Garut-Cikajang. tirto.id/Ecun

Setelah Belanda hengkang, DKARI menguasai seluruh aset perkeretaapian. Saat itu, Indonesia tercatat memiliki sekitar 879 lokomotif uap bekas peninggalan Hindia Belanda. Namun 80 persen dari lokomotif itu sudah tidak layak beroperasi karena usianya telah tua.

Kondisi ini membuat perusahaan kereta api mulai mengimpor lokomotif yang bermesin diesel di awal tahun 1950-an. Menurut Tim Telaga Bakti Nusantara dalam buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia, pergantian ini dilakukan untuk meningkatkan mobilitas alat angkut penumpang dan barang, serta pelayanan terhadap masyarakat.

Akan tetapi, lokomotif diesel yang mulai masuk ke Indonesia sejak akhir 1953 hanya dipakai untuk jalur-jalur penting. Jalur simpangan seperti Cibatu-Garut-Cikajang tetap dilayani oleh lokomotif uap tua, terutama tipe CC 10, CC 50, dan DD 52.

Lokomotif-lokomotif tua ini akhirnya tidak sanggup lagi beroperasi karena sudah renta dan ketinggalan zaman. Kepada Kompas, mantan Juru Lansir Stasiun Cikajang antara tahun 1950-an sampai 1972 bernama Pak Ujang menuturkan, kondisi lokomotif yang rusak dan tak terawat menjadi sebab utama penutupan jalur ini.

Berbeda dengan Pak Ujang, pendapat lain mengatakan bahwa penutupan beberapa jalur kereta api di Jawa karena tidak menguntungkan.

Iman Subarkah dalam Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992 menulis, Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) saat itu melakukan efisiensi untuk mempertahankan pelayanan mereka terhadap penumpang, terutama di jalur-jalur yang mempunyai tingkat okupansi tinggi. Hal ini menyebabkan jalur kereta yang merugi harus menerima konsekuensi untuk dinonaktifkan.

Jalur kereta api dari Garut menuju stasiun tertinggi di Indonesia, Cikajang, akhirnya ditutup oleh PJKA pada bulan November 1982.

Baca juga artikel terkait JALUR KERETA API atau tulisan lainnya dari Hevi Riyanto

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Hevi Riyanto
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi