Menuju konten utama

Dari Dior hingga Yves Saint Laurent: Para Pria di Dunia Fashion

Meski dunia fashion identik dengan perempuan, ada beberapa pria yang menjulang dari jagat penuh warna itu.

Yohji Yamamoto. REUTERS/Gonzalo Fuentes

tirto.id - Tahun 1858, Charles Worth, imigran asal Inggris yang tinggal di Paris mempopulerkan istilah couture. Sebuah kata yang merujuk pada kegiatan membuat busana dengan tangan untuk wanita kelas atas di kota paris. Penggunaan kata ini kemudian diatur oleh pemerintah Perancis. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut diartikan sebagai adibusana. Worth juga orang yang melahirkan istilah fashion designer, atau desainer fesyen, istilah untuk membedakan dirinya dengan penjahit busana di kota tersebut. Seiring waktu Worth kian terkenal. Wanita kelas elite Paris datang ke rumahnya untuk melihat koleksi busana yang ia buat.

Sepuluh tahun setelah kata couture populer, muncul La Chambre Syndicale de la Couture et de la Confection pour Dames et Fillettes (the Syndicated Chamber of Couture and Confection for Ladies and Girls), lembaga yang mengatur profesi couturier, sebutan bagi pembuat busana couture. Sejak tahun 1968- 1975 muncul berbagai organisasi mode yang mengatur cara kerja desainer di Perancis. Berbagai organisasi tersebut juga mengatur tentang jenis rancangan busana sehari-hari atau ready to wear dan busana pria.

Yuniya Kamamura dalam The Japanese Revolution in Paris Fashion (2004) menyebut bahwa organisasi bidang mode yang muncul pada abad 19 itu melahirkan aturan tentang couturier yang layak disebut sebagai produser fesyen, pengorganisasian penjahit, hirarki desainer, dan mekanisme peragaan busana. Keberadaan berbagai organisasi ini menjadi hal penting dalam ranah mode di kota Paris. Dari sana, Paris dianggap sebagai kota fesyen.

“Keanggotaan dalam organisasi memberikan legitimasi dan pengakuan sebagai produsen mode. Pada saat yang sama masyarakat yakin bahwa pakaian yang mereka kenakan itu fashionable karena telah disetujui oleh lembaga di Prancis,” tulis Kawamura.

Predikat kota fesyen melahirkan "pengikut-pengikut" Worth. Muncul desainer pria seperti Hubert Givenchy, Christian Dior, Pierre Balmain, René Lacoste dan André Gillier, Jacques Leonard, dan Yves Saint Laurent. Sebagian besar dari mereka terafiliasi dengan organisasi yang ada. Sampai hari ini label karya mereka masih terdengar dan terus mengeluarkan koleksi baru.

Geliat mode di Perancis turut menarik pria-pria dari luar Eropa yang punya keinginan menjadi desainer. Dalam bab "Interdependence Between Japanese Designers and The French Fashion System", Kawamura menjelaskan bahwa pada tahun 1977 asosiasi mode di Paris mengizinkan desainer non-Prancis untuk bergabung dalam asosiasi. Hal ini turut berpengaruh pada kemunculan desainer luar Prancis.

Salah satu desainer pria non-Prancis yang memanfaatkan kesempatan tersebut ialah Yohji Yamamoto. Ia membuka toko di Paris pada tahun 1981. Imran Amed, pendiri situs Business of Fashion berkata bahwa kehadiran Yamamoto di Paris pada saat itu mendobrak tren gaya busana. Karya Yamamoto punya ciri khas potongan asimetris, longgar, dan berwarna hitam. Sub bab berjudul "Type 2: Kawakubo, Miyake, and Yamamoto", Kawamura menyebut Yamamoto sebagai, “Desainer yang menghancurkan definisi busana dan fesyen yang telah dibangun oleh Dior dan Saint Laurent. Yamamoto memberi pandangan baru terhadap gaya busana.”

Dalam wawancara dengan Business of Fashion, Yamamoto bercerita bahwa ia tidak tahan melihat busana yang dikenakan para wanita. Ibu Yamamoto adalah penjahit. Seusai sekolah, Yamamoto membantu bisnis ibu. Setiap hari ia mengerjakan pesanan klien.

“Wanita biasanya ingin agar busananya terkesan seksi, feminim, dan menawan. Setiap saya mengepas baju di tubuh mereka, saya merasa ada hal lain yang bisa dilakukan dengan busana tersebut,” kata Yamamoto kepada Imran.

Yamamoto mulai merancang busana sesuai dengan idealismenya yakni memunculkan kesan tidak sempurna dari sebuah busana dengan menunjukkan bagian yang rusak, terbakar, atau pudar. “Bagi sebagian orang karya saya terlihat sangat kotor dan jelek.” Dalam wawancara dengan Matthew Donaldson, Yamamoto berkata bahwa ia kerap mendengar klien ibunya berkata kalau suami mereka yang akan membayar biaya pembuatan busana. Yamamoto sangat terganggu mendengar kalimat itu. Ia pun berniat tidak akan membuat busana dengan model busana yang selama ini disukai klien ibunya.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/03/16/pria-punya-selera-soal-busana--mild--quita.jpg" width="860" alt="Infografik Pria punya selara soal busana " /

Yamamoto bertekad mendesain busana yang terinspirasi oleh busana pria. Ia hanya menggunakan warna hitam dengan alasan tidak ingin mengganggu penglihatan orang dengan menggunakan warna. Baginya, kota sudah terlalu riuh dengan warna-warna yang tidak perlu.

"Warna hitam itu terkesan rendah hati sekaligus arogan. Hitam itu malas dan mudah, tapi misterius. Tapi dari semuanya, warna hitam itu seperti bilang: aku tak mengganggumu, jadi jangan menggangguku," ujar Yamamoto suatu kali.

Di Jepang, koleksi Yamamoto tidak laku. Oleh karena itu ia pindah ke Paris dengan harapan ada yang berminat membeli koleksinya. Prediksinya tepat. Tak lama setelah Yohji menyelenggarakan peragaan busana, para buyer (orang yang bertugas membeli busana dalam skala besar untuk kembali dijual) berdatangan. Karya Yamamoto laku keras. Sampai saat ini ia masih melansir koleksi terbaru di pekan mode Paris Fashion Week.

Yamamoto tidak ingin labelnya dinaungi oleh perusahaan retail besar seperti LVMH atau Kering Group. “Itu menyakitkan. Mereka akan memaksa untuk membuat sesuatu sesuai keinginan mereka. Para desainer tidak akan bisa membuat karya emosional,” kata Yamamoto dalam Dazed.

Desainer lain yang menjadi terkenal di Paris ialah Azzedine Alaïa. Artikel All Eyes on Alaïa mengisahkan bahwa ia lahir sekitar tahun 1940-an. Di usia 15 tahun Alaïa sudah menjadi imigran di Perancis. Ia tinggal bersama nenek dan bekerja paruh waktu di rumah seorang wanita elit Prancis. Wanita itu mendaftarkan Alaïa ke sekolah patung. Untuk menunjang kebutuhan sekolah, ia bekerja pada sebuah couture house di Paris. Dari sana muncul ketertarikan untuk mendesain busana.

Pada akhir tahun 1960-an, seorang rekan Alaïa memperkenalkannya pada sejumlah klien yang merupakan praktisi film. Sejak itu karya Alaïa mulai diminati. Pada tahun 1982 ia diminta untuk mengadakan peragaan busana di Amerika Serikat. Dari acara itu Alaïa mendapat penghasilan 50 ribu dolar. Enam tahun setelahnya seorang klien Alaïa di New York membuka butik yang khusus menjual karyanya. Pembukaan butik ini didasari permintaan konsumer Amerika terhadap karya Alaïa.

Alaïa dikenal sebagai desainer yang mampu merancang busana langsung di tubuh model. Ana Carolina Reis ialah sosok yang jadi model Alaïa 10 tahun terakhir. Ia membungkus tubuh Ana dengan kain dan mulai menggunting pola pada tubuhnya. Ana berkata pada Another Mag bahwa ia bisa bekerja dengan Alaïa 16 jam dalam sehari.

Ia meninggal akhir tahun lalu. Perbincangan tentang apakah rumah mode ini akan terus berlanjut masih menjadi wacana. Sementara itu, pengagum Alaïa mengadakan pameran berjudul “Azzedine Alaïa: Je Suis Couturier” Marais Paris, di butiknya. Pameran ini menampilkan 41 karya ikonik sang desainer.

Salah satu desainer yang populer di Paris saat ini ialah Elie Saab. Ia berasal dari Lebanon dan sempat sekolah mode di Paris. Saab gemar menggambar busana sejak usia 9 tahun dan memutuskan untuk menjadi sukses di bidang ini pada usia 17 tahun. Tak seperti Yamamoto dan Alaïa yang punya kesan manis pada kota tersebut, Saab menganggap waktu sekolahnya di Paris ternyata membuang-buang waktu. Ia memutuskan kembali ke Lebanon dan mulai bisnis busana.

“Saya tidak suka mendesain busana atas dasar kreativitas. Saya ingin melihat karya saya bisa digunakan sebagian besar wanita di dunia. Saat ini Elie Saab telah menjadi grup yang besar. Saya tidak percaya bisa sampai di posisi ini bila tidak mempertimbangkan aspek komersil,” kata Saab pada Euronews.

Meski punya pengalaman tidak menyenangkan dengan sekolahnya di Paris, ia tidak membenci kota tersebut. Saab ialah anggota asosiasi mode Chambre Syndicale de la Haute Couture pertama yang berasal dari Timur Tengah. Setelah menjadi anggota, ia memperagakan koleksi busana di Paris untuk pertama kali.

Kini ia memiliki dua butik di Paris. Butik pertama dibuka pada tahun 2007 dan gerai kedua pada 2015. Eropa ialah pasar terbesarnya. Arabian Business melaporkan produk Elie Saab telah dijual di lebih dari 150 toko di beberapa kota besar seperti Dubai, New York, dan London.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono