Menuju konten utama

Dari Daging Kambing Hingga Puting Susu: Ragam Sate Nusantara

Sate bisa dibuat dari daging ayam, kambing, hingga yang kurang populer seperti daging kuda maupun puting susu sapi.

Dari Daging Kambing Hingga Puting Susu: Ragam Sate Nusantara
Ilustrasi kuliner sate. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “Aroma dari sate yang dipanggang di atas bara, menghasilkan aroma wangi surgawi, yang bahkan bisa menggoda para vegetarian sekalipun.”

Kalimat itu dipakai oleh tim Lonely Planet dalam The Food Book: A Journey Through the Great Cuisines of the World (2013) untuk menggambarkan sate. Apa yang ditawarkan oleh sate memang tidak hanya rasa. Ia adalah perpaduan godaan indrawi. Suara daging --yang basah oleh bumbu marinasi-- terbakar, aroma dari daging yang menguar bersama asap, juga penampilan indah sate yang dibalur bumbu: kecap, kacang, atau hanya sambal.

Sate bisa dibilang sebagai salah satu ikon kuliner Indonesia. Setiap menyebut satay, orang langsung memasangkannya dengan Indonesia, meski sate juga populer di negara tetangga semisal Malaysia, Singapura, atau Brunei. Dalam The Food Book, juga The Deluxe Food Lovers Companion (2009), selalu disebutkan bahwa sate adalah makanan Indonesia.

Tentu saja sate tidak serta merta hadir begitu saja, melainkan lewat proses akulturasi yang panjang.

"Kebudayaan bermula ketika makanan mentah dimasak." Begitu tulis Felipe Fernandez Arnesto dalam Near a Thousand Tables: A History of Food (2002). Penggunaan api mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia. Makanan yang awalnya disantap mentah, kini dimasak dengan api.

"Tempat menyalakan api jadi tempat berkumpul dan orang-orang makan di sekeliling api unggun. Memasak jadi bukan sekadar cara menyiapkan makanan, tapi juga mengorganisir masyarakat dan menghasilkan waktu makan," tulis Felipe.

Daging binatang buruan dibakar dan disantap bersama. Daging bakar ini yang kemudian menjadi akar dari kebab. Kata kebab diperkirakan datang dari diksi Persia, kabab, artinya makanan yang ditusuk lalu dipanggang. Jika ditarik lebih lanjut, kata itu juga menginduk pada kata Aramaik, kabbaba, yang artinya dibakar.

Dalam Oxford Symposium on Food and Cookery 1991: Public Eating : Proceedings (1992), kebab diperkirakan menyebar dari Persia ke seluruh Timur Tengah pada abad 8, dan ke India pada abad ke 15. Tentara Turki di abad 16 kemudian mempopulerkan hidangan ini ke seluruh dunia. Daging dipotong-potong, lalu dibakar dengan pedang. Di era Kesultanan Ottoman, muncul istilah sis, yang artinya pedang.

"Kenapa pakai pedang, karena di kawasan padang rumput Eurasia dengan pohon yang jarang, batang kayu itu langka pun mahal. Karena itu shish kebab dipanggang dengan ditusuk ke pedang atau belati," tulis Felipe.

Dari sana lahirlah istilah shish kebab, untuk menyebut potongan daging bentuk kubus dan sayur yang ditusuk lalu dipanggang. Setelah menyebar ke seluruh dunia, ada banyak jenis masakan serupa tapi beda nama. Di Iran ada chelow kabab yang juga dinobatkan sebagai makanan nasional. Dari Afrika Barat, ada suya. Di kawasan Suriah dan Lebanon ada halab. Di Jepang ada yakitori. Semua punya akar sama: daging ditusuk dan dipanggang atau dibakar. Di Indonesia, tentu saja, ada sate.

Soal nama sate, ada berbagai jenis versi sejarahnya. Yang paling sering dirujuk adalah: sate berasal dari kata Tamil, catai, yang artinya daging. Istilah itu muncul seiring banyaknya pedagang Tamil dan Gujarat yang datang ke Nusantara untuk berdagang.

Di Indonesia, ada ratusan jenis sate. Rasanya, Indonesia adalah negara dengan ragam jenis sate terbanyak di dunia. Ada yang populer macam sate ayam ala Madura dan Ponorogo, atau sate kambing ala Tegal yang biasanya pakai daging kambing batibul (di bawah tiga bulan), sate klathak dari Yogyakarta yang memakai jeruji sepeda, sate lilit dari Bali yang warnanya selalu cantik dan rasanya tanpa kompromi itu, hingga sate Padang yang punya tiga mazhab: Padang Panjang, Pariaman, dan Danguang-Danguang.

Di luar nama-nama tenar itu, ada banyak sekali jenis sate di Nusantara. Sate pusut, misalkan. Ini adalah sate khas Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang mempunyai kesamaan dengan sate pentul dan lilit dari Bali. Bedanya, sate pusut memakai daging sapi giling, tidak seperti sate pentul dan lilit yang umumnya pakai daging babi dan ikan.

Sri Owen, ahli kuliner Indonesia, pernah menulis sate pusut dalam buku masyhurnya, Indonesian Regional Food & Cookery (1980). “Saat saya berada di Lombok pada awal 1993,” tulis Sri, “sate ini hanya bisa ditemukan di beberapa restoran di kawasan turis.”

Sate pusut yang dimasak oleh Owen memakai daging sapi cincang, yang dicampur dengan ketumbar, kelapa sangrai, aneka bawang-bawangan, gula palem, terasi, juga santan kental. Yang dimasak oleh Owen tentu sudah menyesuaikan dengan cita rasa Eropa --dia tinggal di Inggris sejak 1964 saat bekerja untuk BBC. Resep sate pusut yang banyak dipakai di Nusantara selalu melibatkan cabai.

Selain beragam jenisnya, sate di Indonesia juga beragam bahan baku utama maupun sausnya. Yang populer tentu sate ayam dan kambing, lalu diikuti dengan ikan. Namun ada juga yang memakai daging babi, kelinci, kuda, belut, jerohan, bandeng, bulus, bekicot, bahkan ada yang memakai tempe dan telur puyuh. Begitu pula sausnya. Paling populer tentu saja yang pakai bumbu kecap dan kacang. Namun ada pula yang memakai tumbukan tempe, seperti sate ambal khas Kebumen. Ada pula yang hanya memakai sambal dan jeruk nipis, seperti yang dipakai oleh sate era kiwari: taichan.

Sayang, hingga sekarang belum ada dokumentasi lengkap jenis-jenis sate di Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan itu --beberapa sudah mulai langka, seperti sate bekicot dan sate puting susu khas Bali yang hanya dijual di bulan Ramadan. Mengingat sudah betapa populernya sate bahkan hingga ke luar negeri, sepertinya dokumentasi jenis sate Nusantara mendesak untuk dibuat.

Baca juga artikel terkait PERAYAAN IDUL ADHA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono