Menuju konten utama

Dapper Dan: Desainer Fesyen yang Digilai Mafia, Dipuja Anak Hip Hop

Dapper Dan, ikon fesyen Harlem, anak kandung zaman keemasan Black Panthers.

Dapper Dan: Desainer Fesyen yang Digilai Mafia, Dipuja Anak Hip Hop
Perancang busana asal Harlem Dapper Dan di kediamannya, New York, AS (19/7/18). AP Photo/Mary Altaffer

tirto.id - Dapper Dan adalah pria paling dandy di Harlem, New York City. Ia pantang dipotret tanpa setelan jas lengkap yang dijahit dari kain bermotif atau berwarna terang plus sepatu pantofel kinclong. Tiap kali bertemu orang, ia selalu mengenakan busana mencolok—jaket putih berkerah tinggi dari kulit ular, misalnya—meski acaranya informal.

Sabtu (12/01), label busana mewah Gucci mengukuhkan citra Dan sebagai ikon fesyen lewat peluncuran buku Dapper Dan’s Harlem di ajang Men’s Fashion Week, Florence, Italia. Buku seharga 200 dolar itu memaparkan serba-serbi kehidupan Dan, mulai dari kisah hidup, tempat tinggal, hingga kawan dekat.

Pada 1970-an, Dan adalah seorang penjudi ulung yang gemar berbagi trik dengan penjudi amatir. Tapi lagi-lagi, bahkan saat itu dia sudah flamboyan. Satu dekade lalu, Dan sesumbar kepada jurnalis New Yorker Kelefa Sanneh bahwa ada banyak orang yang ingin meniru gaya berpakaiannya. Sejak itulah ia berpikir untuk jadi perancang busana.

Dan membuka butik di Harlem pada 1982 dengan klien utama para gangster narkoba yang suka dengan busana mencolok rancangan Dan. Ia sering menggunakan material bulu tebal dan kulit sebagai bahan busana, yang dipadukannya dengan pelbagai jenis jaket seperti blazer atau bomber. Permukaan material kulit tersebut dicetak dengan motif logo label fesyen premium sekelas Gucci, Louis Vuitton, dan Fendi. Saat itu Dan belum punya pesaing di Harlem.

Ia pernah membuat jaket perempuan yang ganjil. Bagian lengannya menggelembung bak airbag mobil yang baru mencuat dari kotak penyimpanan. Kelak, desain jaket ini ditiru Gucci dalam salah satu koleksi 2018.

Di tangan Dan, para gangster Harlem era 1980-an punya baju kebangsaan yang khas, yakni blazer atau double breasted blazer kulit berwarna cokelat dan bermotif logo Louis Vuitton atau Gucci. Para penyanyi hip hop dari 1980-an pun tampil senada dalam setelan jaket bomber berlogo label adibusana yang dibikin besar dan mencolok.

Busana karya Dan jadi tolok ukur gaya keren di kalangan penikmat hip hop. “Aku pernah masuk ke diskotek di Manhattan dan orang-orang kagum melihat aku yang waktu itu memakai baju buatan Dapper Dan. Baju itu bikin aku beken,” kata rapper Fat Joe kepada Sanneh.

Kejadian-kejadian seperti inilah yang mendorong warga Harlem yang mayoritas kulit hitam berkunjung ke butik Dan. Pemasukan toko per hari pun bisa mencapai lebih dari 10.000 dollar.

Karya-karyanya pun membekas di benak beberapa pesohor hip hop, salah satunya Pharell Williams, penggemar Dan yang tak pernah lupa betapa menariknya trench coat bikinan Dan untuk rapper Big Daddy Kane.

Sayangnya, reputasi pria yang lahir dengan nama Daniel Day ini sempat anjlok. Pasalnya, Dan dibanjiri tuntutan label busana besar yang menuding Dan plagiat lagi pembajak.

Toko Dan akhirnya tutup, meski bisnisnya terus berjalan secara sembunyi-sembunyi. Kepada para penghujatnya, Dan mengatakan: “Aku meng-Afrika-kan baju label-label besar itu dan menjauhkannya dari kesan ‘Madison Avenue’.”

Madison Avenue yang dimaksud Dan adalah daerah di New York City yang terkenal sebagai pusat industri periklanan.

Anak Kandung Gerakan Kulit Hitam 1960-an

'Afrikanisasi' fesyen ala Dan tercetus setelah ia pulang dari Liberlia. Di negeri Afrika Barat itu, ia terpana menyaksikan keterampilan salah seorang penjahit yang membuatkannya pakaian.

“Potongan baju rapi, sesuai bentuk tubuh, dan tampak menyala karena dibuat dari berbagai kain lokal. Ini percampuran gaya Afrika Barat dan Amerika. Barang macam ini tak ada di New York,” tulis Sanneh dalam artikel "Harlem Chic".

Dan berkunjung ke Afrika setelah mengikuti National Urban League. Sebagaimana dicatat John Runcie dalam "The Black Culture Movement and The Black Community" (1976), Urban League adalah salah satu lembaga paling berpengaruh dalam memperjuangkan penghapusan diskriminasi ras bagi kaum kulit hitam di AS sejak 1910.

Lima dasawarsa kemudian, gerakan perlawanan terhadap diskriminasi ras tiba-tiba meledak. Pada era tersebut, Urban League menggagas African Summer Safari, sebuah program yang mengajak pemuda Afro-Amerika berkunjung ke Afrika selama 2,5 bulan untuk mengetahui sejarah dan kebudayaan asli Afrika serta menemui para tokoh politik di sejumlah negara. Dan adalah salah satu peserta program ini.

Pada masa itu, wacana untuk kembali ke budaya asli Afrika juga disuarakan oleh Malcolm X, tokoh kulit hitam dan pendiri Organization of Afro-American Unity. Ia menyatakan “Kita harus mengingat sejarah dan indentitas apabila kita ingin bebas,” kata pria yang menganjurkan pelarangan kata ‘negro’ yang berkonotasi rasis tersebut.

Dengan menampilkan berbagai foto busana tradisional Afrika dalam tiap publikasi rutinnya, National Urban League juga berupaya mendorong kaum Afro Amerika di AS agar berhenti membebek tampilan orang kulit putih (dari gaya rambut hingga pakaian) dan mulai mencintai budaya asli mereka.

Semangat untuk mengapresiasi budaya leluhur ini mencapai puncaknya pada paruh kedua 1960-an, sebuah zaman yang penuh pergolakan di seluruh dunia. Waktu itu, busana tradisional Afrika seperti Dashiki, bubas, dan kaftan mulai sering terlihat di negeri Paman Sam. Para perempuan kulit hitam, khususnya aktivis gerakan kiri seperti Black Panthers, membiarkan rambut mereka tumbuh mengembang bergaya Afro. Beberapa aktivis bahkan menggali tradisi-tradisi lama Afrika dan menerapkannya dalam berbagai ritual seperti pernikahan, pemakaman, atau acara keagamaan.

Kaum muda kulit hitam AS waktu itu juga terinspirasi oleh fenomena Harlem Renaissance dari dekade 1920-an, di mana muncul karya-karya intelektual, seni, dan sastra dari orang-orang kulit hitam di New York City.

Infografik Harlem Style

Infografik Harlem Style

Harlem Renaissance terjadi sekitar dua puluh tahun setelah negara-negara bagian selatan melegalkan praktik segregasi rasial merespons penghapusan perbudakan pasca-Perang Sipil. Sejak itu, ada banyak warga kulit hitam yang hijrah ke negara-negara bagian utara yang pada 1865 memenangkan Perang Sipil dan tak mempraktikkan segregasi. Di New York, mereka menempati daerah Harlem.

Periode Harlem Renaissance membuktikan bahwa orang kulit hitam di AS mampu menciptakan berbagai lakon drama teater, musik, gaya busana, puisi, dan berbagai ekspresi artistik modernis lainnya. Mereka terlibat dalam politik sosialis, gerakan anti-diskriminasi ras, dan memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Pada masa yang terbentang antara 1920-1929 inilah lahir nama-nama besar seperti penyair Langston Hughes, musisi jazz Duke Ellington, dan jurnalis Marcus Garvey.

Kembali ke dekade 1980-an. Upaya mendefinisikan identitas Afro-Amerika saat itu ada di tangan orang seperti Dan yang bereksperimen mencampurkan gaya busana AS dengan unsur-unsur fesyen tradisional Afrika yang kaya warna dan motif. Hasilnya bisa dilihat pada kostum grup hip hop perempuan Salt 'N Pepa yang didesain Dan. Ia juga menambahkan topi warna-warni yang serupa dengan aksesori pelengkap kaftan tradisional pria Afrika.

Kini desain busana tersebut jadi incaran Alessandro Michele, direktur kreatif Gucci. Beberapa bulan sebelum buku Dan diluncurkan, dua desainer tersebut merancang koleksi bersama. Busana-busana yang dirancang pada 2018 itu persis rancangan Dan pada 1980-an.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf