Menuju konten utama

Dampak Peleburan Eijkman ke BRIN: Nasib Riset & Karyawan Non-PNS

Peleburan Eijkman ke BRIN setidaknya berdampak pada tiga aspek: peneliti dengan kerja kontrak, fasilitas, hingga statusnya yang menurun.

Dampak Peleburan Eijkman ke BRIN: Nasib Riset & Karyawan Non-PNS
Seorang pejalan kaki melintas di lingkungan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jalan Pangeran Diponegoro No 69, RW5, Kenari, Kecamatan Senen, Kota Jakarta Pusat. (ANTARA/HO-Eijkman)

tirto.id - Pengelolaan Eijkman Institute for Molecular Biology atau Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman secara resmi diambil alih Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sejak September 2021. Kini, Lembaga Eijkman berubah status menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman yang dilakukan pada 28 Desember 2021.

Sayangnya, peleburan ini menyisakan sejumlah persoalan. Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman periode 2014-2021, Amin Soebandrio menyatakan, peleburan dengan BRIN setidaknya berdampak pada tiga aspek: peneliti dengan kerja kontrak, fasilitas, hingga statusnya yang menurun.

Amin mengatakan lebih dari 90 pekerja non-PNS yang terdampak. Total pegawai Eijkman sebelum dilebur dengan BRIN sekitar 130 orang, dengan rincian 30 berstatus PNS dan sisanya 90 lebih pegawai kontrak atau asisten riset.

“Total terlibat penelitian 120-130 orang, yang PNS hanya 30 orang. Minimal 90 orang terdampak,” kata Amin kepada reporter Tirto, Minggu (2/12/2021).

Dia menuturkan sebagian dari 90 pegawai Eijkman kontrak telah mencari pekerjaan baru. “Karena mereka tidak mendapatkan kepastian, sebagian besar mereka mencari kerja baru,” kata Amin.

Namum berdasarkan data PRBM Eijkman sebagaimana dilansir Antara, sebanyak 113 pegawai honorer diberhentikan, dengan 71 di antaranya merupakan staf peneliti. Kontrak mereka sebagai tenaga honorer telah berakhir per 31 Desember 2021.

Selain itu, kata Amin, peleburan Eijkman ke BRIN membuat status lembaga menurun. “Yang tadinya berada di level eselon 1, nah sekarang levelnya di bawah,” kata Amin.

Permasalahan lainnya, kata Amin, adalah pegawai kontrak yang belum mendapatkan kepastian dari BRIN dan peralatan esensial yang dipindahkan ke Cibinong Science Center. “Karena ada kebijakan ada peralatan esensial ke Cibinong, kalo peralatan diambil, peneliti Eijkman tidak bisa bekerja,” kata dia.

Saat ini, Amin mengataku telah menyerahkan pengelolaan LBM Eijkman kepada Pelaksana Tugas Kepala Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN Wien Kusharyoto. Selain Eijkman, terdapat empat entitas lembaga penelitian resmi lain yang resmi dilebur ke BRIN, yaitu: BATAN, LAPAN, LIPI, dan BPPT.

Amin berpesan kepada para periset di Lembaga Eijkman agar tidak berhenti berkarya karena peneliti bisa melakukan penelitian dan berkarya di mana saja. “Karena yang penting bukan tempat, fasilitasnya, tapi manusianya yang akan menentukan keberhasilan dari suatu usaha,” tutur Amin.

Selain LBM Eijkman, BRIN juga memberhentikan beberapa awak kapal riset honorer non-PNS. Peristiwa itu ramai diperbincangkan di media sosial. Beredar juga video sejumlah orang disebut awak kapal Baruna Jaya yang menangis dan berpelukan.

Nasib Riset dan Karyawan

Komisioner Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Abdil Mughis Mudhoffir menyayangkan adanya peleburan ke BRIN yang berdampak pada banyaknya peneliti LBM Eijkman yang dirumahkan.

“Ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah pada riset,” kata Abdil kepada reporter Tirto, Senin (3/12/2021).

Abdil mengatakan skenario pengalihan pegawai Eijkman ke BRIN pun tidak menguntungkan peneliti non-PNS. Sebab, banyak peneliti non-PNS dan yang belum S3 tidak tertampung di BRIN. Beberapa yang punya keahlian spesifik juga tidak tertampung di laboratorium di Cibinong.

“Ini indikator yang kembali menegaskan bahwa pemerintah sebenarnya kurang berkepentingan dengan pengembangan riset dan ilmu pengetahuan sebagai basis pembuatan kebijakan,” kata Abdil.

Selain terhadap karyawan non-PNS, Abdil menilai peleburan LBM Eijkman dengan BRIN juga berdampak kepada independensi dan riset para peneliti.

“Makin meluasnya kontrol negara atas riset dan produksi pengetahuan serta makin menegaskan BRIN yang sekadar menjadi alat ideologi negara,” kata dia.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad meminta, nasib peneliti LBM Eijkman tetap diperhatikan. Dasco mengingatkan agar pemerintah melalui BRIN tidak melupakan hak-hak peneliti.

“Yang perlu diperhatikan adalah hak-hak dari pegawai serta peneliti. Jangan dilupakan hak-haknya dalam hal peleburan ini,” kata pria yang juga politikus Partai Gerindra ini di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/1/2022).

Dalam kasus ini, Dasco mengatakan, pimpinan DPR akan meminta Komisi VIII yang membidangi masalah riset untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan peleburan Lembaga Eijkman dengan BRIN.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Sartono Hutomo menilai peleburan LBM Eijkman dengan BRIN mengingatkan tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN). Ada kesan, para peneliti dan ilmuwan LBM Eijkman yang kompeten sengaja disingkirkan.

Sebab, kata Sartono, problem utama setiap peleburan itu ada dua hal, yaitu: Pertama masalah sumber daya manusia (SDM). Kedua, persoalan quality control.

“Kesan menyingkirkan para peneliti dan ilmuwan yang kompeten ini harus dijawab dengan baik oleh pihak BRIN,” kata Sartono dalam keterangan tertulis, Senin (3/1/2022).

Karena itu, Sartono meminta peleburan ini tidak boleh mendegradasi independensi dan kepakaran para peneliti di LBM Eijkman. “LBM Eijkman ini punya gengsi tersendiri di dunia internasional. Jangan sampai proses peleburan ini justru menghadirkan kemunduran,” kata dia.

Respons BRIN

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko membantah kabar bahwa banyak peneliti LBM Eijkman diberhentikan oleh pihaknya. “Informasi itu tidak benar,” kata Laksana kepada Tirto, Sabtu (1/1/2022).

Laksana menjelaskan, LBM Eijkman bukan lembaga resmi pemerintah, tetapi salah satu unit proyek di Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Status tersebut membuat LBM Eijkman tidak dapat mengangkat peneliti penuh.

Saat ini, PRBM Eijkman di bawah Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati. Dengan status ini, para periset di LBM Eijkman dapat diangkat menjadi peneliti dengan segala hak finansialnya.

“Tetapi di lain sisi, ternyata LBME [Eijkman] banyak merekrut tenaga honorer tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk itu BRIN telah memberikan beberapa opsi sesuai status masing-masing," kata Laksana.

Setidaknya ada 5 opsi yang ditawarkan BRIN. Pertama, PNS Periset langsung dilanjutkan menjadi PNS BRIN sekaligus diangkat sebagai Peneliti; Kedua, periset honorer berumur di atas 40 tahun dan berstatus S3 akan mengikuti penerimaan ASN jalur PPPK 2021; Ketiga, periset honorer berumur di bawah 40 tahun dan berstatus S3 akan mengikuti penerimaan ASN jalur PNS 2021.

Keempat, Honorer Periset non S3 akan melanjutkan studi dengan skema sesuai riset dan asisten peneliti (by research and RA/research asistenship). Sebagian ada yang melanjutkan sebagai operator lab di Cibinong, bagi yang tidak tertarik lanjut studi; Kelima, Honorer non Periset diambil alih RSCM sekaligus mengikuti rencana pengalihan gedung LBME ke RSCM sesuai permintaan Kemenkes yang memang memiliki aset tersebut sejak awal.

Laksana mengingatkan, peneliti yang ada di Eijkman bukan berarti diberhentikan, tetapi dipindahkan ke pusat riset lain di bawah BRIN sesuai kebutuhan organisasi. Ia juga mengakui bahwa ada eks LIPI yang bergeser ke Eijkman.

“Seluruh BRIN berpindah posisi. Semua boleh pindah ke lab yang memang sesuai kepakarannya," kata Laksana.

Laksana pun menambahkan, honorer yang ada di lembaga pemerintah berbasis kontrak tahunan dan berhenti sesuai anggaran. Pemberhentian memang tidak memberikan pesangon, kata dia.

“Selain itu dengan integrasi 5 entitas yang ada, tentu kami tidak bisa merekrut kembali seluruhnya, karena banyak pekerjaan yang tadinya dikerjakan sendiri-sendiri oleh 5 Tim, sekarang jadi satu dan tentu hanya perlu 1 Tim," kata Laksana.

Baca juga artikel terkait EIJKMAN atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz