Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Dampak NASAKOM ala Sukarno Terhadap Politik di Indonesia dan PKI

Apa saja dampak NASAKOM yang dicetuskan Sukarno terhadap politik di Indonesia, juga bagi Partai Komunis Indonesia (PKI)?

Dampak NASAKOM ala Sukarno Terhadap Politik di Indonesia dan PKI
Presiden Indonesia Sukarno (kanan), bersama Ketua Partai Komunis Indonesia D. N. Aidit saat rapat umum perayaan ulang tahun PKI di Stadion Olahraga Merdeka Jakarta, 23 Mei 1965. AP Photo

tirto.id - NASAKOM merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Konsep ini dicetuskan oleh Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Sukarno, pada Masa Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1965. Lantas, apa dampak NASAKOM terhadap politik di Indonesia, juga bagi Partai Komunis Indonesia (PKI)?

Bung Karno menyebut konsep ini sebagai tiga pilar utama Demokrasi Terpimpin dalam pemerintahan Republik Indonesia, yaitu pilar Nasionalis, pilar Agama, dan pilar Komunis.

Sejatinya, Sukarno sudah memikirkan gagasan tiga pilar itu sejak ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada masa pergerakan nasional, tepatnya tahun 1926. Melalui surat kabar Soeoleh Indonesia Moeda edisi 1926, ia menulis:

“Dengan jalan yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain.”

“Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini.”

Ketiga pilar itu kemudian benar-benar terwujud beberapa puluh tahun berselang dan merupakan manifestasi tiga partai politik besar paling berpengaruh kala itu, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), serta Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dampak NASAKOM Terhadap Politik Indonesia dan PKI

Sistem Demokrasi Parlementer yang diterapkan sejak 1950 dianggap oleh Sukarno tepat untuk negara Indonesia. Inilah yang menjadi salah satu alasan Sukarno kembali membangkitkan gagasan NASAKOM.

Dikutip dari Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010) karya Zulfikri Suleman dalam, Demokrasi Parlementer, menurut Sukarno, melindungi sistem kapitalisme karena parlemen dikuasai oleh kaum borjuis dan tidak akan bisa memakmurkan rakyat.

“Di dalam Demokrasi Parlementer, tiap-tiap orang bisa menjadi raja, tiap-tiap orang bisa memilih, tiap-tiap orang bisa dipilih, tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri dari singgasananya,” lantang Sukarno.

Maka, Sukarno menawarkan sistem pemerintahan baru yang disebutnya Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin ini, kata Bung Karno, berpondasi kepada tiga pilar utama yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu Nasionalisme, Agama, dan Komunisme atau NASAKOM.

Sistem Demokrasi Terpimpin, yang diberlakukan sejak tahun 1959, tidak mengenal lagi perdana menteri yang pada era sebelumnya turut memimpin negara bersama presiden. Sistem Demokrasi Terpimpin juga tidak ada lagi posisi wakil presiden setelah Mohammad Hatta mengundurkan diri pada 1 Desember 1955.

Dikutip dari Demokrasi dan Nasionalisme: Pengalaman Indonesia (1996) yang ditulis Syafii Maarif, Hatta meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden karena menganggap Sukarno semakin otoriter.

Hatta juga tidak sepakat dengan NASAKOM dan Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan Sukarno. Menurut Hatta, tulis Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002) mengungkapkan, NASAKOM berarti bekerja sama dengan PKI dan Hatta merasa kurang nyaman cocok hal tersebut.

Berikut ini dampak konsep NASAKOM yang dicetuskan Sukarno terhadap politik di Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin, juga bagi PKI.

Menguatnya Posisi Sukarno sebagai Presiden

Konsep NASAKOM dianggap dijadikan alat bagi Sukarno untuk mempertahankan posisinya serta menggalang dukungan dari beberapa golongan dari tiga ideologi besar, yakni Nasionalis, Agama, dan Komunisme.

Dengan tiadanya lagi posisi perdana menteri dan wakil presiden, posisi Sukarno sebagai presiden sekaligus pemimpin tunggal jelas semakin kuat pada Masa Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi Terpimpin justru mengarah pada pemusatan kekuasaan dalam satu tangan, tidak mengindahkan quorum dan oposisi, serta tidak menghendaki pemungutan suara.

Tidak Stabilnya Pemerintahan

Jalannya pemerintahan tidak stabil lantaran semakin kurang harmonisnya relasi Indonesia dengan negara-negara liberal dan berpengaruh. Di sisi lain, hubungan Indonesia dengan negara-negara komunis justru kian erat.

Tidak stabilnya perpolitikan pada era Demokrasi Terpimpin juga disebabkan karena munculnya gesekan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI), terutama TNI Angkatan Darat (AD), dengan PKI, yang sama-sama memiliki pengaruh kuat di pemerintahan.

Polemik antara kedua kubu nantinya berpuncak dengan terjadinya Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang disebut-sebut didalangi oleh PKI. Peristiwa G30S 1965 justru menjadi awal kehancuran PKI, era Demokrasi Terpimpin, sekaligus meluruhnya pengaruh Sukarno dan tamatnya riwayat Orde Lama.

Menguatnya Kekuatan PKI

Beberapa tahun setelah peristiwa Pemberontakan Madiun tahun 1948, PKI justru mulai bangkit. PKI bahkan menjadi salah satu partai politik pemenang Pemilu 1955 setelah PNI, Masyumi, dan NU. Pemilu 1955 diikuti oleh lebih dari 28 parpol.

PKI semakin menguat setelah NASAKOM dan Sistem Demokrasi Terpimpin diberlakukan sejak 1959. Dominasi PKI di pemerintahan kian terlihat lantaran Masyumi mulai melemah seiring tuduhan terlibat pemberontakan DI/TII dan PRRI-Permesta dan akhirnya dibubarkan.

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal Iskandar

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Muhammad Iqbal Iskandar
Penulis: Muhammad Iqbal Iskandar
Editor: Iswara N Raditya