Menuju konten utama

Dampak COVID-19, 3.000 Pegawai Industri Farmasi Kena PHK

PHK terjadi lantaran utilisasi pabrik yang rendah seiring penurunan permintaan selama pandemi COVID-19.

Dampak COVID-19, 3.000 Pegawai Industri Farmasi Kena PHK
Pekerja farmasi beraktivitas memproduksi obat di Pabrik Pfizer Indonesia, Jakarta Timur, Senin (29/4/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

tirto.id - Gabungan Perusahaan Farmasi (GP-Farmasi) mengatakan PHK dan pegawai dirumahkan sudah terjadi di industri farmasi. Hal ini disebabkan karena utilisasi pabrik yang rendah seiring penurunan permintaan selama pandemi COVID-19.

Dalam bahan paparan kepada Komisi IX, GP-Farmasi memperkirakan sekitar 2.000-3.000 karyawan telah di-PHK imbas penurunan produksi di tengah pandemi COVID-19.

“Tantangan industri farmasi sangat berat. Penurunan utilisasi produksi. Kerja jantung jadi berat,” ucap Direktur Eksekutif GP-Farmasi Dorodjatun dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Senin (28/9/2020).

Dorodjatun mengatakan industri farmasi nasional dan BUMN memproduksi sekitar 90 persen kebutuhan obat dalam negeri. Di masa pandemi, industri farmasi mengalami penurunan permintaan drastis di kisaran 50-60 persen.

Kapasitas produksi hanya terpakai kurang dari 50 persen selama 3 bulan terakhir. Sebagian pabrik bahkan berhenti alias idle. Penurunan kapasitas inilah yang menjadi sebab dari PHK dan karyawan dirumahkan yang belum lama ini menimpa industri farmasi.

Belum lagi, industri farmasi juga diperhadapkan pada masalah lain. Misalnya kenaikan harga bahan baku obat 3-5 kali lipat padahal 90 persen kebutuhannnya berasal dari impor.

Dorodjatun mengatakan tantangan industri farmasi tidak sekadar terkait permintaan. Namun mereka juga menghadapi masalah cash flow.

Penyebab masalah ini antara lain banyak fasilitas kesehatan memiliki tunggakan pembayaran cukup besar sehingga distributor kesulitan melayani mereka. Total tagihan faskes yang sudah jatuh tempo bahkan berada di kisaran Rp3 triliun dan belum dibayar.

Ia juga mencatat Realisasi Rencana Kebutuhan Obat (RKO) cukup rendah, di bawah target. Hal ini kerap terjadi juga pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

“Kemudian cash flow terganggu. Darah semakin habis, masalah pembayaran dan RKO yang realisasinya sangat rendah,” ucap Dorodjatun.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI FARMASI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan