Menuju konten utama
8 Desember 1980

Dalih Pembunuhan John Lennon

Bercak darah di
sebuah kacamata.
Malam tragedi.

Dalih Pembunuhan John Lennon
Ilustrasi John Lennon. tirto.id/Gery

tirto.id - Jauh sebelum menembak John Lennon, Mark David Chapman adalah penggemar The Beatles. Belakangan, sebelum menembak John, David memilih menjadi seorang Kristen garis keras. Sama seperti remaja-remaja yang dulu suka Britney Spears atau boyband-boyband dari negara kapitalis macam Amerika atau Inggris, namun di kemudian hari menjadi begitu membenci liberalisme, kapitalisme, atau bahkan demokrasi.

Berbekal revolver Colt 38 special, David mendatangi kawasan apartemen yang menjadi tempat tinggal John bersama Yoko Ono di New York. Pistol itu diselipkan di balik pakaian. Tak ada yang tahu rencana pembunuhan kecuali David dan Tuhan. Tak lupa, sebelum mengeksekusi, Mark David meminta John membubuhkan tanda tangan di album Double Fantasy.

Setelah John memberi tanda tangan dan hendak memasuki gedung apartemen, David memanggil sang bintang sambil mencabut pistolnya dan menembak berkali-kali hingga tumbang. Nyawa John pun melayang di usianya yang ke-40.

David pun dengan cepat menjadi terkenal seketika karena menghabisi John Lennon pada 8 Desember 1980, peristiwa yang hari ini persis sudah berusia tiga puluh tujuh tahun. Dunia pun berkabung. Ribuan lilin menyala untuk mengenang John yang cinta damai.

Sejak muda, John adalah sosok yang bengal di balik lagu-lagu yang ditulis dan dinyanyikannya. Dia senang mengganggu otoritas, entah itu otoritas negara maupun moral (baca: agama).

Dasarnya Memang Seorang Rebel

Bersama The Beatles, bulan Juli 1966, John Winston Lennon sedang berada di Filipina. Usai menggelar konser, mereka “berulah” dengan membuat ngamuk Ibu Negara Filipina Imelda Marcos dan kroni-kroninya. Kugiran asal Liverpool tersebut rupanya menolak kemauan Ibu Negara Filipina nan glamor itu untuk tampil di Istana Malacanang, Manila. Alasannya jelas: itu agenda yang tidak ada dalam jadwal.

John dan personil Beatles lainnya yang dibesarkan di negara yang bebas, tak pernah tahu di negara yang dikuasai rezim macam Marcos semua kemauan keluarga penguasa adalah sabda yang harus dijunjung. Tentu saja John Lennon tak peduli.

“Jika ingin pertunjukan datang saja ke kamar kami,” kata John.

Antek-antek Marcos yang terkenal korup itu tersinggung. Rombongan kugiran Britpop itu pun segera angkat kaki dari Filipina. Mereka harus pergi lebih cepat sebelum orang-orang fasis yang cinta mati pada keluarga Marcos melakukan tindakan semena-mena. Meski harus senam jantung, John sukses menistakan rezim Marcos dengan menolak bermain. Setelahnya John tak pernah menginjakkan kaki di negeri Marcos itu.

Kekurangajaran John tak berhenti di situ. Pada tahun yang sama, John yang dipuja gadis-gadis itu bikin masalah besar. Bahkan Lebih parah. Jika di Filipina dia bikin marah pendukung Marcos, maka kali ini umat Kristiani sejagad dibuat marah—barangkali seperti Ahok yang tersandung di Pulau Seribu terkait Al Maidah 51 tahun lalu.

“The Beatles lebih terkenal daripada Yesus,” kata John Lennon.

Segera poster dan piringan hitam The Beatles pun jadi sasaran pembakaran orang-orang yang agamanya dinistakan John. Dia belakangan harus minta maaf atas ucapannya. Dia begitu gugup.

John tentu saja punya alasan mengapa dia mengatakannya. Bagi John, televisi yang kala itu mulai populer sebagai media massa penting, sebenarnya juga lebih populer daripada Yesus Kristus. John melihat kehidupan sekuler anak muda di tahun 1960-an, menunjukkan bahwa budaya populer memang lebih dahsyat daripada agama apapun di dunia.

John hanya ingin menunjukkan hal itu. “Beatles lebih berarti bagi anak-anak daripada Yesus, atau agama, pada waktu itu. Saya tidak bermaksud melecehkan atau merendahkan, saya hanya mengatakan itu sebagai fakta,” ucap John.

Di Indonesia hal ini sangat bisa dianggap penistaan. Ingatlah kasus yang menimpa Arswendo Atmowiloto. Sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, ia mengumumkan hasil angket pembaca yang memilih tokoh yang mereka kagumi melalui kartu pos.

Angket ini menjadi kecaman karena Nabi Muhammad SAW hanya menempati posisi ke-11 dengan 616 kartu pos pengagum saja. Nabi Muhammad kalah populer dibandingkan Zainuddin MZ, Soeharto, Saddam Husein, Soekarno, bahkan kalah dari Arswendo sendiri.

Arswendo pun harus menelan pil pahit. Ia dibawa ke pengadilan dan diputuskan bersalah. Ia dihukum bui selama lima tahun.

Infografik Mozaik John Lenon

Bicara soal agama, John memang tidak pernah mesra dengan agama apa pun di dunia ini. Bahkan perjalanannya ke India tak membuatnya memuja Tuhan. Setelah Beatles bubar dan bersolo karier, John bahkan pernah menulis lagu berjudul "God" (1970).

Lagu tersebut menegaskan ketidakpercayaan John pada tokoh-tokoh dan hal-hal mulia macam Yesus, Budha, Injil, Taurat dan lain-lainnya. Tidak percaya pada Yesus, tentu bisa dianggap dia tidak percaya ajaran Yesus juga. Begitu pun pada Budha.

Entah kenapa dalam lagu tersebut John tak menyebut nama Muhammad. Jika Muhammad masuk dalam lagu ini, John barangkali akan dapat fatwa mati seperti halnya Salman Rushdie yang menulis Ayat-Ayat Setan.

Penegasan John bahwa agama tak penting, atau sebaiknya agama tidak pernah ada, ia tuliskan dalam lagunya yang paling sohor, "Imagine" (1971). Lagu yang dianggap sebagai lagu perdamaian dunia ini ditulisnya ketika Perang Dingin berlangsung. John termasuk orang yang membenci perang. Meski tinggal di New York, John adalah musuh Amerika Serikat. Sebagai seniman asal Inggris, dia mirip Charlie Chaplin: sama-sama dimusuhi pemerintah Amerika.

Lewat lagunya ini, John juga mengajak orang-orang untuk membayangkan jika agama tak pernah ada. Baginya, mungkin di dunia tidak ada perang yang membawa-bawa nama Tuhan. Di awal lagu saja, John sudah menulis, “Bayangkan jika tidak surga”.

John bermimpi juga tak ada neraka. Selain berharap agama, yang bagi Marx adalah candu, sebaiknya tak perlu ada, John juga membayangkan negara tak pernah ada. Bagi John, jika negara (dan agama) tidak ada, tentu tak akan pernah ada banyak darah yang tertumpah.

Dalam Lennon in America (2000) karya Geoffrey Giuliano, Lennon berkomentar bahwa lagu "Imagine" adalah "lagu anti agama, anti nasionalistis, anti konvensional, anti kapitalistis, tetapi karena kata-katanya diperhalus, lagu ini dapat diterima".

Ternyata, John tetap saja “penista”. Hanya saja, dari tahun ke tahun John makin mampu menista tanpa harus membuat kehebohan sedahsyat seperti saat membandingkan Beatles dengan Yesus.

Tetap saja kepiawaian bermain kata-kata, bahkan saat menista, tak mampu menyelamatkannya dari peluru yang dimuntahkan oleh pistol dalam genggaman Chapman. Peluru rupanya lebih konkret daripada kata-kata, setidaknya di saat ia meregang nyawa. Tapi tetap saja, dunia berkabung karena kematiannya.

Baca juga artikel terkait JOHN LENNON atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Musik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan